Bab 8

1.8K 16 0
                                        

⭐Peringatan nih! Jangan sampai novel ini di-copas atau diperjualbelikan ulang, ya. Kalo ada yang berani, langsung DM ke admin aja biar diurus. Jangan main-main deh!⭐

Tiap hari bakal di-upload 1 sampai 2 chapter, jadi stay tuned! Selamat menikmati ceritanya! 😎
-----
Farel duduk di atas kasurnya, sendirian, menatap bayangannya di cermin yang tergantung di pintu lemari. Udah lama dia nggak pakai baju cowok biasa. Kemeja dan celana jeans yang dulu sering dia pakai kini cuma tergantung di lemari, berdebu. Gantinya, tumpukan baju-baju yang Lila bawa semakin bertambah setiap harinya. Hari-hari Farel dipenuhi dengan aktivitas yang dulunya nggak pernah dia bayangin: pergi ke salon, belanja baju, bahkan mencoba make-up. Semakin hari, semuanya terasa semakin biasa.

Di sekolah, Farel mulai merasa ada yang berbeda. Teman-temannya masih seperti biasa, tapi beberapa dari mereka mulai melirik aneh ke arah Farel. Mungkin mereka udah mulai sadar ada sesuatu yang berubah. Tapi nggak ada yang berani ngomong langsung ke Farel. Mereka hanya melihat dari jauh, berbisik-bisik saat Farel lewat.

“Eh, si Farel kayaknya aneh deh sekarang,” kata salah satu teman kelas saat Farel keluar kelas. Dia dengar sayup-sayup dari sudut ruangan, tapi pura-pura nggak denger.

Di luar, dia bisa merasakan tatapan orang-orang, tapi nggak ada yang benar-benar mendekat atau bertanya. Kadang dia berpikir, mungkin mereka nggak peduli. Atau lebih mungkin lagi, mereka takut terlibat dengan perubahan yang dia alami. Di dalam kelas, Farel hanya diam. Duduk di pojok, menatap kosong ke arah papan tulis, sambil sesekali melirik ke bawah mejanya, ke arah kaki yang kini lebih sering terbalut sepatu feminin. Rok yang dia pakai membuat dia merasa semakin berbeda dari teman-teman cowok lainnya.

Setiap kali bel pulang sekolah berbunyi, Farel cepat-cepat pergi tanpa banyak bicara. Rasanya lega bisa pulang dan ngurung diri di kamar. Dia udah terbiasa dengan rutinitas itu—kembali ke kamarnya yang jadi tempat perlindungan, satu-satunya tempat di mana dia bisa menghadapi perubahan tanpa harus berurusan dengan pandangan orang lain. Di rumah, orang tuanya nggak banyak komentar. Mereka cuma berpikir mungkin Farel sedang fase pencarian jati diri, seperti yang biasanya terjadi pada anak remaja.

Namun, jauh di dalam hati, Farel tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pencarian jati diri. Perubahan ini bukan cuma fisik, tapi juga mental. Ada sesuatu yang makin sulit dia kendalikan. Setiap kali Lila datang membawa pakaian baru atau mengajak ke salon, ada bagian dari dirinya yang semakin ingin menerima, semakin ingin berubah.

“Rel, lo makin cantik aja ya,” puji Lila sambil bercanda saat mereka sedang duduk di kafe sepulang sekolah. Farel cuma bisa senyum kecil, meskipun dalam hatinya campur aduk. Dia nggak tahu harus merespon gimana. Pujian dari Lila kadang bikin dia merasa senang, tapi ada juga rasa takut yang terus menghantui.

Hari-hari Farel semakin berubah. Waktu mereka pergi ke salon, Farel udah nggak nolak lagi. Malah, dia mulai menikmati prosesnya—potongan rambut, cat kuku, bahkan sedikit make-up. Meskipun awalnya canggung, sekarang dia mulai terbiasa. Ada rasa aneh saat dia ngaca di salon, melihat bayangan dirinya dengan rambut yang lebih rapi, kulit yang terlihat lebih halus, dan bibir yang diberi sedikit lip gloss. Bagian dari dirinya yang dulu selalu merasa malu atau takut, sekarang mulai lenyap, digantikan oleh rasa penasaran yang terus tumbuh.

“Lo suka nggak?” tanya Lila sambil tersenyum, menunjuk wajah Farel yang sudah selesai didandani.

“Iya… lumayan,” jawab Farel pelan, mencoba menutupi kegugupan yang sebenarnya masih terasa. Tapi di dalam hatinya, ada bagian kecil yang mulai menerima perubahan itu.

Setiap kali mereka habis dari salon atau toko baju, Farel merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Bukan hanya penampilan fisiknya yang semakin feminin, tapi juga perasaan yang makin sulit dia pahami. Dia mulai terbiasa dengan pujian dari Lila, mulai terbiasa dengan perasaan bahwa dirinya bisa tampil lebih menarik dalam bentuk yang baru ini. Tapi di sisi lain, ada rasa takut yang semakin menghantui. Takut kalau perubahan ini nggak bisa dia hentikan. Takut kalau dia nggak bisa kembali menjadi dirinya yang dulu.

Gue Gak Mau Jadi FemboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang