14. Masih Cinta

137 16 0
                                    


Gawin resah dan lapar.

Sudah lebih dari setengah jam dia hanya merebahkan diri di atas kasur dan menatap pagu pucat kosannya. Pesan terakhir Joss di Whatsapp bilang kalau pria itu tengah dalam perjalanan dan Gawin serta merta semakin gugup.

'Nek, Joss tenan minta putus lagi piye...'

Batin Gawin semakin sengkarut. Ia bahkan sampai tak selera makan karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Sebegitu mudahnya Joss mengajaknya putus hanya karena salah paham? Gawin benar-benar tak habis pikir dengan fakta tersebut. Lantas, bagaimana jika suatu hal lain terjadi dan Joss kembali melontarkan kalimat ajakan yang sama? Apakah Gawin bisa bertahan jika putus dengan Joss?

Apakah ia masih punya sisa hati untuk mencintai lagi?

Gawin semakin tenggelam dalam labirin otaknya sendiri, tidak ada detik yang tersisa untuk sekadar diam sejenak dan menjernihkan pikiran. Sampai akhirnya, pintu kosan diketuk dan suara Joss berkumandang dari balik partisi.

"Win! Aku wis teko!" (Win! Aku sudah sampai!)

"Sek, Joss!"

Dalam satu tarikan napas Gawin membawa tubuhnya sendiri bangkit dari kasur. lantas setengah berlari menuju lawang. Dua detik berikutnya saat kunci terbuka dan sosok Joss yang menjulang nampak pada pandangan, aroma ayam geprek langsung memapari hidung Gawin.

"Laper to? Maem sek," kata Joss seraya mengangkat seplastik ayam geprek Bu Rum kesukaan Gawin ke depan wajah dan pacarnya itu hanya bisa terpana.

"Ma-makasih, Joss," sahut Gawin seraya menyambut plastik isi ayam geprek itu dalam pelukan; hangatnya nasi panas serta merta membuat Gawin tersadar betapa lapar dirinya saat ini.

"Sama-sama," balas Joss seraya mempersilakan dirinya sendiri untuk masuk ke kamar. Serta merta duduk di lantai dan bersandar pada tepi kasur, "Kamu maem dulu, baru kita ngomong," imbuh Joss lagi, membuat Gawin yang semula resah semakin gelisah.

"Ka-kalau kita ngomong dulu gimana?" tanya Gawin, sedikit hati-hati, ia masih tidak yakin dengan emosi Joss saat ini. "A-aku ndak bisa makan kalau belum ngomong sama kamu."

Joss terdiam sejenak, pandangan matanya bertaut dengan sosok Gawin yang masih berdiri di sisi lain kamar kos. Lantas dengan satu desahan panjang dan beberapa kali acakan rambut, ia pun menepuk-nepuk karpet di depannya seraya berkata, "Yo wes, kene. Duduk depanku. Kita ngomong sek, abis itu kamu maem."

Gawin mengangguk-angguk, lalu meletakan plastik ayam gepreknya ke atas meja belajarnya. Lantas menuruti perkataan Joss, duduk bersila di depan pria itu dan mempersiapkan hati untuk memulai percakapan. Hanya saja, Gawin tidak masih tidak berani membalas tatapan Joss yang lurus menuntut perhatian. Jadi ia lebih memilih mematut diri pada ujung kuku-kuku jarinya.

"Ndut, deloken aku..." (Ndut, lihat aku...)

Joss meminta dengan gamblang dan Gawin akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Lantas mendapati Joss menatapnya dengan sorot yang tak bisa Gawin jelaskan lantaran begitu banyak macam emosi yang tercurah di sana.

"Kamu wis ngerti ndak aku marah sama kamu kenapa?"

"Karena... kamu pikir aku selingkuh?"

"Bukan."

Joss menggelengkan kepalanya, lantas menghela napas panjang. "Aku begitu karena aku pikir kamu ndak ngomong kalau kamu suka sama orang lain," terang Joss.

"Maksudmu?"

"Ndut..." Joss merapatkan tubuhnya pada Gawin lantas meremas kedua bahu pacarnya kuat, mencoba menahan gejolak emosinya. "Kalau hatimu ki wis berubah; kalau kamu wis ndak sayang dan cinta sama aku lagi. Aku ki pengen kamu ngomong."

Gawin terdiam dan mengerjap. Tak tahu harus bereaksi apa dengan seluruh luapan perasaan ini.

"Nek kamu cerita, semua kan bisa dibicarakan baik-baik. Apa hubungannya mau dilanjutkan atau lebih baik kita pisah wae," kata Joss lagi, lantas mengangkat satu tangannya untuk mengusap pipi Gawin lembut, "Itu kan harusnya kita putuskan berdua, bukan sepihak."

"Joss, a-aku kan ndak mungkin selingkuh. Kamu tahu aku ndak mungkin begitu," sahut Gawin, masih merasa berhak untuk membela diri walau ia tahu Joss tak membutuhkannya.

Napas Joss mendadak tak beraturan, lantas pria itu hanya mendesah pasrah. "Aku wis ngerti soal itu. Makane aku ngajakin si Kaye ketemu sakjane bukan untuk ngelabrak," ujar Joss, seraya menepuk-nepuk kepala Gawin sayang, "aku pengen tahu dia wong e koyo opo. Baik po ora, asal usul ne dari mana, kerjaan ne opo selain kuliah, dan lain-lain. Intinya, aku ki cuman mau tahu dia siapa."

"Ke-kenapa?"

"Soalnya, kalau aku bukan orang sing tepat untuk menerima cintamu. Aku pengen kamu jatuh cinta sama orang sing lebih baik dari aku," jawab Joss tegas tanpa berkedip, "aku ndak mau kamu jatuh cinta sama orang sing salah koyo mantanmu dulu. Kalau kamu ndak bisa bahagia sama aku, aku pengen kamu bahagia sama orang lain. Aku ndak sanggup lihat kamu sedih koyo dulu lagi."

Joss menarik napas dalam-dalam, lantas menangkup tengkuk dan kepala Gawin dengan kedua tangan; menarik tubuh pacarnya itu mendekat dan merekatkan dahi mereka jadi satu. Ia bisa menghirup dengan hikmat aroma tubuh Gawin, merasakan sensasi utuh yang tak bisa ia jabarkan dengan bahasa mana pun di muka bumi ini.

"Tapi ternyata..." bisik Joss lirih, lalu tertawa sumbang, "kamu masih sayang sama aku to, Ndut? Kamu... benar-benar ndak ada perasaan apa pun sama Kaye to?"

Gawin terperangah saat menyadari Joss yang selama ini ia anggap pria paling percaya diri dan mampu menghadapi apa pun, mendadak begitu kepayahan menghadapi pergumulan hatinya sendiri. Ini seperti bukan Joss, tapi di waktu yang bersamaan, pria itu memang Joss. Untuk pertama kalinya, pacarnya itu menunjukkan sisi melankolis seperti ini dan kini Gawin menyadari...

Kalau ternyata, tak hanya dirinya sendiri yang merasa begini.

"Iya, Joss," sahut Gawin; bibirnya bergetar, menahan isak agar tak lebih dulu terlontar sebelum mengatakan hal sepenting ini.

"Aku memang masih cinta sama kamu."

.

.

.

[Joss x Gawin] HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang