Wira mengikut Bara tanpa protes, meskipun pikirannya penuh tanda tanya. Sepanjang perjalanan, ia menahan diri untuk tidak bertanya, walau rasa takut perlahan merayap. Lorong rumah sakit yang sunyi semakin menambah kegelisahannya. Siapa yang sakit? Mengapa Bara membawa dirinya ke sini tanpa penjelasan?
"Kamu bakal tahu nanti," ujar Bara saat mengetahui sorot mata Wira yang meminta penjelasan.
"Kakak nggak sakit, 'kan?" tanya Wira penuh harap, merasa was-was jika kakaknya sakit, hingga harus dirawat.
Bara hanya tersenyum kecil, sementara itu Wira yang melihat reaksi Bara hanya bisa ngejelasin napas pelan. Sepertinya pria itu terlalu malas menjawab pertanyaannya. Padahal hanya hanya menjawab iya atau tidak.
Hingga sampailah mereka di depan salah satu ruang rawat VIP, terlampau jelas jika nama yang ada di depan pintu adalah nama sang kakak. Membuat Wira semakin gusar.
"Ayok masuk, kakakmu ada di dalam," tutur Bara, mempersilahkan Wira untuk masuk.
Wira masuk ke dalam, sejenak ia merasa takjub dengan ruang rawat inap ini, wewah. Akan tetapi, ada hal yang lain yang membuat dirinya terkejut, yaitu melihat sang kakak yang terbaring di atas ranjang.
"Kak," panggil Wira pelan, langkah kakinya semakin ia bawa mendekati ranjang sang kakak. Wajah kakaknya terlihat pucat dan lemah, Wira belum pernah melihat ini sebelumnya.
Liam yang tengah berbaring setengah duduk itu tersenyum tipis melihat kehadiran sang adik, ia rentangkan tangannya untuk membawa sang adik ke dalam pelukannya, lalu berbisik, "Kakak baik-baik, Dek."
"Baik-baik aja, tapi sampe di rumah sakit? Kakak selalu ngomong gitu, tapi kenyataannya nggak pernah baik-baik aja!" suaranya meninggi, penuh emosi. Ia menunduk, mengepalkan tangannya untuk menahan tangis. "Kenapa Kakak nggak pernah cerita? Kenapa aku selalu tahu terakhir?"
Liam terkekeh kecil, beruntungnya hari ini kondisinya jauh lebih baik daripada kemarin. Hanya saja ia masih terlalu lemas dan sedikit demam. Selebihnya ia baik-baik saja. Sebelumnya Bara sudah memberitahu dirinya jika laki-laki itu akan membawa Wira datang kemari.
"Iya, maaf. Kamu kenapa nekad malem-malem ke sini, Dek? Apa nggak dimarah Ayah?" tanya Liam pelan, ia lagi-lagi merasa terharu dengan perhatian sang adik. Anak laki-lakinya itu bahkan mau datang malam dan jauh-jauh ke sini hanya untuk dirinya.
"Salah Kakak! Aku hubungi tapi nggak ada jawaban. Ya, terpaksa aku bohong lagi sama Ayah. Aku belum lega kalo belum liat Kakak secara langsung," jawab Wira, siapa lagi alasan dirinya berbohong jika bukan karena kakaknya? Wira rela melakukan apapun untuk sang kakak.
"Jangan dibiasakan bohong, Dek. Kalo Ayah tahu, pasti beliau kecewa sam kamu, cukup Kakak aja yang udah banyak kecewain beliau," ujar Liam menasihati, ia tahu sang adik sayang kepadanya. Namun, jika ia terus menjadi alasan adiknya berbohong, Liam merasa bersalah. Ia tidak mau jika kebohongan Wira terbongkar, sang ayah akan kecewa kepada Wira.
"Aku nggak bisa janji, Kak. Karena cuma ini satu-satunya cara buat ketemu Kakak. Aku, tuh, ngerasa kesepian di rumah, nggak ada temen yang bisa aku ajak ngobrol. Kalo di sini, 'kan, ada Kakak yang nemenin aku," ucap Wira, ia tidak bisa membohongi diri jika ia merasa kesepian di rumah, membutuhkan sandaran seorang kakak yang selalu ia rindukan.
Dada Liam terasa sesak akan ucapan sang adik, begitu buruknya ia menjadi seorang kakak. Membiarkan adiknya kesepian di rumah, sementara dirinya sibuk mengejar karier. Ia memang egois, bukan?
"Maaf, udah buat kamu kesepian, Dek," ucap Liam sendu.
"Nggak papa, Kak. Aku paham, kok, aku berusaha paham sama keadaan." Wira tersenyum manis agar sang kakak tak perlu merasa sedih, tetapi hal itu malah semakin membuat Liam sedih.
Liam menunduk, tak mampu lagi menahan rasa sesaknya. Ia memeluk Wira erat-erat. "Kamu seharusnya marah sama Kakak, Dek. Kecewa, kayak Ayah. Kakak nggak pantas dapat perhatian sebesar ini."
