I hate talking.
Ngomong sama orang itu buang-buang waktu, apalagi kalau topiknya gak mutu, buang-buang waktu dan tenaga aja. Komunikasi memang perlu, penting, dibutuhkan bahkan. Tapi memangnya satu-satunya cara berkomunikasi cuman dengan ngomong? Kan enggak.
Eye contact, body language, ekspresi wajah, lo bisa pakai itu semuanya untuk berkomunikasi, kan?
Gue gak ngerti kenapa semua harus diomongin di waktu dan tempat spesifik ketika lo bisa saja langsung memeluk lawan bicara lo untuk menunjukkan betapa rindunya lo sama dia, betapa sayangnya lo sama dia, betapa khawatirnya lo sama dia.
"Tapi, Kar, aneh kalau misalnya ada orang asing tiba-tiba meluk lo, kan?" Tina terdengar tidak setuju dengan pendapat gue sore itu.
Gue berdecak kesal, menyeruput kopi yang harganya nyaris setara dengan tiga nasi bungkus dengan lauk ayam. "Gak usah ngelucu deh, Tin," balas gue dongkol.
Tina menggeleng, mengambil ponselnya dari ransel. "Enak aja! Gue gak ngelucu, goblok!" serunya tidak terima.
Gue memilih untuk diam, tidak merespons seruan Tina yang nyaris membuat kami berdua menjadi pusat perhatian di kafe yang cukup ramai saat itu.
Sayangnya wajah tidak terima milik Tina yang selalu dia tampilkan saat ngobrol sama gue itu tidak bertahan lama, pesan milik Daren, pacar Tina, berhasil mengubah ekspresi teman gue itu dalam waktu singkat. Gue hanya mendengus pelan saat menyadari perubahan ekspresi itu.
Magic, kayaknya jatuh cinta itu memang magic. Orang putus cinta aja ke dukun terus minta pelet, kan?
Tak lama setelahnya Daren masuk ke dalam kafe itu dengan senyum semringah, bersemangat menemui kekasihnya. Kalau bukan manusia, udah gue cakar bibir cowok itu biar gue gak ngerasa ngenes banget jadi jomblo. Sayangnya gue manusia plus sahabat baik Tina jadi gue mengurungkan niat baik gue itu—niat demi kepentingan diri sendiri maksudnya.
Dipikir sopan melakukan adegan kayak gitu di depan jomblo?
"Baby!" Tina memekik dengan semangat, tangannya merengkuh tubuh tinggi pacarnya yang cukup tinggi darinya seakan-akan mereka sudah tidak bertemu setahun—sorry, terlalu hiperbolis kayaknya—sebulan maksudnya.
"Babi." Gue mengumpat pelan, tanpa pamit gue langsung melipir dari sana. Gue masih waras—gue masih menghindari hal-hal yang membuat gue sakit—makanya gue keluar sebelum dipaksa jadi penonton ke-uwu-an pasangan yang entah kenapa bisa bertahan sampai tiga tahun itu.
Yah ... semoga aja Tina berakhirnya sama Daren biar si cempreng gak usah pusing nanti soal urusan romansa, berat soalnya, biar gue aja—udah kayak Dilan.
Gue sontak menutup mata saat membuka pintu kaca kafe besar yang terletak di pusat kota itu, polusi Jakarta langsung terasa di wajah gue. Luar biasa. Ironisnya gue belum pesan taxi online atau semacamnya jadi gue harus menunggu di luar sana, bersama dengan polusi dan panas, oh ... serta padatnya Jakarta.
Lo tahu Jakarta? Yap, the city of hope—gue gak tahu lo nyebutnya apa, tapi gue menyebutnya seperti itu.
Ngomongin hal ini entah mengapa bikin gue pengen nangis mengingat banyaknya orang-orang di luar sana yang ke Jakarta dengan segudang harapan lalu pulang tanpa uang diiringi dengan tatapan putus asa dan rasa kecewa pada dirinya sendiri.
"Lo terlalu banyak mikir, Kar."
Sialan. Sejak kapan suara itu tersimpan di otak gue?
Oh yeah, about the unspoken things ... sebenarnya ini ada hubungannya dengan cowok yang suaranya entah mengapa masih tersimpan di otak gue yang biasanya gak bisa menyimpan rumus matematika terutama saat ujian—too much information, pardon me.
Menurut gue, unspoken things itu adalah semua hal di sekitar lo yang bukan manusia. Hewan, tumbuhan, benda-benda, air hujan, dan lain lain yang gak bisa berkomunikasi dengan manusia adalah unspoken things. Mereka semua gak bisa bicara, saat mereka bicara pun manusia belum tentu mengerti.
Hebatnya, mereka bisa menyimpan memori.
Well, technically bukan benda-benda itu yang menyimpan memori, mereka hanya mengundang memori itu saja. Mata kita yang menyimpan memori, mata kita yang saat melihat sebuah benda, memaksa otak untuk mengulik hal apa saja yang pernah terjadi antara diri kita dan benda tersebut.
And it sucks. It sucks so much.
Apesnya gue ... berakhir di tempat ini, di Stasiun Palmerah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kafe tadi. Entah kenapa rasa malas gue buat berurusan dengan aplikasi ojek online itu tiba-tiba menyergap tanpa permisi. Gantian kaki gue yang merengek minta berjalan sampai stasiun ini, stasiun kereta api kelas besar tipe C ini.
Unspoken things, istilah yang gue ciptakan asal-asalan dan mata manusia yang dapat mengingat sesuatu hanya dengan cara melihat sebuah objek. Mata gue yang saat melihat keramaian Stasiun Palmerah menjadi ingat, ingat bahwa suatu waktu gue pernah berdiri di sini—tepat di tempat gue berdiri saat ini untuk mengantre tiket—bersama cowok yang bikin gue lupa tentang berisiknya kota Jakarta, cowok yang bikin rasa penat gue belajar seharian di kampus terbang entah ke mana, cowok yang—
"Karissa?"
Somebody just please ... please kidnap me.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unspoken Thing
Short StoryUnspoken things. Hewan, tumbuhan, suasana, kendaraan, dan lainnya yang tidak dapat berkomunikasi dengan manusia tetapi anehnya dapat menyimpan sebuah kenangan, membuat Karissa terkadang benci dengan tempat itu. Namun unspoken things tidak terbatas s...