Malam ini terasa hawa dingin sangat menusuk kulit karena hujan baru saja usai membasahi bumi mulai dari siang tadi dan baru berhenti beberapa saat lalu, namun hawa dingin tersebut tak mampu membuat seorang pemuda yang duduk ditaman dengan kursi rodanya bergerak untuk masuk.
Pemuda itu hanya diam.
Tenggelam dalam pikirannya.
Hingga sebuah tepukan dibahunya nembuatnya menoleh sebelum menghela nafas malas saat melihat siapa orang yang mengganggunya.
"Masuk Van, ini dingin banget"
Vano diam, cukup malas menjawab ucapan orang tersebut.
"Kenapa keluar gak bilang-bilang? Semua orang nyariin lo tau gak?!" ucap pemuda itu, Nathan.
Nathan menutup kelopak matanya sebentar saat menyadari bahwa dia baru saja membentak adik tirinya sendiri.
"Maaf, gue terlalu khawatir"
Masih tak ada jawaban, dan hal tersebut berhasil membuat nathan kembali menghela nafas pelan.
"Kita masuk ya? Gue bantuin" tangan Nathan terangkat dan diarahkan pada pegangan kursi roda, namun jawaban dari pemuda yang sejak tadi hanya diam berhasil menghentikan gerakannya.
"Jangan sentuh apapun yang sedang berhubungan dengan gue"
Jevano melayangkan tatapan dinginnya pada Nathan.
"Lo udah ambil Papa, jadi jangan coba ambil apapun yang gue miliki lagi"
Nathan menghela nafas pelan sambil memejamkan kelopak matanya sesaat sebelum kembali membukanya
"Van, gue-"
"Shut up, you're too noisy" ucap Jevano kemudian kembali mengacuhkan keberadaan Nathan.
"Masuk ya? Udaranya dingin banget, kalau gini nanti lo gak sembuh-sembuh" ucap Nathan begitu lembut.
Jevano merotasikan bola matanya malas "Jujur aja, lo berharap gue mati dalam kecelakaan kemarin kan?"
Nathan menegang mendengar ucapan Jevano. Nathan mengambil langkah dan berdiri tepat dihadapan Jevano sebelum kemudian terduduk ditanah, tak perduli jika celanya akan kotor "Senegatif itu pikiran lo buat gue Van? Lo gak tau gimana kalutnya gue waktu denger lo kecelakaan kemarin! Lo gak tau gimana frustasinya gue ketika ngeliat banyak darah lo dibajunya Haekal! Lo gak liat gimana gue terus merapalkan doa supaya lo baik-baik aja! Gue memang anak yang merindukan kasih sayang dari seorang ayah, tapi gue gak pernah berniat ngambil Papa lo hikss...gak pernah terfikir dipikiran gue. Lo udah terlalu benci gue sampe lo gak bisa lagi ngeliat ketulusan gue buat lo Van hikss.... Gue sayang lo Van, gimana bisa gue berharap untuk kematian lo hikss. Kenapa lo tega mikir kaya gitu Van? Kenapa?"
Untuk malam itu.
Di taman rumah sakit.
Nathan menangis sendu dihadapan Jevano. Tangisannya terdengar cukup pilu, bahkan berhasil membuat Jevano mati-matian ikut menahan air matanya.
Namun bukan Jevano namanya jika tidak memiliki gengsi setinggi langit.
"Karena lo udah ngerusak kepercayaan gue" ucap Jevano lalu memundurkan kursi rodanya dan berlalu dari taman.
Meninggalkan Nathan yang masih terduduk didasar taman dengan air mata yang terus mengalir dari kedua pipinya dan dengan suara isakan yang terdengar semakin jelas.
"Bukan gue yang mau No, bukan gue...kalau gue tau akhirnya bakalan gini, gue gak akan pernah bilang sama Mama kalau gue pengen punya Papa. Gue nyesel karena udah ngeluarin kata-kata itu No, gue nyesell" batin Nathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistakes In The Past
RandomJevano menuliskan betapa sempurnanya ibunya dan dengan bangga membacakan suratnya didepan semua wali murid disekolahnya tepat dihari Ibu, tapi dalam kurun waktu 1 jam semuanya berubah ketika hati dan kepercayaannya dihancurkan oleh wanita yang dipan...