"Marah? Kecewa? Aku nggak bisa, Kak," ujar Wira dengan suara lirih. Ia membalas pelukan kakaknya dengan erat. "Gimana aku bisa kecewa sama Kakak yang aku kagumi? Aku tahu Kakak juga berjuang, meskipun aku nggak ngerti sepenuhnya."
Liam terdiam, tubuhnya bergetar. Perkataan adiknya terasa seperti pedang yang menembus hatinya. Bara, yang berdiri di dekat pintu, menyaksikan momen itu dengan senyum kecil. "Kalian ini, bikin suasana jadi kayak drama Korea," gumamnya pelan.
Liam dan Wira hanya tertawa kecil mendengar komentar itu. Di tengah tawa kecil itu, Liam berjanji dalam hatinya bahwa ia akan menjadi kakak yang lebih baik. Kakak nggak akan biarin kamu kesepian lagi, Dek. Kakak janji, batin Liam.
***
Liam menatap wajah tenang Wira, adiknya, yang tertidur di sofa rumah sakit. Wira pasti sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh hanya untuk menemuinya. Perasaan hangat menjalari dada Liam. Di balik segala kesulitan yang dihadapinya, kehadiran Wira adalah pengingat bahwa ia tidak sendirian. Namun, kecemasan tak henti-henti menggerogotinya.
Gimana kalo media tahu siapa Wira? Gimana kalo dia ikut terseret dalam pusaran masalahku? batin Liam, seraya menahan napas. Dunia hiburan itu kejam, dan ia tahu betul bagaimana rumor bisa menghancurkan kehidupan seseorang tanpa ampun. Liam sudah mengetahui konsekuensinya sejak awal, jadi ia bisa menguatkan hati dan mentalnya.
Setelah puas memandangi sang adik, Liam mengalihkan pandangannya ke arah Bara, yang duduk di kursi samping ranjangnya dengan raut wajah serius. Bara selalu ada untuknya, meski dunia seolah ingin menjatuhkannya.
"Kak." Liam memulai dengan suara serak. "Lusa aku mau kita bahas lagi soal itu sama Pak Andri. Aku udah lebih baik. Aku pengen masalah ini cepet selesai."
Bara menatap Liam dengan tatapan ragu. "Kamu yakin udah siap, Li? Kamu kelihatan lebih baik, tapi aku nggak mau kamu maksa diri. Kamu belum sepenuhnya pulih."
Liam menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya. "Aku yakin, Kak. Aku nggak bisa terus-terusan sembunyi. Rumor ini nggak cuma menyakitkan aku, tapi juga keluarga. Aku nggak mau mereka ikut terseret gara-gara aku."
Bara menundukkan kepala, lalu menggenggam tangan Liam dengan erat. "Oke, lusa kita bahas. Tapi Kakak cuma punya satu permintaan, Li. Tolong, apa pun keputusanmu nanti, jujurlah. Jangan ada yang disembunyikan. Kakak cuma nggak mau kamu dihujat lagi karena orang salah paham."
Liam mengalihkan pandangannya, menatap langit-langit kamar yang putih polos. "Kak, aku nggak janji. Aku akan kasih liat hasil tes urine. Udah ada surat dokter juga. Itu lebih dari cukup untuk bukti. Tapi soal cerita di balik semua ini ... aku belum siap." Suaranya lugas dan sedikit bergetar, menunjukkan tekad yang bercampur dengan ketakutan. "Aku cuma mau menunggu waktu yang tepat."
Bara menghela napas panjang. "Kakak ngerti, Li. Tapi, kamu tahu kan, netizen itu nggak peduli sama fakta. Mereka peduli sama cerita yang bisa mereka jadikan bahan gosip."
Liam tersenyum pahit. "Aku tahu, Kak. Makanya aku harus hati-hati. Kalau aku salah langkah, Wira, Ayah, Bunda, bahkan Kakak sendiri bisa jadi korban."
Bara tertegun. Ia tidak pernah melihat Liam sekuat ini. Meski dalam kondisi terpuruk, pemuda yang sudah ia anggap adiknya ini tetap berpikir tentang orang-orang di sekitarnya. "Kakak percaya sama kamu, Li. Apa pun yang kamu putuskan, Kakak akan selalu di sini buat kamu."
Liam memejamkan mata. Tangannya yang lemah menggenggam tangan Bara. "Terima kasih, ya, Kak. Aku cuma pengen semuanya selesai. Aku capek. Aku pengen hidupku balik normal."
"Pasti, Li. Pasti semua akan selesai," sahut Bara yang ikut meyakinkan.
[]
Lampung, 20112024
KAMU SEDANG MEMBACA
Lagu Terakhir untuk Pulang
Teen FictionLiam adalah seorang pemuda berbakat yang sejak kecil bermimpi menjadi penyanyi. Namun, impiannya itu ditentang keras oleh kedua orang tuanya yang menganggap bahwa musik tidak akan memberinya masa depan. Tak tahan dengan penolakan dan tekanan dari ke...