Setelah mengantarkan Karissa dengan aman ke rumah gadis itu, William segera mengunjungi beberapa macam angkringan yang berjejer di samping perumahan Karissa. William memilih untuk membeli beberapa gorengan lalu menghampiri satpam perumahan tempat Karissa tinggal.
"Bang!" seru William seraya tertawa pelan saat menemukan pria berkulit gelap dengan badannya yang cukup kekar di dalam pos satpam.
Kiran sontak tersenyum semringah melihat keberadaan William. William memang sering menyempatkan waktu ke sana saat ia masih mempunyai hubungan dengan Karissa, hanya sekadar menikmati gorengan bersama saja.
Entah mengapa ada kesenangan sendiri bagi William ketika bertemu dengan orang-orang seperti tukang parkir, tukang sapu jalan, bahkan ia sempat mengobrol dengan preman di Tanah Abang pada suatu waktu. William juga tidak mengerti apa yang terjadi, tapi dirinya berhasil keluar dari sana tanpa terjadi apa-apa.
Mungkin karena mereka memiliki pengalaman yang menurut William menarik hingga ia nyaman saja mengobrol dengan orang-orang seperti mereka.
Contohnya saja Kiran, pria ini adalah mantan tentara yang sudah pensiun dan berakhir menjadi satpam di perumahan Karissa. Orangnya bersahaja, dan mungkin karena William yang sudah berkali-kali menyempatkan diri untuk singgah, Kiran menjadi berlaku seperti seorang paman bagi William.
"Waduh ... udah lama banget lo gak ke sini, ke mana aja?" tanya Kiran seraya menarik kursi plastik yang berada di ujung ruangan mendekat ke arahnya, mempersilahkan William duduk di sana.
William tertawa pelan, meletakkan sebungkus gorengan yang baru saja ia beli. "Gue berhasil masuk Amerika, Bang." William menaik-naikkan alisnya dengan bangga.
Kiran menepuk-nepuk pundak William layaknya seorang paman yang bangga dengan keponakannya. "Kan gue bilang juga apa, lo bisa."
"Terus ini lo ke sini kenapa, nih? Gak mau nongkrong bareng Neng Karissa aja?" tanya Kiran kemudian.
William lagi-lagi hanya bisa tertawa, memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu dan mengambil sebuah pisang goreng dari kantong plastik bening itu. "Makan, Bang. Enak ini," titah William seraya mengangkat gorengannya.
"Ini enaknya bareng kopi, nih," saran Kiran yang baru saja mengintip isi kantong yang dibawa William. "Mau juga lo?" tanya Kiran kemudian.
William yang sedang mengunyah mengangguk. "Boleh, Bang," jawab William.
Kiran berdiri dari tempat duduknya, meninggalkan pos itu. Beberapa saat setelahnya ia kembali dengan dua gelas kopi di tangannya, meletakkannya di meja. "Minum, Wil." Kiran menyeruput kopinya pelan.
William mengangguk, ikut mengambil gelasnya dan menyeruputnya pelan seraya menatap komputer yang tengah menyiarkan seluruh sudut perumahan dari luar.
"Ada pencuri masuk ke sini biasanya, Bang?" Entah mengapa William jadi memikirkan hal itu.
Kiran mengambil sepotong gorengan lalu mengangguk. "Sempat ada yang masuk ... sekitar dua bulan yang lalu mungkin," jawabnya.
"Loh? Terus gimana tuh, Bang?" William entah mengapa jadi khawatir dengan Karissa di dalam sana.
"Ye ... elu, mah. Ya gue samperin, lah. Gue tangkap terus gue panggil polisi, habis itu ya udeh ... si polisi yang ngurusin. Tugas gue kan udah, sampai situ doang," jelas Kiran santai.
William mengangguk-angguk mengerti.
"Khawatir ama Neng Karissa lo, ye?" tebak Kiran dengan wajah menggoda.
William tertawa, ia lalu menggelengkan kepalanya, menyeruput kopinya pelan. "Gak, Bang. Nanya aja, gue pikir gak ada yang nekat masuk sini." William beralasan.
Kiran mendelik. "Nekat, lah. Perumahan orang kaya kayak begini masa dianggurin? Lagian ekonomi sekarang di Indonesia makin memprihatinkan, Wil." Kiran menjelaskan dengan serius.
Kiran menyantap gorengannya, ia lalu menggeleng. "Tapi kalau buat lo mah kayaknya gak usah khawatir soal ekonomi. Lo seriusin aja sekolah lo di Amerika sana, ntar balik ubah ini perekonomian biar satpam-satpam pada sejahtera," nasihat Kiran bijak dengan kelakar di akhirnya yang sukses membuat dirinya dan William tertawa santai.
"Lo ada masalah ye sama Neng Karissa?" tanya Kiran beberapa saat kemudian.
William tersenyum masam. "Udah bubar dari lama, Bang," jawab William akhirnya.
Kiran mengangguk mengerti. "Yaudah, lah. Moga lo berdua dapat jodoh yang terbaik," responsnya yang terdengar luar biasa tulus.
"Yang terbaik sih banyak ya, Bang. Masalahnya gue maunya dia."
Kiran menggeleng, lantas tertawa pelan. "Aduh ... ribet banget anak muda jaman sekarang," komentar Kiran.
"Kenapa lagi tuh, Bang?" tanya William pelan, tak bisa dipungkiri, ia jadi tersinggung jika seperti ini.
"Dulu nih ye, kita tuh pacaran ya buat nikah. Pacarannya bisa tuh dari pas SMA, kuliah, habis itu nikah. Lah ... anak jaman sekarang belum apa-apa udah bubar ae. Alasannya macam-macam tuh, ada yang selingkuh, ada yang terlalu baik, lah."
"Terus ada lagi tuh kasus kayak pacaran tapi ternyata temenan doang," lanjut Kiran seraya terbahak.
William ikut tertawa. "Lo dapat cerita dari mana, Bang?" tanya William tidak habis pikir.
Kiran menyeruput kopinya. "Anak gue cerita soal temennya yang kayak gitu," jawab Kiran jujur.
Kiran lalu menatap sebungkus gorengan itu dengan tatapan curiga. "Jangan-jangan lo ke sini karena mau nyogok gue biar lo bisa deketin Neng Karissa lagi?" tebak Kiran.
William dengan cepat menggeleng. "Gak, lah, Bang."
Kiran mengangguk lalu tersenyum. "Tenang aja, Wil. Karissa belum ada cowok, kok."
William mengernyit bingung. "Lah, kok lo bisa tahu, Bang?" Tentu ia akan bertanya apa dasar Kiran bisa mengatakan seperti itu.
"Dia dianterin taksi mulu ke rumah. Kalau gak taksi paling bareng temannya," jawab Kiran yang harus memperhatikan setiap mobil yang masuk ke dalam sana, memeriksanya bahkan jika perlu.
William hanya terdiam mendengarnya. Jujur saja ia semakin benci dengan dirinya sendiri.
Sedangkan Karissa yang masih terjaga di dalam kamarnya hanya menatap datar kepingan memori kamera yang diberikan William sekitar dua setengah tahun yang lalu. Karissa menghela napas, lagi-lagi ia menyerah pada keinginan hatinya yang menuntut untuk membuka kembali foto-foto yang diambil William di hari pertama mereka bertemu.
Karissa mengambil laptopnya, membukanya lalu memasukkan memori itu ke dalam salah satu port laptopnya. Karissa suka dengan isinya. Ada banyak potret gedung mulai dari Museum Fatahillah, Toko Merah, dan beberapa macam museum lain yang berada di sekitar sana.
Hari itu William juga memotret dirinya dengan seorang manusia dengan cat perak di seluruh tubuhnya. Senyuman William terpancar dengan tulus di foto itu, matanya terlihat bersemangat berdiri di samping manusia perak itu yang membuat siapa saja langsung jatuh cinta dengan pria yang masih memiliki sedikit aksen Amerika di wajahnya.
Karissa menghela napas. Lalu ada sekitar lima foto yang diambil William diam-diam. Ada Karissa yang sedang menyantap kerak telor seraya menonton orang yang sedang berpakaian layaknya hantu Indonesia, ada juga foto Karissa yang terdistraksi oleh kucing di jalanan, Karissa yang sedang tertawa, sampai Karissa yang berdiri di samping William dengan canggung.
Lucu sekali, hanya dengan foto-foto yang ada di dalamnya Karissa sudah bisa membayangkan apa yang William lakukan di sana dan apa saja yang membuat William tertarik.
Sialnya salah satu hal yang membuat William tertarik adalah Karissa.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/378339347-288-k511688.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unspoken Thing
Short StoryUnspoken things. Hewan, tumbuhan, suasana, kendaraan, dan lainnya yang tidak dapat berkomunikasi dengan manusia tetapi anehnya dapat menyimpan sebuah kenangan, membuat Karissa terkadang benci dengan tempat itu. Namun unspoken things tidak terbatas s...