(karissa) eight; in case we met

6 0 0
                                    

Ada suatu waktu di mana lidah gue minta macam-macam dan harus banget diturutin, kalau gak otak gue nangis dan gak bisa dipakai mikir. Lebay banget bahasanya, ya? Tapi itu beneran kejadian beberapa kali.

Saat itu gue masih di bangku SMA, semester satu kelas dua, pas banget habis ujian semesteran, gue langsung ke Kota Tua Jakarta sendirian tanpa teman sama sekali dengan bantuan taxi online. Alasannya? Ya karena itu tadi, lidah gue pengen kerak telor yang ada di sana. Lagian gue baru aja sukses melewati ujian, self reward sekali-kali gak apa, kan?

Ada satu hal yang gue suka dari Kota Tua, rasanya di sana tuh tetap vintage di tengah-tengah Jakarta yang udah modern banget kelihatannya.

Ya ... sebenarnya gue suka tiga hal dari Kota Tua, sih. Yang pertama vintage vibes-nya, kedua kerak telor-nya, dan yang terakhir adalah orang-orang yang menampilkan bakatnya—orang-orang yang terbang, manusia perak atau emas, sampai manusia yang cosplay jadi berbagai macam hantu di Indonesia.

Ah ... you know what I mean. William likes the same thing walaupun yang suka banget sama hantu-hantu itu gue.

"Lo kayaknya semangat banget lihatnya." Itu kalimat pertama yang gue harap gak pernah diucapkan oleh William. Karena gue yakin banget, tanpa kalimat pembuka itu gue dan William gak bakalan pernah ada.

Saat itu gue tertawa pelan, berasumsi bahwa mungkin cowok ini nyadar kalau gue asyik nonton orang-orang bergantian berfoto bersama hantu-hantu itu selama lebih dari sepuluh menit.

Dia masih SMA, entah kelas berapa, gue gak terlalu peduli. Dari seragamnya sih kayaknya anak SMA swasta. Ngapain dia di sini? Mata gue lalu turun ke tangannya, mendapati sebuah kamera di sana.

"Mau gue fotoin bareng mereka, gak?" tawar William kemudian, mungkin setelah ia sadar ke mana tatapan gue saat ini.

Gue dengan cepat menggeleng. Gue masih terlalu waras—atau entah malu—untuk difoto oleh cowok SMA yang belum genap semenit gue temui.

"Oh iya ... by the way nama gue William." Cowok itu menyodorkan tangan kanannya, membuat tangan kirinya memegang kamera sendirian.

He's too ... good. Saat gue SMA, jarang banget ada orang yang terang-terangan nunjukin bahwa dia pengen ngobrol sama gue. And it's totally okay, gue juga males ngomong, kan? But here's the problem, he is different. William saat itu dengan terang-terangan menunjukkan bahwa dia pengen ngobrol sama gue.

Yeah, cliché banget emang.

"Karissa," balas gue seraya tersenyum simpul, mengabaikan tangan besarnya yang mengajak berjabat tangan.

Harusnya William tersinggung setelah tangannya gue abaikan, sayangnya gak.

"With C?" tanya William seraya menaikkan alisnya, bukannya berniat pergi, cowok itu malah kelihatan lebih antusias dibanding sebelumnya.

Is there something wrong with him?

Gue menggeleng, menunjukkan lambang nama di seragam gue. "With K." Lalu saat itu gue sadar bahwa itu dua kata yang tidak perlu.

You see, I always believe that actions speak louder than words. Dengan menunjukkan lambang nama, harusnya gue gak usah ngomong. William bisa melihat dengan jelas bagaimana tulisan nama gue juga, kan?

William mengangguk mengerti, kali ini ia menggoyang-goyangkan kamera kecilnya. "Seriusan gak mau gue fotoin bareng mereka?" tanya William lagi.

Gue tertawa lalu menggeleng.

"Kenapa? Lo kelihatan tertarik gitu sama mereka." William menuntut alasan.

Alright, maybe Karissa has to give him a chance—entah kesempatan apaan.

"Emangnya harus? Gue lebih suka nyimpan sesuatu pakai mata gue," ujar gue sambil menunjuk mata kiri.

William menaikkan alisnya. "Kalau lupa?"

"Kalau lupa ya ... yaudah, berarti memorinya gak terlalu penting aja," jawab gue saat itu dengan santai.

William mengangguk mengerti, terlihat puas dengan alasan yang baru aja gue karang sedetik setelah dia bertanya.

"Lo berarti gampang ikhlas, dong?"

"Hah?" beo gue gak ngerti.

William tersenyum melihat gue yang bingung dengan pertanyaannya. "Lo gampang ikhlas, gampang melepaskan sesuatu."

Gue menatap matanya, masih dengan wajah yang bingung.

William tertawa pelan. "Sini deh gue fotoin, Kar. Biar nanti ada yang lo pamerin gitu kalau pulang."

Nonsense, mau dipamer ke siapa memangnya? Gue awalnya pengen ngomong itu, tapi gue urungkan. "Atau gimana kalau lo aja yang foto bareng mereka?" Gue membalik pertanyaan.

William terbahak, ia kemudian menggeleng. "Gak, ah. Ngeri gitu," tolaknya mentah-mentah.

"Gak ngeri, itu fake blood, William," balas gue seraya terkikik pelan sebelum menyadari bahwa hari sudah mulai gelap.

"Eh ... bentar lagi jam 6, gue balik dulu, ya," pamit gue sambil memperbaiki tas ransel yang menempel di punggung.

William terlihat ingin menahan, lalu kemudian bertanya, "Lo ke sini bareng siapa emang?"

Pertanyaan itu, harusnya gak gue jawab. "Sendirian."

"Oh ... bawa kendaraan?" William kembali bertanya.

"Gak, bareng driver taxi online." Udah berapa kali gue memberi terlalu banyak informasi pada cowok yang baru saja gue temui ini?

"Seriously?" William bertanya seraya melayangkan tatapannya pada gue seakan-akan gue baru saja melakukan sebuah kejahatan.

"Karissa, ada stasiun kereta api dekat sini," ingat William.

Gue menatap William dengan bingung. Ya ... terus?

"Gue gak kebiasa pakai transportasi umum," jawab gue pelan sekaligus malu. Di umur gue yang nyaris legal merokok ini, menyeberang sendirian aja kadang gue masih takut, apalagi berbaur dengan berbagai macam manusia di kereta api.

"Kalau gitu bareng gue aja, gue anterin sampai rumah pokoknya," ajaknya terlihat meyakinkan.

Gue menarik napas pelan, cowok ini turun dari mana sampai bisa sebaik ini?

"William, kita baru aja ketemu, I don't think I can accept your offer," jawab gue gak enak walaupun sebenarnya penawaran William itu kedengaran menarik banget, tapi logika gue ternyata masih aktif.

William tersenyum mengerti. "Alright, mau gue temanin sampai taxi lo datang?" Lagi-lagi ia menawarkan.

Gue sontak bengong. Ini gue habis ngelakuin apa sampai dipertemukan orang kayak gini?

"Hm—"

"I take that as a 'yes'."

Setelahnya gue hanya pasrah, berdiri di samping William yang kayaknya tingginya cukup untuk dimasukkan dalam kategori attractive, belum lagi kulitnya yang terlihat pas dengan wajahnya yang rapi dengan hidungnya yang mancung.

"Nih." William menyerahkan memori kameranya pada gue.

Yang benar aja, gak mungkin gue terima, lah.

William lagi-lagi tersenyum saat gue tidak langsung menerima memori itu. "Terima aja ya, Kar? Please?"

"Untuk?" Gue butuh alasan untuk melakukan sesuatu.

"Karena gue tahu gue masih gak sepenting itu untuk diingat tapi gue gak mau lo lupa soal pertemuan kita."

Congratulations, William, you did it! Lo berhasil bikin gue terus ingat dengan momen itu walau pertemuan kita terjadi dua tahun yang lalu.

***

The Unspoken ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang