13. Langkah Nekad Wira

148 40 12
                                    

Wira merasa gelisah. Kabar buruk tentang kakaknya, yang dirumorkan terlibat penyalahgunaan obat dan narkoba, menghantui pikirannya. Bukan kecewa seperti kedua orang tuanya, Wira justru merasa khawatir. Kakaknya itu selalu menjadi sosok yang ia kagumi. Kini, Liam menghilang tanpa kabar, dan segala upaya Wira untuk menghubunginya berakhir tanpa jawaban.

"Wira, makan yang bener. Jangan ngelamun," tegur Hendrick dengan nada dingin, memecah lamunan Wira di meja makan.

Wira tersentak, lalu mengangguk kecil. Ia menyuapkan makanannya perlahan, tetapi pikirannya masih melayang. Ia teringat saat terakhir kali menghabiskan waktu bersama Liam di Dufan. Saat itu, kakaknya terlihat pucat dan kelelahan. Akan tetapi Wira yakin, itu bukan karena narkoba seperti yang dirumorkan. Liam hanya terlihat ... terbebani dan sakit, seperti seseorang yang menanggung dunia di pundaknya.

Wira menatap sang ayah lekat, kemudian memberanikan diri meminta izin kepada ayahnya. "Yah, aku izin main nanti sore, boleh?" tanyanya ragu.

Hendrick mendongak dari korannya, menatap putra bungsunya dengan sorot tajam. "Main ke mana?"

"Ke rumah Rei, Yah. Boleh, ya? Pulangnya mungkin agak malam."

Jenita, yang sedang menuangkan teh ke cangkir, menatap Wira dengan alis terangkat. "Ngapain pulang malam segala? Memangnya ada acara?"

"Nggak, Bun. Cuma kumpul-kumpul aja, serius." Wira menelan ludah, merasa bersalah karena menggunakan nama Rei sebagai alasan. Padahal, ia berencana mencari Liam.

Jenita mengangguk pelan. "Ya, sudah, tapi jangan kelamaan, ya."

Mata Wira beralih ke Hendrick, menunggu keputusan pria itu. Hendrick mendengus sebelum akhirnya mengangguk setuju. Namun, sebelum Wira sempat bersorak lega, Hendrick berkata dengan nada menusuk. "Tapi inget, jangan sampe kamu bikin malu seperti kakakmu itu. Mimpi besar katanya, tapi lihat sekarang, bikin keluarga jadi bahan gunjingan. Kalau sampai media tahu kita keluarganya, muka Ayah harus taruh di mana?"

Wira menggenggam ujung meja, mencoba menahan emosinya. "Yah, itu baru rumor. Aku yakin kakak nggak mungkin begitu," sahutnya, mencoba membela Liam.

"Kamu terlalu membela pengkhianat itu, Wira! Rumor atau bukan, faktanya dia sudah buat malu!" Hendrick meninggikan suaranya, membuat suasana semakin tegang. Tak perlu ditanya reaksi saat ia mendengar rumor Liam, amarahnya langsung mendidik seketika.

Wira terdiam, tatapan tajam Hendrick membuatnya sulit berkata-kata. Namun, hatinya tidak bisa menerima. Mengapa sang ayah begitu keras pada Liam?

"Aku heran sama Ayah dan Bunda," kata Wira akhirnya, suaranya terdengar bergetar. "Kenapa, sih, kalian nggak suka sama mimpi kakak? Kenapa kalian kayak benci musik sampai segitunya?"

Hendrick terdiam, rahangnya mengeras. Pertanyaan Wira itu mengingatkannya pada Liam, yang dulu sering melontarkan pertanyaan serupa. Seperti biasa, ia tidak tahu harus menjawab apa.

"Yah, jawab! Aku nggak mau penasaran terus!" desak Wira, suaranya mulai meninggi. Saking bencinya dengan yang namanya musik, Wira bahkan tak diperbolehkan menyetel musik di rumah.

Jenita meletakkan sendoknya dengan hati-hati, mencoba menenangkan suasana. "Wira, udahlah, Nak. Ada hal-hal yang lebih baik nggak kamu tahu."

"Tapi aku harus tahu! Kalo nggak, aku akan terus berpikir Ayah dan Bunda cuma egois!"

Hendrick berdiri dari kursinya, membelakangi Wira. Bahunya terlihat tegang. "Kamu nggak akan ngerti. Kamu terlalu kecil untuk paham apa yang Ayah dan Bunda rasakan."

"Aku nggak kecil, Yah!" balas Wira dengan suara keras. Matanya mulai berkaca-kaca. "Aku cuma pengen tahu kenapa Ayah selalu menganggap mimpi kakak itu salah! Kakak itu kerja keras, Ayah. Dia berjuang buat mimpinya, buat kita semua!"

Hendrick memejamkan mata, tangannya terkepal. Ada sesuatu yang ia sembunyikan, sesuatu yang terlalu berat untuk diungkapkan. Tetapi kali ini, Wira tidak akan menyerah.

"Ayah! Kalau Ayah terus diem, aku nggak akan berhenti nanya!"

Hendrick berbalik, menatap Wira dengan mata yang dipenuhi emosi yang sulit ditebak. "Karena musik itu cuma ilusi, Wira! Ayah tahu apa yang terjadi sama orang-orang yang kejar mimpi kayak gitu. Mereka hancur, kehilangan arah! Ayah nggak mau itu terjadi sama anak-anak Ayah!"

Wira tertegun atas jawaban sang ayah. Ia bisa merasakan kepahitan dalam suara Hendrick, tetapi ia juga tahu ada ketakutan yang tidak diungkapkan sepenuhnya.

"Tapi kakak nggak kayak gitu, Yah," jawab Wira lirih. "Kakak nggak akan hancur. Kakak cuma butuh Ayah dan Bunda percaya sama dia."

Hendrick tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, sebelum meninggalkan meja makan tanpa sepatah kata lagi.

***

Bukan Wira namanya jika tidak nekad, ia pergi ke apartemen kakaknya sendirian, ia hanya ingin memastikan jika Liam baik-baik saja. Namun, sampainya di sana, ia tercekat. Pemandangan di depannya membuat napasnya tercekat—sejumlah wartawan berkumpul di gerbang apartemen mewah itu, dengan kamera tergantung di leher mereka dan mikrofon di tangan, menanti momen yang tepat untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Liam.

Wira menelan ludah, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Gimana caranya aku bisa masuk kalo begini?" gumamnya lirih, sambil melirik gerbang yang dijaga ketat oleh petugas keamanan. Ia tahu, dengan situasi seperti ini, tidak mungkin mereka membiarkan orang asing masuk begitu saja.

Ia mencoba berpikir keras, langkahnya maju mundur di trotoar. Untung mereka nggak tahu aku adiknya kakak, pikir Wira. Kalau tahu, mungkin mereka sudah menyerbunya dengan pertanyaan yang tak ada habisnya.

Di tengah lamunannya, Wira tersentak kaget ketika pundaknya disentuh oleh seseorang. Ia semakin dibuat terkejut saat tangannya ditarik menjauh dari sana, ingin meronta, tetapi tidak bisa. Hingga hanya bisa menurut saja.

"Kamu Wira, 'kan?" tanya orang tersebut, yang tak lain adalah Bara.

Wira yang tak mengenali orang di depannya ingin segera menghindar, karena ia mengira orang ini adalah salah satu wartawan. Akan tetapi, suara Bara mengurungkan niatnya untuk kabur.

"Jangan takut, saya ini asisten kakakmu," ucap Bara, mengetahui ketakutan Wira. Sementara itu, Wira terdiam, memandang Bara dengan tatapan penuh tanda tanya. Takut-takut jika pria ini membohongi dirinya.

"Om nggak bohong, 'kan?" tanya Wira.

"Ini buktinya kalo kamu nggak percaya." Bara menunjukkan sebuah kartu identitasnya sebagai bukti, agar Wira percaya.

Wira memerhatikan kartu itu dengan seksama, matanya menyipit, mencoba memastikan tidak ada kebohongan di sana. Setelah beberapa detik, ia akhirnya mengangguk kecil. "Kalo gitu, di mana kak Liam. Dia baik-baik aja, 'kan?" tanya Wira lagi.

Bara tahu keberadaan Wira di sini adalah untuk mencari Liam. Maka dari itu ia akan menbawa Wira untuk bertemu Liam. "Ayok ikut, akan saya bawa kamu ke kakakmu."

"Kak Liam baik-baik, aja, 'kan, Om?" Wira mengikuti langkah Bara dari belakang, ingin memastikan jika kakak benar-benar baik-baik saja.

Bara tidak menjawab, hanya menoleh dan memberikan senyuman kecil yang tidak cukup untuk menenangkan hati Wira. Entah apa reaksi Wira nanti jika tahu Liam ada di rumah sakit.

[]

Lampung, 19112024

Lagu Terakhir untuk PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang