nine; weekend in jakarta

4 0 0
                                    

"Pier ke mana, nih?" tanya Haris dengan kepala yang tidak berhenti menoleh ke sana-kemari sejak sekitar sepuluh menit yang lalu, mencari sesosok sahabat lamanya, Pierre si blasteran Jerman.

William menggeleng sebagai jawabannya, sibuk dengan seperangkat kamera yang ia pakai untuk memotret selama satu pekan terakhir ini.

"Lo habis haunting foto, Bro?" Haris bertanya dengan kedua alis yang naik, meminta penjelasan lebih.

Suasana kafe di siang hari itu tidak terlalu ramai, William sengaja menentukan tempat pertemuan di kafe yang sama sekali tidak Instagram-able agar ia bisa menghindari kebisingan orang-orang ramai. Cukup musik background kafe saja yang menghiasi.

Lagi pula ini Minggu pagi, waktu istirahat dan lembur orang-orang Jakarta terutama pada saat akhir bulan. Lalu tanpa disadari ... Senin datang tanpa permisi. Saran William, tidak usah dipikirkan soal Senin, jalani saja. Karena semakin Senin diingat, biasanya semakin banyak hal yang tidak ingin dilakukan ... atau yang tidak seharusnya dilakukan.

Demi sesuap nasi orang rela untuk merenggut kebahagiaan orang lain, kan? Demi kelangsungan hidup di Jakarta banyak orang yang merelakan waktunya habis di kantor, kan?

Mereka tidak menginginkannya, tetapi terpaksa melakukannya agar tetap bisa hidup dan sejahtera—setidaknya itu yang mereka pikir—di Jakarta. Intinya Minggu belum tentu ramai, banyak yang memilih untuk beristirahat seharian di hari itu.

"Hm," respons William acuh. William bukan tipe orang yang bisa diganggu saat sedang bekerja, tidak seperti Haris.

"Wiih ... produktif banget kayaknya anak magang Pak Reno," komentar Haris seraya tersenyum mengejek.

William berdecak pelan, menatap Haris datar. "Emang lo pulang jam berapa sampai gak bisa haunting foto di Jakarta?" tanya William, berusaha mengerti kondisi sahabatnya ini.

Haris tidak menjawab, pria itu malah tersenyum semringah saat melihat seorang jangkung dengan badan yang lumayan kekar berdiri di belakang William, baru saja masuk ke dalam sana.

"Yoo ... Pierre, my Bro!" Tanpa basa-basi Haris langsung menabrakkan telapak tangannya pada telapak tangan Pierre ala pria.

William masih sibuk dengan foto-fotonya, kali ini matanya terpaku pada laptop dengan sekitar empat ratus foto baru di dalamnya. Pierre dan Haris yang berdiri di belakang William sontak mendekat, penasaran dengan apa yang William lakukan.

"Loh?" Pierre sontak bertanya saat melihat gedung tinggi yang ia kunjungi hampir setiap hari berada di antaranya.

"Lo habis ke Sampoerna? Kenapa gak ngasih tahu gue?" tanya Pierre, terlihat kesal dengan William yang jarang sekali membagikan rencananya pada orang lain.

Bahkan menurut Haris, William ini aneh.

William menoleh sejenak pada Pierre sebelum menggeleng pelan. "Emangnya lo ada di sana?" tanya William seraya menghela napas pasrah, terlihat malas untuk merespons.

"Iya, gue kuliahnya di sana," jawab Pierre santai yang sontak membuat Haris melotot.

"Lo kuliahnya di sini aja, Bro?" tanya Haris cepat, berusaha mengonfirmasi apa saja yang ia pikirkan tentang Pierre.

Pierre mengangguk mantap. "Gue mau temenin nenek aja yang sakit, makanya ambil sekolahnya di sini aja," jelas Pierre membenarkan.

Pierre lalu tertawa pelan. "Welcome to Jakarta ya kalian semua," lanjut Pierre dengan senyum hangatnya.

"Eh, Wil. Gimana ceritanya lo bisa ambil foto sampai ke kampus orang gitu?" Haris kemudian bertanya pada William yang nyatanya sedang terpaku dengan sebuah foto yang ia ambil diam-diam.

William tidak merespons, langsung menutup laptopnya lalu tersenyum tipis. "Gimana cewek yang mau lo deketin, Pier?" William langsung mengalihkan topik pembicaraan.

Pierre yang baru saja ditanya langsung bercahaya. "Gue udah dapat nomor kontaknya," jawab Pierre yang disambut oleh tepuk tangan bangga dari Haris yang sedikit agak playboy di antara mereka bertiga.

"Wah, gila ... jangan-jangan lo lebih sepuh dibanding gue, Pier?" tukas Haris bercanda.

"Lo minta langsung?" tanya Haris kemudian.

Pierre dengan polos menggeleng. "Gak, gue dapat dari sahabatnya yang sekelas sama gue," akunya.

Haris sontak menepuk dahi, William hanya tertawa pelan saja. Harris menggeleng saat Pierre masih menunjukkan wajahnya yang bingung, benar-benar tidak mengerti situasi apa ini.

"Bro, kalau minta nomor kontak gitu jangan ke temannya, ke dianya langsung aja, gak usah basa-basi." Coach Haris berpetuah.

"Kalau lo dapat dari temannya, bisa jadi lo dianggap creepy gitu sama dia," lanjut Haris.

"Emang siapa orangnya?" William lalu bertanya, penasaran dengan siapa sesosok yang menurut Pierre gak bisa digapai.

"Itu."

William membeku ketika Pierre menunjuk laptopnya seraya berkata, "Orangnya tadi ada di memori kamera Willy," lanjut Pierre.

Haris yang sedang meneguk kopinya nyaris tersedak dengan minuman itu.

Setelah kepergian Pierre, Haris tanpa ragu untuk melayangkan tatapan tajamnya pada William yang melanjutkan memilih-milih foto di laptopnya.

"Mata lo mau gue colok?" tanya William dengan acting yang meyakinkan, pulpen sudah tersedia di tangannya, siap melayang kapan saja.

Haris bergidik. "Lo seriusan se-effort itu ke Sampoerna cuman buat ambil foto orang diam-diam?" tanya Haris dengan tatapan tidak percaya.

"Eh sumpah, ya, Wil. Cassandra kurang apa?" lanjut Haris tidak habis pikir.

William memutar bola matanya malas. Kenapa temannya ini sepertinya senang sekali menyulap momen menjadi dramatis?

"Kurang chemistry," jawab William mantap, tanpa berpikir panjang.

Haris terdiam, mencerna jawaban William. Kerutan di dahinya terlihat semakin jelas, ia lalu menyeruput kopinya.

"Kurang chemistry gimana—"

"Wait a second ... Karissa si mantan lo itu yang Pierre maksud?" tebak Haris.

William mengangguk singkat, tidak ada gunanya menyembunyikan sesuatu. Cepat atau lambat orang-orang juga akan tahu.

Haris terbahak. "Wah, gila ... jangan sampai aja friendship kita rusak gara-gara lo berdua yang naksir dengan cewek yang sama."

William memilih untuk tidak merespons. Ia tahu Karissa, dan pria seperti Pierre itu bukan tipenya. Karissa lebih suka keheningan dan orang yang tingkat kepekaannya lebih 'dewa' dibandingkan orang pada umumnya.

"Ngaco lo," tuduh William, ikut tertawa pelan.

"Lo yang ngaco!" semprot Haris tidak terima.

"Bro, waktu kita di Indonesia gak lama, manfaatin buat dapetin hati dia lagi, dong," lanjut Haris.

William lagi-lagi tidak merespons. Long distance relationship itu hal terakhir yang ingin ia lakukan.

Tahu trauma, kan? Trauma adalah respons emosional tubuh terhadap peristiwa yang mengerikan. William tidak mau saja hubungannya berujung seperti hubungan kedua orang tuanya yang awalnya long distance menjadi divorced. Apa pun itu, William tidak mau dirinya mengikuti suatu hal yang orang tuanya pernah lakukan.

Another unspoken things. Bahkan tubuh manusia, spesifiknya tindakan manusia sendiri saja bisa menjadi pengingat bahwa seseorang pernah melakukan yang serupa dan rasanya yang pedih.

***

The Unspoken ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang