six; communication is the key *with coach tina

2 0 0
                                    

"Lo udah kelar, belum?" Suara Tina di seberang sana—entah di sudut Sampoerna University bagian mana—bertanya apakah kelas Karissa sudah selesai atau belum.

"Udah kelar, kok," jawab Karissa pelan seraya menempelkan ponselnya ke telinganya, tangan kirinya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas ranselnya.

"Oke." Telepon lalu dimatikan membuat Karissa menghela napas, kalau Tina tidak berkata apa-apa berarti dirinya yang harus menghampiri Tina ke kelas gadis itu.

Setelah memastikan tasnya tertutup, Karissa lalu bangkit dari duduknya, menyampirkan ranselya di bahu kiri seraya berjalan keluar. Koridor sudah sepi, kelasnya sebenarnya sudah selesai beberapa jam yang lalu, sayangnya Karissa malas saja untuk pulang.

"Ini kalau gempa ngeri juga, ya?" gumam Karissa pelan setelah mendapati Tina yang masih asyik duduk di depan jendela dengan ponsel di tangannya.

Tina yang tadinya sibuk bertukar pesan dengan Daren sontak menoleh dan melotot mendengar komentar temannya. "Ngaco lo, gak usah mikir macam-macam, deh!" pekik Tina panik.

Karissa hanya terdiam, memilih untuk tidak merespons lagi setelahnya.

"Eh, by the way tadi ada yang minta kontak lo, tahu." Tina menjelaskan dengan semangat, matanya akhirnya beralih pada Karissa setelah puas dengan ponselnya.

Karissa ikut duduk di sebelah gadis itu, menaikkan alisnya dan Tina langsung mengerti bahwa Karissa butuh penjelasan lebih lanjut, tidak perlu menggunakan kata-kata.

"Sejurusan sama gue, dia anak manajemen juga," lanjut Tina seraya menaik-naikkan alisnya menggoda.

Karissa menggeleng pelan lalu menatap keadaan sekitarnya, tanda ia tidak terlalu tertarik dengan teman sekelas Tina dan berharap percakapan ini disudahi secepatnya.

Keren juga kampusnya jika diperhatikan dan dibandingkan dengan kampus lainnya. Belum lagi gedungnya yang tinggi menjulang membuat Karissa senang. Entah kenapa ia terobsesi dengan gedung-gedung tinggi, rasanya menenangkan ketika ia bisa melihat Jakarta dari ketinggian, terutama saat malam hari.

Tina memanyunkan bibirnya. "Tapi gue udah ngasih nomor lo ke dia, Kar," ujar Tina jujur.

Tina juga tidak tahu kenapa ia memberikan nomor kontak sahabatnya sembarangan seperti ini.

"Cowoknya ganteng, kok. Tenang aja," lanjut Tina sambil menampilkan sederetan giginya yang rapi.

Karissa menatap Tina sejenak dengan tatapan tidak percaya. "Emang ganteng doang cukup?" tanya Karissa pelan dengan nada dongkol.

Tina tertawa pelan dengan canggung. "Hehehe ... ya gimana, ya ...?" Tina jadinya merasa bersalah dengan sahabatnya.

Karissa menggeleng, ia bangkit dari kursinya sebelum mengajak Tina untuk meninggalkan gedung itu, "Cabut, ayo."

Tina segera menyusul, perhatiannya lagi-lagi disita oleh ponselnya. "Mau mesan taxi online, gak?" tanya Tina.

Karissa terdiam, jarinya bergerak memencet tombol turun yang berada di antara dua pintu lift di hadapannya. "Lo aja yang nentuin, gue ngikut," jawab Karissa pelan, matanya memperhatikan status lift yang berwarna merah itu.

"Ke Kemang mau?" Tina mengusulkan—atau mungkin menawarkan.

Tina tersenyum datar. "Gue lagi pengen street food, please ... ya?"

Karissa mengangguk setelah diam beberapa saat.

Ting!

Pintu lift terbuka, menampilkan lift yang untung saja kosong, Tina dan Karissa segera masuk ke dalamnya.

"Ih ... lo kok kelihatan gak setuju gitu ke Kemang?" tanya Tina.

Satu hal tentang Tina, gadis itu bisa menangkap sinyal yang diberikan Karissa tanpa kata-kata. Dan ini salah satu alasan mengapa Karissa mau bersahabat dengan Tina, gadis itu benar-benar paham dengan Karissa yang malas mengeluarkan kata-katanya.

"Gak sehat," jawab Karissa mantap.

Tina menatap Karissa horor. "Sekali-kali gak apa, kali," bantah Tina, ia benar-benar sudah tidak bisa menolak keinginan lidahnya.

"Lagian kita juga ngopi almost everyday, kan?" ingat Tina kemudian, berusaha membuat alasan-alasan yang mungkin saja akan masuk ke dalam akalnya sendiri dan akal Karissa.

Karissa ini sepertinya memang terlalu baik, mengingatkan Tina yang lupa bahwa keinginan lidahnya ini harusnya ditahan saja.

"Ya justru karena itu," balas Karissa.

Pintu lift terbuka, keduanya segera keluar dari sana. "Lagian kurang higenis juga," lanjut Karissa yang semakin membuat Tina ingin menenggelamkan gadis itu ke dalam lautan terdalam.

Karissa tidak salah, yang salah Tina. Tapi ... Tina sudah tidak tahan, ia menginginkan makanan jalanan itu entah sejak beberapa hari yang lalu.

"Tapi kalau emang lo mau, ayo aja."

Setelah kalimat itu keluar dari mulut Karissa, Tina langsung memeluk sahabatnya dengan semangat, tidak peduli dengan beberapa orang yang menatap keduanya aneh di lobby gedung itu.

"Aduh ... sayang banget gue sama lo. Kalau lo cowok, udah gue putusin si Daren!" ujar Tina hiperbolis.

Karissa tertawa. "Yakin? Hubungan lo sama dia udah lama, lho?"

Tina mengangguk mantap. "Yakin."

"Kasusnya kalau lo cowok, ya. But unfortunately, you aren't a guy so ... just be my best friend aja," lanjut Tina.

Bicara soal hubungan ... entah mengapa pikiran Karissa malah terbang ke hubungannya dulu dengan William. Kenapa ... William memutuskannya, ya? Karissa ada salah?

"Tin ...."

Tina yang sedang berkutat dengan aplikasi taxi online bergumam pelan sebagai jawabannya.

"Hubungan lo sama Daren kok bisa tahan lama gitu?"

Tina terdiam, terlihat berpikir sejenak. "Entah? Mungkin karena udah cocok aja kali, ya?" Tina sendiri nyatanya tidak yakin dengan jawabannya.

Tina lalu menghela napas. "Tapi bisa jadi karena Daren juga sih yang selalu ngomong kalau ada masalah, terus ... gue kan juga cerewet tuh jadinya ya kalau ada masalah paling lama sehari kelarnya." Kali ini Tina menjelaskan dengan yakin.

"You see ... communication is the key," ujar Tina selanjutnya sambil tersenyum menatap Karissa.

Karissa hanya merespons dengan anggukan pelan. "Pelat mobilnya?" Karissa mengalihkan topik pembicaraan.

Tina segera membuka ponselnya. "B 9657 BID."

"Kenapa lo tanya gitu tiba-tiba?" tanya Tina kemudian.

Karissa memilih menggeleng, matanya memperhatikan mobil yang akan segera masuk ke dalam area lobby gedung.

"Jujur deh sama gue, lo masih kepikiran soal William?" Tina berusaha menebak apa yang terjadi dengan Karissa.

Bukan apa-apa, Karissa itu ... sulit untuk memaparkan suatu hal yang sedang terjadi pada dirinya. Entah sulit atau hanya enggan saja, Tina masih belum tahu. Dan mantan Karissa hanya William seorang. Jadi menurut Tina, kalau Karissa tidak sedang dekat dengan pria lain, artinya William yang mengganggu pikiran gadis itu.

"Gak," jawab Karissa cepat. "Cuman tanya aja," lanjutnya, berusaha menghapus kecurigaan Tina.

Tina tertawa menggoda. "Masa, sih?" Gadis itu mencolek siku Karissa dengan genit.

Karissa ikut tertawa. "Iya, beneran," jawabnya.

Setelah tawa mereka mereda, Tina lalu mengatakan suatu hal, "Tapi kalau komunikasi kalian kurang pun sebenarnya gak ada masalah sih, Kar. Tergantung lo dan dia aja, ada yang mau perjuangin hubungan, gak?"

"Buset, buset ... ini gue ketinggalan apa lo sampai jadi relationship coach gini?" tanya Karissa mengejek.

Tina tertawa, gadis itu lalu menarik tangan Karissa meninggalkan lobby. "Udah, ah. Itu udah datang taxi-nya."

***

The Unspoken ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang