"Makasih pak udah nganterin saya pulang," ujar Giselle dengan membungkuk kan tubuh nya kepada sang supir pribadi Maudy.
Supir itu tersenyum canggung, ayolah ia hanya supir. "Sama-sama non, jangan ngebungkuk gitu. Saya merasa tersanjung jadinya."
"Gak masalah, kan menghormati yang tua pak," ucap Giselle.
Supir itu tersenyum lalu berujar, "Saya pamit ya non."
"Iya pak, hati-hati."
Giselle membuka pagar rumah dan menatap sekeliling yang memang sepi karna jam masih pukul 05.00 pagi. Giselle membuka pintu rumah dengan pelan dan melihat sekeliling rumah yang sepi, Giselle menghela nafas lega lalu menutup pintu dengan pelan. Ia berbalik badan. "HUWAA!!!" teriak Giselle karna di depan nya itu sosok mamanya yang menatap dirinya tajam dengan kedua tangan di pinggang.
"Habis dari mana kamu?! Jam segini baru pulang! Kamu gak tau seberapa khawatir nya mama papa sama abang kamu, kalau kamu belum pulang semaleman hah?! Kalau kamu kenapa-kenapa gimana GISELLE?!!!" omel Aruna dengan tegas dan juga tatapan yang tajam pada anak perawan nya itu. Giselle hanya menunduk kan kepalanya saja tanpa berani menatap wajah garang ibunya.
"Kamu itu perempuan, keluyuran malem-malem gak jelas bareng temen kamu yang brandal itu iya?!" bentak Aruna dengan memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri. Karena dari semalem pusing sudah mendera kepalanya karena putrinya belum pulang semaleman ini.
Giselle meremat jarinya, ia takut sekali jika ibu nya sudah marah seperti ini. Tidak terbayangkan jika sang ayah yang memarahi dirinya. Dah lah jiwa dan raga ketar-ketir.
"Jangan salahin temen aku ma, yang salah itu aku. Jangan ngomel-ngomel dulu lah ma. Aku takut nih," ujar Giselle dengan memeluk lengan mamanya di sertai elusan lembut.
Aruna menghembuskan nafas nya kasar, "Jelasin ke mama kenapa kamu gak pulang semaleman?"
"Balapan lah ma, apalagi kalau bukan balapan," sahut Chandra.
Aruna menatap tajam Giselle, "Udah mama bilang jangan berteman sama pergaulan yang gak bener. GISELLE!!."
"Mama gak suka kalau kamu berteman sama si Reyhan," sambung Aruna.
"Reyhan baik ma, mama jangan ngeliat orang dari covernya tapi liat dari hatinya. Yang tampangnya baik aja kadang munafik ma," jelas Giselle.
"Tumben kamu bijak?" heran Aruna.
"Aku emang bijak, mamanya aja yang gak nyadar," celetuk Giselle.
"Berani ngejawab kamu," kesal Aruna.
Giselle terperangah, aneh padahal ibunya bertanya yang pasti di jawab kenapa malah di semprot juga. Herman.
"Urusan kamu sama mama belum selesai, oh iyah kalau kamu di omelin sama papa, jangan minta tolong sama mama. Chandra jangan tolongin Giselle kalau di omelin sama papa," ucap Aruna.
"Aku ogah banget ma tolongin anak bandel kek dia, biarin aja kalau nangis kejer," timpal Chandra membuat hati Giselle kesal bukan main.
Awas Lo bang, batin Giselle.
Aruna dan Chandra langsung melakukan aktivitas nya masing-masing meninggalkan Giselle yang kesal, takut, gelisah hatinya.
"Hahh bego banget, nyesel kenapa juga gue ikut sama si Mahen. Eh kalau gue gak ikut, si Chio nya gak bisa pulang, gini amat nasib gue," gumam Giselle.
. . . .
Mahendra yang tengah tertidur pulas di ranjang miliknya dulu merasa terusik dengan gangguan tangan mungil yang menusuk-nusuk pipinya.
Si pelaku yang melihat Mahendra terusik dari tidurnya terkikik geli lalu semakin mengerjai Mahendra dengan mencubit pipi Mahendra.
Mahendra yang memang sudah bangun dan tetap terpejam matanya menahan tawa hingga bibirnya berkedut.
"Akh!" pekik Mahendra dengan memegang pipi nya bekas di cubit oleh Chio.
Chio tersentak kaget lalu melihat wajah Mahendra yang menahan sesuatu seperti kesakitan.
"Om kenapa? Gara-gara Chio ya om, maafin Chio pasti sakit hiks," isak Chio.
"Akh Chio," ringis Mahendra yang di buat-buat.
Chio semakin terisak lalu meniup-niup pipi Mahendra. Gemas, itu lah yang bisa di katakan Mahendra, bibir yang mengerucut meniup-niup pipi Mahendra dengan wajah yang serius dan lelehan mata.
"Pft haha," runtuh sudah pertahanan Mahendra. Ia benar-benar tidak bisa menahan tawa gemasnya sedari tadi.
Chio menatap heran Mahendra, "Kok om malah ketawa? Om bohongin Chio ya? Om jahat huhu padahal Chio khawatir ish."
Chio menatap sebal Mahendra.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mahendra mengangkat tubuh gempal Chio lalu di pangku, Chio dengan wajah sebalnya memalingkan wajahnya.
Mahendra menatap lembut Chio. Anak nya, putranya dengan Yasmine kini sudah besar sekali, andai Chio tau bahwa dirinya ayah biologis nya. Hanya andai yang bisa di ucapkan Mahendra.
"Chio maafin om ya, jangan cemberut gitu donk. Nanti malem om ajak ke pasar malem mau gak?" tawar Mahendra.
Tawaran itu sangat menggiurkan untuk Chio yang suka bermain dan makanan. Namun, Chio hanya diam saja tanpa menjawab.
Mahendra terkekeh geli, ngambek rupanya. "Yaudah deh kalau gak mau, padahal mau om ajak naik bianglala tapi Chio gak mau."
"AKU MAU!!" pekik Chio mengagetkan Mahendra.
"Ngagetin aja kamu, janji jangan marah lagi sama om ya?" ucap Mahendra.
Chio mengangguk, "Pinky promise."
Mahendra tersenyum sumringah lalu memeluk Chio dengan sayang dengan di bumbui kecupan manis pada pucuk kepala Chio.
Daddy sangat menyayangi mu Chio, maafkan Daddy. --Mahendra.