15. Harapan di Tengah Lara

133 31 8
                                    

Mungkin dunia menghakimi Liam dengan keras. Rumor yang beredar tentangnya mencoreng citra dan kariernya. Namun, bagi Wira, Liam tetaplah kakaknya. Bagaimanapun buruknya pendapat orang lain, Wira tahu—setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua.

"Enak makanannya? Apa mau beli yang lain?" tanya Liam. Dia melirik Wira yang tengah sarapan di depannya. Wira tampak menikmati makanannya, sementara Liam hanya menyuapkan makanan ke mulutnya tanpa semangat. Sementara itu, Bara sedang pulang dan meninggalkan dirinya dengan Wira. Karena rumor tersebut, Andri meminta agar Bara kembali menemani dirinya sampai rumor itu hilang.

"Enak, Kak. Udah cukup, kok, ini, makasih," tutur Wira dengan ceria.

Liam mengangguk paham, menyuapkan nasi ke dalam mulutnya dengan malas. Masih menjadi misteri, kenapa makanan rumah sakit terasa hambar? Liam tidak menyukainya dan berharap bisa cepat pulih agar bisa makan-makanan enak.

"Aku mau tanya, Kak," kata Wira.

"Mau tanya apa?" sahut Liam penasaran.

Wira tak langsung menjawab. Dia sibuk membereskan bekas makanannya, bahkan membenahi baki makanan Liam. Setelah selesai, Wira duduk di samping kakaknya, menatap Liam dengan sorot mata serius yang membuat pemuda itu merasa tidak nyaman.

"Jujur sama aku, sebenernya Kakak sakit apa?" tanya Wira penuh keingintahuan, berharap Liam jujur akan kondisinya kepadanya.

"Kakak nggak sakit apa-apa, Dek. Kan, udah Kakak bilang, ini cuma kecapean aja," jawab Liam selugas mungkin, agar tidak menimbulkan kecurigaan dari sang adik.

"Kan, pasti jawabnya kayak gitu. Aku, tuh, adik kakak, lho. Jujur aja sama aku," desak Wira, ia merasa sang kakak tidak sedang sakit biasa, ia yakin itu.

"Ya, karena itu jawabannya, Dek. Kalo nggak percaya coba nanti tanya dokter yang visit," ujar Liam mencoba untuk meyakinkan.

"Beneran?" tanya Wira memasukan, mencoba untuk mencari kebohongan dari mata sang kakak.

"Beneran, kamu bisa nanya langsung nanti," sahut Liam. Entah sampai kapan ia akan menyembunyikan rahasia ini. Namun, Liam janji akan jujur suatu saat nanti, tidak untuk sekarang.

"Kak Liam beruntung punya Om Bara yang setia sama Kakak. Aku liat, Om Bara tulus banget ngerawat Kakak," papar Wira. Melihat bagaimana Bara memperlakukan Liam dengan baik membuat Wira merasa senang, setidaknya masih ada perasaan yang peduli dengan kakaknya selain dirinya.

"Iya, dia udah Kakak anggap kayak abang sendiri. Kalo ada nominasi asisten artis terbaik, Kakak yakin Kak Bara pasti menang," timpal Liam. Bara memang orang lain, tetapi laki-laki itu yang justru memahami dirinya.

"Kakak nanti bakal balik lagi ke panggung, 'kan?" tanya Wira lagi, ia jadi merindukan sang kakak yang bernyanyi di atas panggung daripada terbaring di rumah sakit seperti ini.

"Insya Allah, ya, Dek," jawab Liam dengan singkat. Ia tidak bisa berjanji, ia merasa takut akan kalah dengan penyakitnya.

Wira hendak bertanya lebih jauh, tapi langkah seorang perawat yang memasuki ruangan memotong niatnya. "Maaf, saya mau ganti infusnya," kata sang perawat lembut.

Liam merasa lega. Pembicaraan itu berakhir sebelum terlalu jauh. Dia memejamkan mata sejenak saat perawat bekerja, mencoba menghalau pikiran-pikiran buruk yang menghantamnya.

***

Hari ini, kamar rawat Liam terasa lebih ramai dari biasanya. Beberapa rekan sesama artis datang untuk menunjukkan dukungan mereka kepada Liam. Kehadiran mereka membawa secercah kehangatan di tengah beban pikiran yang terus menghimpitnya. Meski hati Liam dipenuhi rasa haru, ada bagian kecil dalam dirinya yang bertanya-tanya, Apakah ini tulus? Atau sekadar formalitas saja?

Lagu Terakhir untuk PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang