BAB 9

936 11 0
                                    

⭐Peringatan nih! Jangan sampai novel ini di-copas atau diperjualbelikan ulang, ya. Kalo ada yang berani, langsung DM ke admin aja biar diurus. Jangan main-main deh!⭐

Tiap hari bakal di-upload 1 sampai 2 chapter, jadi stay tuned! Selamat menikmati ceritanya! 😎
-----
Farel menatap Lila dengan tatapan heran saat gadis itu tiba-tiba membawa sepatu hak tinggi ke kamarnya. "Lo serius, Lil?" tanya Farel, meskipun dalam hati dia udah tahu jawabannya.

Lila cuman ngangguk sambil senyum licik, matanya berbinar penuh semangat. "Ini bagian dari proses, Rel. Lo mau kan makin cantik dan anggun? Ya, lo harus belajar jalan pake ini." Dia melemparkan sepatu hak tinggi itu ke arah Farel, yang hanya bisa menangkapnya dengan wajah penuh kebingungan.

"Serius, gue nggak bisa pakai ginian," protes Farel, tapi suaranya terdengar lemah. Selalu begitu. Setiap kali Lila mengajaknya buat melakukan hal-hal aneh, dia nggak pernah bisa benar-benar bilang tidak. Selalu ada kekuatan yang membuat dia merasa terjebak, seolah nggak punya pilihan lain.

"Jangan drama deh," potong Lila cepat. "Lo bakal baik-baik aja. Percaya deh, gue bakal ngajarin lo." Dia kemudian memegang tangan Farel, membantunya berdiri, dan mulai memaksa Farel buat nyoba sepatu hak tinggi itu.

Sepatu hak itu terasa aneh di kaki Farel. Jangankan buat jalan, berdiri aja rasanya nggak stabil. Tapi di depan Lila, dia ngerasa nggak punya pilihan lain selain mencoba yang terbaik. Pelan-pelan, dia mulai melangkah, tapi tiap langkah terasa kayak ancaman. Seolah dia bisa jatuh kapan aja.

"Rel, lo jangan tegang gitu," Lila mengomel dari belakang, suaranya terdengar agak kesal. "Santai aja. Lo harus bikin ini kelihatan gampang, kayak lo udah biasa pakai hak tinggi."

Farel mendesah. "Gue nggak biasa, Lil. Ini kan pertama kali."

Lila hanya tertawa kecil, seolah nggak peduli dengan keluhan Farel. "Semua orang mulai dari pertama kali, Rel. Kalau lo nggak latihan, lo nggak bakal pernah terbiasa." Dia terus memberi instruksi, menunjukkan cara Farel harus melangkah dengan lebih anggun. Satu kaki di depan yang lain, punggung lurus, dan langkah yang ringan. Tapi buat Farel, semua itu terasa jauh dari kemampuannya.

Setelah beberapa menit yang terasa kayak berjam-jam, Farel akhirnya bisa berjalan tanpa goyah terlalu parah. Tapi itu belum cukup buat Lila. Dia langsung melanjutkan sesi latihannya dengan cara duduk yang "benar," menurutnya. Farel harus duduk tegak, dengan punggung lurus dan kaki disilangkan dengan anggun. Setiap gerakan Farel diawasi dengan ketat oleh Lila, yang nggak segan-segan memberi komentar pedas kalau Farel melakukan sesuatu yang "kurang anggun."

Hari itu terasa panjang buat Farel. Setiap gerakan yang dulunya terasa alami sekarang harus dia pikirkan baik-baik. Cara duduk, cara berdiri, cara berbicara—semua diubah oleh Lila. Dia harus berbicara dengan nada yang lebih lembut, lebih halus, dan lebih... feminin. Dan meskipun awalnya Farel terus mengeluh, lama-kelamaan dia mulai menyerah pada situasi ini. Ada rasa pasrah yang mulai tumbuh dalam dirinya.

Sore itu, setelah latihan berjam-jam, Lila tersenyum puas. "Lo udah makin bagus, Rel. Gue bangga sama lo."

Farel cuma mengangguk lemah, kelelahan. Dia duduk di sofa, meraih segelas air dingin yang disediakan Lila. "Tapi serius, Lil. Apa ini nggak keterlaluan? Gue cuma... ya, lo tahu kan, gue masih cowok."

Lila menatap Farel dengan tatapan penuh arti. "Itu dulu, Rel. Sekarang, lo berubah. Gue cuma bantu lo buat jadi versi terbaik dari diri lo. Percaya deh, nanti lo sendiri yang bakal ngerasa puas sama hasilnya."

Farel nggak yakin dengan kata-kata Lila, tapi dia juga nggak bisa membantah. Mungkin ada benarnya juga. Mungkin ini memang proses yang harus dia jalani. Tapi di dalam hatinya, perasaan gelisah tetap ada, seolah dia semakin jauh dari dirinya yang sebenarnya.

Gue Gak Mau Jadi FemboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang