He Yu, Ming Hao, Luo Rong, dan Xin Er memutuskan untuk berkumpul di sebuah kafe kecil dekat kampus. Kafe itu terletak di sisi selatan Universitas Tsinghua, dikenal sebagai tempat yang nyaman untuk bersantai setelah kelas atau latihan olahraga. Suasananya hangat, dengan aroma kopi yang menyegarkan dan suara musik jazz lembut yang mengalun di latar belakang.
Mereka duduk di meja bundar di sudut kafe, di mana Luo Rong langsung memesan cappuccino sementara Xin Er memesan iced latte dengan tambahan sirup karamel.
He Yu dan Ming Hao berbagi minuman, memilih sebotol air dingin untuk berdua dan caramel frappuccino utuk Ming Hao, serta americano untuk He Yu—kebiasaan mereka sejak masa SMP yang tak pernah berubah.
Sambil menunggu pesanan datang, Luo Rong mulai membuka percakapan dengan nada jahil. "Jadi, Lao He," ujarnya sambil bersandar di kursi, "gimana hubunganmu dengan Yi Wen Jun sekarang? Dengar-dengar dia agak keberatan dengan kehadiran 'bayi' kita ini." Ia melirik ke arah Ming Hao dengan seringai nakal.
Ming Hao, yang tengah menyesap caramel frappuccino, hampir tersedak saat mendengar ucapan itu. Ia melirik He Yu dengan wajah penuh rasa bersalah. "Ge, beneran dia keberatan? Kalau iya, aku gak mau jadi penyebab masalahmu lagi."
He Yu hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala.
"Jangan mikir kayak gitu, Haohao. Kamu gak pernah jadi masalah buat aku," jawab He Yu dengan nada tenang, lalu menatap Luo Rong. "Yi Wen Jun itu orangnya memang agak sensitif kalau melihat kedekatan kita, terutama ke Xiao Hao sih lebih tepatnya. Tapi sudah ku terangkan sejak awal, kalau mau deket dengan ku, dia juga harus bisa nerima keberadaan Haohao."
Xin Er, yang sejak tadi diam mendengarkan, tertawa kecil sambil melipat tangannya di depan dada.
"Dan inilah alasan kenapa setiap kali dirimu punya pacar, gak ada yang bertahan lama, Lao He. Soalnya gak ada yang bisa meyaingi Ming Hao dalam hidupmu," ujarnya sambil melirik Ming Hao dengan tatapan menggoda.
Ming Hao merasa pipinya memerah mendengar komentar Xin Er. Ia mencoba merespons dengan suara pelan, "Tapi ge, aku gak mau bikin hubunganmu jadi sulit. Kalau memang aku terlalu banyak ikut campur, aku bisa kok mulai jaga jarak."
He Yu menoleh dengan tatapan serius ke arah Ming Hao. "Xiao Hao, dengarkan aku. Kamu itu prioritas utamaku, titik. Tidak ada yang lebih penting dari kamu. Kalau Yi Wen Jun atau siapa pun tidak bisa menerima itu, ya berarti mereka bukan orang yang tepat untuk ku."
Luo Rong tertawa keras, hampir menumpahkan cappuccino-nya. "You hear that, Xiao Hao? Lao He kita ini emang gak pernah main-main kalau soal kamu. Setiap gadis yang mencoba deketin dia pasti kalah telak sama bayi satu ini!"
Ming Hao mencoba menyembunyikan rasa malunya di balik senyuman kecil. Ia tahu bahwa hubungan persahabatannya dengan He Yu memang spesial, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan rasa bersalahnya karena menjadi penghalang dalam hubungan asmara sahabatnya.
Di sisi lain, He Yu tetap tenang, seperti biasa, seolah segala candaan dan sindiran dari Luo Rong dan Xin Er hanyalah angin lalu.
Tatapannya tetap penuh perhatian kepada Ming Hao, memastikan bahwa sahabat kecilnya itu tidak merasa terbebani dengan situasi yang mereka alami.
Tidak lama kemudian, pembicaraan mereka beralih ke topik yang lebih ringan, membahas proyek-proyek kampus yang sedang mereka kerjakan. Xin Er dengan antusias menceritakan desain terbaru yang sedang ia garap di studio fashion, sementara Luo Rong dengan bangga membicarakan kemenangan tim futsal Teknik Sipil dalam turnamen internal kampus.
Namun, di tengah-tengah obrolan santai mereka, Ming Hao tidak bisa menghilangkan perasaan bersalahnya. Ia tahu bahwa sikap protektif He Yu sering menjadi alasan mengapa hubungan asmara sahabatnya tidak pernah bertahan lama.
Meski He Yu selalu meyakinkannya bahwa itu bukan masalah, di hati kecilnya, Ming Hao merasa bahwa dirinya adalah penghalang besar dalam kehidupan percintaan He Yu.
Saat suasana mulai agak tenang, Neo akhirnya memberanikan diri untuk mengutarakan isi hatinya.
"Ge, aku gak mau terus-terusan jadi alasan kamu putus sama pacar-pacar kamu. Kalo emang aku jadi masalah, aku bisa jaga jarak, beneran."
He Yu menatap Ming Hao dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada sesuatu yang begitu dalam dalam sorot matanya—sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan biasa.
"Ming Er," katanya lembut, "gak ada yang perlu diubah. Kamu tetap jadi prioritas ku, apapun yang terjadi. Lebih baik kehilangan pacar daripada harus kehilangan dirimu."
Kata-kata itu membuat Ming Hao terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Ada kehangatan yang menjalar di dadanya, perasaan yang sulit diungkapkan.
Sementara itu, Xin Er dan Luo Rong saling bertukar pandang dengan senyum penuh arti, seolah mereka tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan antara He Yu dan Ming Hao.
Dalam hati, Ming Hao mulai mempertanyakan perasaannya sendiri.
Apakah yang ia rasakan ini murni persahabatan, ataukah ada sesuatu yang lebih?
Namun, ia segera mengenyahkan pikiran itu, mencoba meyakinkan dirinya bahwa He Yu adalah sahabat terbaiknya, tidak lebih.
Sementara itu, dari sudut kafe, sosok Yi Wen Jun terlihat memperhatikan mereka dengan tatapan penuh kecemburuan. Tangannya mengepal erat di atas meja, mencoba menahan emosinya. Pandangannya tidak bisa lepas dari keintiman yang ditunjukkan oleh He Yu dan Ming Hao, yang meskipun tanpa kata-kata, terasa lebih kuat dari apapun yang pernah ia alami bersama He Yu.
Yi Wen Jun menundukkan kepalanya, merasakan campuran perasaan marah dan sedih yang tak bisa ia ungkapkan.
Ia tahu bahwa meskipun He Yu adalah pacarnya saat ini, tempat di hati He Yu yang terdalam sudah lebih dulu dimiliki oleh Ming Hao—dan tak ada yang bisa menggantikan itu.
Di sisi lain, Luo Rong mencoba mencairkan suasana dengan menggoda Xin Er tentang kehidupannya yang sering terlihat glamour. "Xin Er, gimana dengan project mu di Fashion Design itu? Projek agenda rencana mau ngadain peragaan busana masih jadi?"
Xin Er mengangguk dengan penuh semangat. "Ofcourse! I'm still focusing on that project. But the more important things right now..., kapan nih dikenalin ke teman-teman tampanmu dari fakultas Teknik Sipil itu, Lao Wang?"
Luo Rong tertawa kecil, "Tch, this little whitch! Tenang saja, bakar ku carikan yang paling cocok buat untuk mu. Tapi, aku perlu berjaga-jaga juga, jangan sampai mereka malah kepincut sama 'bayi besar' kita yang satu ini," katanya sambil melirik Ming Hao.
Semua tertawa bersama, termasuk Ming Hao yang akhirnya bisa tersenyum lebih lepas, meskipun di dalam hatinya ada kekhawatiran yang masih menggantung.
Suasana canda dan tawa di kafe itu kembali mencair, namun di balik tawa mereka, konflik batin mulai semakin terasa nyata bagi masing-masing dari mereka.
Mereka sadar bahwa hubungan persahabatan ini bukanlah hubungan biasa.
Ada terlalu banyak rasa, terlalu banyak ikatan emosional yang sulit untuk diurai.
Namun, apa pun itu, satu hal yang pasti adalah He Yu dan Ming Hao akan selalu ada satu sama lain, entah sebagai sahabat atau mungkin, lebih dari itu.
Ketika mereka meninggalkan kafe, He Yu menggandeng lengan Ming Hao dengan santai, seolah tidak ada yang lebih wajar di dunia ini. Mereka berjalan bersama menuju area kampus, diikuti oleh Luo Rong dan Xin Er yang terus menggoda mereka berdua dengan candaan ringan.
Namun, di belakang mereka, Yi Wen Jun berdiri sendiri, menatap dengan hati yang penuh kecemburuan dan kepedihan.
Ia tahu bahwa selama Ming Hao ada di sisi He Yu, tidak ada tempat untuknya atau siapa pun di hati pria itu.
.
.
.
tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
More Then Just Best-Friend | YeBai/HeyuNeo
RomantizmDi tengah riuh kehidupan kampus di Beijing, dua sahabat yang telah bersama menghadapi pergolakan perasaan yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. Ketika kedekatan mereka semakin terlihat oleh sahabat-sahabat mereka, keduanya mulai mempertanyakan...