three; maybe this is just ... jakarta

5 0 0
                                    

Setelah berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Halim Perdanakusuma yang terletak di Jakarta Timur, William dan Haris segera berpisah. Rumah Haris terletak di daerah Cipayung sedangkan rumah William terletak di daerah Tangerang Selatan tepatnya di Bintaro.

William mengerang pelan saat menyadari ia harus memesan taksi menuju ke sana dengan biaya yang tidak murah. Ini semua akibat dirinya yang harus mendampingi Haris sampai ke Indonesia.

Dengan pelan pria berhidung mancung itu menggeret kopernya keluar dari pintu kedatangan bandara, Haris terlihat sudah sangat semangat bertemu dengan keluarganya sampai William tidak tega menyuruh Haris menunggu hingga kopernya ketemu. Jadilah Haris meninggalkan William tanpa ragu.

Dan William menyesalinya, terima kasih untuk tidak bertanya bagaimana keadaannya sekarang.

Drtt ....

Satu panggilan masuk, wajah konyol milik Haris memenuhi layar ponselnya, ia segera menekan tombol hijau untuk menerimanya.

"Kapan intern-nya mulai?" tanya William to the point.

"Next week, Bro. Biar kita ada time to take a break juga," jawab Haris yang sepertinya masih berada di atas taxi.

"Gimana? Pinter gak gue?" tanya Haris kemudian dengan bangga.

Sama sekali tidak. Apa yang akan William lakukan dengan satu pekan libur? Ia akan ke mana nantinya?

"Just enjoy your vacation, Dude. Tempat intern kita beda, kan?" tanya William, mengonfirmasi informasi yang diberikan Haris beberapa hari yang lalu.

"Yoi! Tempat gue di sekitar Jakarta Timur sedangnya punya lo di Jakarta Selatan. Yang dekat aja lah intinya!" jelas Haris.

"Lo lihat surat lo, dong. Masa gini doang harus banget gue—"

Tut ....

William memutuskan sambungan secara sepihak, tidak memiliki waktu untuk mendengarkan repetan panjang Haris. Suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja sekarang. Jakarta mengingatkannya pada gadis itu, selalu pada gadis itu. Semua sudut Jakarta mengingatkannya tentang Karissa.

Ada suatu waktu di mana mereka sedang ingin pergi ke suatu tempat yang terletak 6,1 kilometer dari Tanah Abang yaitu Jakarta Aquarium. Karena enggan memakai Transjakarta, jadilah mereka naik taxi ke sana. Sayangnya jalanan macet sekitar 480 meter sebelum aquarium itu, dan saat itulah Karissa mengusulkan suatu ide, "Darl, kita ke sana jalan kaki aja, yuk!" ajaknya dengan wajah semangat.

William saat itu hanya tertawa pelan menanggapinya, ia pikir kekasihnya—saat itu—sedang bercanda mengingat Karissa bukan gadis yang terbiasa dengan transportasi umum, harusnya gadis itu juga anti dengan jalan kaki, kan? Apalagi di bawah terik matahari siang seperti ini.

"Ih, kok ketawa? Aku serius, tahu. Biar Abang Sopirnya juga bisa langsung balik aja setelah ini," jelas Karissa.

Sopir yang melayani mereka saat itu tersenyum kaku. "Aduh, gak usah atuh, Neng. Kasihan nanti kulitnya kebakar, matahari lagi panas banget ini," timpal si sopir.

Karissa melambaikan tangannya. "Gak apa, Bang. Kita turun di sini, terima kasih banyak, ya," ujar Karissa.

Gadis itu tidak main-main, ia langsung membayar sopir itu dan menarik lengan William untuk keluar dari mobil itu. Hawa panas Jakarta langsung menyambut mereka saat keluar dari taxi ber-AC dengan pengharum itu.

"Aku gak bawa payung lho, Kar," ingat William saat itu.

Karissa tersenyum. "Udah ayo, kamu yang pandu jalannya," titahnya.

William masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada otak Karissa saat itu. Apa Karissa yang sangat bersemangat mengunjungi aquarium indoor terbesar di Indonesia yang memamerkan lebih dari 3500 spesies hewan akuatik dan non-akuatik itu atau ia hanya ingin merasakan berjalan bersama William saja.

"Pede banget ngajak orang keluar dari mobil, sendirinya gak tahu jalan." Saat itu William hanya bisa mencibir, mengomentari Karissa yang sejak kecil diperlakukan bagai princess oleh kedua orang tuanya walau keadaan ekonomi mereka yang tidak seluar biasa William.

Bukannya tersinggung, Karissa justru tertawa, memamerkan lekukan kecil pada pipi bagian kirinya yang setia nampak ketika ia tersenyum.

"Kan kamu lebih suka jalan, jadinya ayo jalan bareng," respons Karissa dengan mata yang berbinar.

"Mas, ke Bintaro kan, ya?" Suara sopir taxi khusus bandara itu membuyarkan memori masa lalu yang terputar dengan sempurna di otak William.

"Iya, Pak?" William bahkan harus bertanya kembali sopir itu mengatakan apa karena ia benar-benar tidak mendengar jelas apa yang pria paruh baya itu katakan padanya.

"Mas mau ke mana? Ke Bintaro, kan? Takutnya saya salah angkut penumpang, Mas," jelas pria itu seraya meringis pelan.

William mengangguk pelan. Dirinya memang akan ke Bintaro, rumah kedua orang tuanya terletak di sana, dekat dari tempat tinggal Karissa yang berada di ... Sudimara.

"Kok jauh banget ke Halim, Mas? Harusnya ke Soekarno-Hatta aja gak, sih?" tanya pria itu entah untuk apa ... sepertinya sekadar basa-basi saja.

Atau mungkin ia benar-benar peduli? Ah ... William tidak tahu, dirinya sudah terlalu lama berada di Amerika hingga ia lupa bagaimana ramahnya orang Indonesia. Dan entah mengapa rasanya cukup ... memuakkan—sorry to say.

"Bareng teman soalnya, Pak," jawab William sekenanya, tubuhnya sedang lelah akibat digempur habis-habisan oleh dosen di kampusnya dan pikirannya sedang luar biasa kacau akibat Jakarta dan Karissa.

Siapa pun tolong kutuk Haris sekarang menjadi kodok agar pria itu segera bertemu dengan jodohnya dan tidak lagi mempedulikan William.

"Oh, temannya di mana, Mas?"

Nah, kan. Ini orang Indonesia yang memang berkali-kali lipat lebih ramah dibanding manusia di Amerika atau dirinya saja yang sedang sensitif tidak mau ditanyai hal macam-macam?

"Di ... di Jakarta Timur, Pak." William lalu memilih menutup matanya, berniat mengistirahatkan dirinya sekaligus mengistirahatkan mulut sopir itu yang menanyakan beragam pertanyaan padanya.

Pria paruh baya yang sedang bertugas untuk mengantarkan William ke rumahnya segera menginjak pedal gas, bersiap untuk meninggalkan bandara yang cukup sesak akibat banyaknya orang di sana.

Well ... Jakarta is not a quiet place, it is not a quiet city.

Menurut William, Jakarta itu berisik, you definitely should have someone who can mute all of that loudness. Jakarta itu sibuk, jika tidak punya tujuan, seseorang bisa saja tersesat. Jakarta itu city of hope, semua orang datang ke sana untuk memperbaiki hidup mereka so you have to be tough. Dan terkadang, seseorang bisa kuat karena support system yang hadir di dalam hidupnya.

Bagi William ... orang itu adalah Karissa. Karissa lagi, Karissa terus. This girl have a damn place in his mind.

"Karissa ... can you just ... let me rest for a moment?" William bergumam di dalam hatinya.

***

The Unspoken ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang