Rumah Joss punya pekarangan yang luas dan Gawin tak menyangka ada lumayan banyak ayam yang lalu lalang di sana. Hobinya papa miara ayam, kata Joss, dan natal kali ini mereka memotong beberapa peliharaan mereka itu untuk dijadikan geprek. Lama Gawin tercenung di depan teras, memandang ayam-ayam gemuk itu mematuk beras di tanah dan berkotek riang tak peduli ajal yang menanti. Meskipun begitu, tak urung dalam hati Gawin mulai berpikiran untuk memelihara ayam juga bila suatu hari nanti memiliki rumah sendiri. Biar kalau mau bikin geprek cepat dan murah, batinnya.
"Gawin?"
Tersentak, Gawin sontak menoleh ke samping dan mendapati Om Albert, papanya Joss, sudah berdiri di sampingnya sembari menyodori segelas teh hangat.
"Makasih, Om." Gawin mengambil gelas, meminumnya sejenak lalu tersenyum girang; rasanya seperti teh buatan Ibunya dan mendadak pria itu rindu rumah.
"Gepreknya enak ndak, Win? Maaf ya tadi ada yg gosong dikit. Om gak jago masak soal e."
Gawin menggeleng-geleng cepat, seraya meletakan gelas teh ke meja. "Enggak kok Om, enak banget. Lebih enak dari bikinan Joss. Joss ki kalau bikinin geprek ayamnya cuman digaremin tok terus direbus. Kesal saya ayam geprek kok direbus."
Om Albert terbahak, lalu berjalan melewati Gawin untuk duduk di kursi teras yang kosong. "Maaf ya, natalan seadanya di rumah. Gak ada hias-hiasan. Soalnya selama ini selalu berdua, jadi ya paling habis gereja cuman makan bareng di rumah atau di luar."
"Saya asal ada ayam geprek cukup kok, Om, seneng banget pas Joss bilang Om masak ayam geprek di rumah. Hehehe."
Om Albert tersenyum lebar, memandang Gawin sejenak lalu mengalihkan pandangan lurus ke depan. Langit terik di penghujung tahun ini; mungkin hujan menunggu sampai malam menjelang baru memutuskan untuk turun.
"Makasih ya, Win. Sudah bikin anak Om lebih kalem."
"Eh?"
Tawa Om Albert berkumandang, mengisi jeda diantara percakapan mereka. "Sejak perceraian Om waktu dia masih SMP, Joss berubah jadi pemarah dan gampang tersinggung. Kamu tahu ndak? Dia pernah loh, ngeberantakin rumah dan mecahin kaca jendela cuman gara-gara gak dibeliin PS2."
"Hah? Beneran, Om?"
Mengangguk-angguk, Om Albert tampak girang menceritakan aib anaknya pada Gawin. "Mumpung anaknya lagi nyuci piring di belakang. Hahaha. Om mau cerita kalau Joss dulu bahkan pernah nyaris dikeluarkan dari sekolah gara-gara bikin babak belur anak kepala sekolah sampai masuk rumah sakit. Om sampai sujud-sujud minta diringankan hukumannya karena Joss sudah kelas tiga waktu itu."
Kehabisan kata-kata, Gawin hanya bisa terbelalak sambil berbisik lirih, "Edan... serem banget."
"Pas masuk kuliah juga sama, dia berantem sama katingnya di teknik cuman karena masalah sepele. Kena SP dari kampus dan kalau Joss sampai berantem lagi, pasti DO."
"Joss ki tenan sumbu pendek wong e ya, Om. Saya ndak ngira separah itu."
Lagi-lagi Om Albert tertawa. Ia pribadi sudah pasrah dan mafhum dengan sikap anaknya itu. "Untungnya pas semester tiga kemarin dia mulai berubah. Suatu hari, dia tiba-tiba datang ke Om lalu untuk pertama kalinya curhat tentang seseorang."
Gawin mengerjap, sepertinya tahu arah dari cerita ini.
"Joss bilang 'ki wonge lucu tapi goblok gak ketulungan'. Hahaha." Om Albert menepuk-nepuk pundak Gawin, membuat pria itu salah tingkah dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Tiap selesai latihan basket, pasti yang diomongin kamu, Win. Bilangnya kesel sama kamu, ada aja polahmu yang bikin dia gak tenang, cuman satu hal yang bikin Om kaget. Untuk pertama kalinya Joss kesal sama orang tapi gak mau nonjok. Hahaha."
Gawin tersipu. Mengingat lagi awal perkenalannya dengan Joss dulu membuatnya sadar bahwa sejengkel-jengkelnya Joss dengan dirinya, pria itu tak pernah melayangkan tinju.
"Pas akhirnya Joss ngaku kalau dia suka sama kamu dan pengen pacaran sama kamu meskipun kamu cowok. Waktu itu Om sih gak kaget. Hahaha." Om Albert menerawang jauh, sepertinya lega telah mengutarakan isi hatinya. "Om mendukung kalian, Win. Ke mana hubungan kalian nanti akan berakhir. Om bersyukur kamu hadir di hidup Joss."
Om Albert menoleh dan memandang Gawin lekat-lekat. Menunjukkan kesungguhannya. "Joss mungkin gak sempurna, Win. Dia sudah terlalu banyak terluka oleh Om dan keputusan-keputusan Om. Sifat pemarahnya mungkin pelampiasan dari semua itu." Menarik napas, pria paruh baya itu melebarkan senyumnya maklum. "Tapi kalau satu hari nanti Joss sekali saja melampiaskan marahnya ke kamu, Win. Om harap kamu segera putusin dia dan jangan pernah mau balikan."
"HAYO HAYO HAYO! SOPO SING DISURUH PUTUS?! NGACO TO OBROLANNYA KALAU NDAK ADA AKU?"
Joss muncul dari pintu dan Om Albert melihat putranya sambil tertawa. "Papa ndak ngomong apa-apa loh, Le..."
"Papa ki mesti buka aibku ke Gawin to? Wis Win, ra sah dipercaya... Papa ki lebay kalau cerita." Joss berkacak pinggang di depan Gawin dan Papanya, merasa terasingkan karena tak dilibatkan dalam percakapan.
"Joss, kamu mumpung natalan minta maaf sama Papamu..." kata Gawin, menahan tawa saat melihat ekspresi pacarnya, "masa iya mecahin kaca jendela cuman gara-gara ndak dibelikan PS2."
Joss melotot, wajahnya merah padam lantaran malu. Lalu menoleh cepat kepada Papanya yang hanya terbahak-bahak. "Papaaaaa! Wis to cerita lama pake diungkit-ungkit kabeh! Aku isin!"
Gawin ikut tertawa, Joss benar-benar mati gaya di depannya. Suasana kian ramai, sayup-sayup terdengar klakson mobil di Jalan Malioboro yang saling bersahutan. Sisa hari itu dihabiskan dengan bercerita, membuka album foto lama, dan menyembuhkan luka-luka. Gawin kini mengerti natal bukan lagi sekadar perayaan, tapi juga momentum untuk mentahirkan jiwa-jiwa menjadi baru.
Selamat natal, Semua!
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Joss x Gawin] Happiness
Fanfiction[COMPLETE] "Se-Sek! Sek! Sek! Aku mau maem ayam gepreknya dulu! Aku laper!" "Hah?" "Nanti nasinya keburu dingin, aku ndak suka." Joss bengong. Gawin mendorong tubuhnya hingga tersingkir ke sisi lain kasur, lantas meloncat turun dari kasur. Menyambar...