Happy Reading 🌻
/ᐠ≽•ヮ•≼マ
Dirumah sakit jiwa harapan sehat, tempat sekaligus rumah Anitha tinggal. Tidak ada rumah lain selain bangunan itu, bahkan bangunan itu menjadi rumah terakhir dia menetap karena kini ia tidak punya tempat tinggal.
Ditinggal mati oleh kedua orang tuanya membuat Anitha merasa ditinggalkan dan dibiarkan hidup sendiri disebuah bangunan besar yang menampung para penderita gangguan jiwa.
Bahkan lelaki se-brengsek Gio pun tak sudi menerima dirinya kembali ke dalam rumah. Jadi mengapa berharap dapat keluar dari rumah sakit jiwa ini? Tidak ada yang peduli padanya. Setelah kehilangan orangtuanya dan diceraikan suaminya, Anitha kehilangan arah dalam hidupnya.
Dalam benak Anitha, jika ia meninggalkan gedung ke arah mana ia harus berjalan? Rumah orang tuanya? Tidak bisa, karena rumah orang tuanya sudah dijual sebelum mereka pindah ke Semarang bersama Anitha.
Kembali ke apartemen? Anitha tidak punya uang untuk membayar kamar apartemen, jadi itu terdengar sulit.
Pulang ke rumah Gio? Ck, Anitha bahkan tidak ingin menginjakkan kaki ke rumahnya. Mengingat perlakuan suaminya seperti bajingan dan melempar dirinya seperti sampah seolah Gio adalah partikel-partikel negatif yang merusak hidupnya.
Sudah jelas bahwa tidak ada opsi lain selain selama sisa umurnya menetap di rumah sakit jiwa sampai akhir hayatnya. Tapi, bagi dirinya lebih baik menua dan mati di rumah sakit jiwa daripada menua bersama seseorang yang selalu membawakan luka.
"Tuhan, aku benar-benar seperti manusia tanpa jiwa dan tanpa ekspresi kehidupan,"
Mata Anitha beriris coklat tak pernah berhenti kosong saat memandang jari-jari tangannya terbaring diatas helai selimut yang menyelimuti separuh tubuhnya. Wajah masam terlihat tak hidup dan tertekuk bawah. Selalu Anitha duduk seorang diri di atas ranjang dengan kaki terbujur ditutup selimut.
"Benar-benar aku seperti manusia tak berdaya tanpa penopang hidup.."
"Kehidupanku tlah hancur, Tuhan"
"Pada akhirnya aku hanyalah pilihan terakhir untuknya.. Rasanya aku disini seperti barang bekas dan tidak dibutuhkan lagi."Sesuai nada yang menggambarkan perasaannya.
"Dan aku gak pantas menjadi ibu. Perempuan yang memiliki masalah dengan psikisnya tak pantas disebut ibu dan hanya membawa malu."
Mata Anitha berkaca-kaca ketika memandang jendela yang menampakkan cahaya menembus tirai yang membentang. Menatap pemandangan kehidupan luar yang jauh berbeda dengan kehidupannya yang terisolasi dari dunia luar. Orang-orang berlalu lalang beraktivitas dengan bebas dipinggir jalan raya membuatnya terasa di selisih kan dari kehidupan sehari-hari yang monoton dan terisolasi dunia luar sangat menjijikan mati-matian.
"Naya"Tiba-tiba ia teringat nama anak perempuan yang terakhir kali ia lihat beberapa hari sebelumnya.
"Kamu bahagia kan didalam rumah? Dan kamu juga bahagia hidup bersama keluarga kamu meski kamu bukan dibesarkan mamah kandung?"
"Mamah merindukanmu, sayang."
"Mamah kandung mu ini sangat merindukan sentuhan tangan kamu yang hangat dan menginginkan pelukan kasih denganmu."
Rasanya semakin sakit hati dan berat usai menyalurkan kata-kata rindunya kepada keheningan yang ada di dalam kamar. Sunyi, Gelap dan dingin berbaur menjadi kehampaan melanda kekelaman hati Anitha yang semakin berkecamuk.
Air mata pun jatuh dari pelupuk yang sudah tak sanggup membendung. Jelas bagaimana sakit hatinya ketika sangat merindukan putrinya yang ia sayangi justru pernah ia usir keluar dari kamar saat menemui dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIFECIDENT: Life & Incident
Dla nastolatków"Sialnya aku hidup di tempat yang tidak seharusnya aku singgah, dunia terlalu kejam untukku." "Tuhan aku menyerah, bawalah jiwa yang hancur lebur ini setelah engkau membawa jiwa dari seseorang yang sangat berharga untukku." Nayanika Anindya Pradipta...