"Hah... Ha... sial. Kalah lagi."
Bian menendang debu lapangan lalu terperenyak begitu saja ke lantai beton. Napasnya naik turun, berusaha keras mengisi paru-parunya dengan oksigen lebih banyak lagi. Keringat pun mengucur deras di sekujur tubuh Bian dan rasanya begitu lengket dan tidak nyaman.
"Sekarang sopo sing cupu, hah?" Joss bertolak pinggang, tubuhnya menjulang congkak di depan adiknya itu dan Bian hanya berdecak; membuang muka pada tembok.
Lalu begitu saja sunyi merajai suasana. Bian enggan menanggapi polah agul Joss sementara Joss sendiri bingung harus memulai percakapan dari mana. Ah, kapan terakhir kali mereka merasa seakrab ini? Kapan terakhir kali mereka bicara tanpa memulai saling meninju terlebih dulu. Joss sudah lupa, tapi yang pasti, semua ini rasanya tidaklah buruk.
"Mas Joseph."
Suara Bian yang terlebih dulu memecah suasana dan Joss pun menoleh cepat pada adiknya itu. Bian jarang memanggilnya dengan cara seperti itu, itu panggilanya saat mereka masih kecil dulu dan untuk sekelebat Joss mengingat kembali hari-hari saat perceraian itu belum memisahkan mereka.
"Hmm, ngopo?" sahut Joss, seraya mengambil duduk bersisian dengan Bian. Mereka menatap ring basket di atas sana lurus-lurus, seolah-olah sungkan untuk bicara saling bertatap.
"Maafin gue kemarin, gue ngomong kelewatan," ujar Bian akhirnya, agak lirih karena ia benar merasa tidak nyaman, "gue gak bermaksud nyakitin lu atau cowok lu."
Joss menyeringai, ia sesungguhnya tak mengambil perkataan adiknya itu hingga hati. Emosinya timbul dan hilang secepat ia datang, jadi Joss bisa menerima permintaan maaf itu dengan mudah. "Yo wes lah, cowokku wes maafin kowe to, aku sih woles," sahut Joss dan sontak membuat hati Bian mencelus.
"Ma-makasih, Mas," kata Bian, lalu kembali ragu untuk mengungkapkan hal-hal lainnya.
"Aku juga minta maaf," balas Joss, ia sendiri tahu, dirinya tak sepenuhnya benar dalam perkara ini, "aku podo ngomong kasar banget kemarin mbe kowe." (Aku juga sama ngomong kasar banget sama kamu)
Bian tersenyum landai, merasakan nyeri dari perkataan Joss waktu itu kembali membayang di belakang kepalanya. "Gue pantes kok digituin, gue udah ingkar janji sama lo," kata Bian, akhirnya membawa obrolan mereka pada topik yang telah menahun mereka hindari berdua, "maaf, gue lebih milih ikut Mama ketimbang bareng lo sama Papa."
Sejurus Joss hanya bisa terdiam, lantas menarik napas dalam-dalam. Mencoba mengontrol emosinya yang biasanya meledak-meledak bila membahas perkara masa lalu yang satu ini. "Aku ki sakjane malas ngomongin soal ini, Rot," ungkap Joss, menyuarakan pemikirannya, "ingat ndak aku bilang mbe kowe dulu apa waktu kita sembunyi di gudang? Waktu Papa ngamuk sama Mama karena ketahuan selingkuh?"
Bian menoleh pada Joss dan mendapati saudaranya itu pun menatapnya lekat. Sejenak ingatannya melayang jauh pada tahun terakhir sekolah dasar. Saat itu ia baru saja pulang dari sekolah dan Joss langsung menariknya sembunyi ke gudang. Menghindari amukan luar biasa dari Papa mereka yang memporak-porandakan seisi rumah. Bian menangis sesegukan dengan kedua tangan Joss menutup telinganya. Meskipun itu bukan kali pertama orangtua mereka bertengkar, tapi dari kisi pintu, ia melihat sendiri bagaimana Papa menarik rambut Mamanya dan menampar wanita yang telah melahirkannya itu seperti jalang. Memoar itu terpatri jelas dalam ingatan juga hati Bian dan sesungguhnya, butuh waktu lama untuk ia bisa menerima kalau kini Papa sudah bertobat.
"Ingat, Mas," kata Bian akhirnya, membuyarkan kenangan buruk dari kepalanya, "lu bilang kita bakal laluin semua ini sama-sama."
"Dan aku wes janji mbe kowe kalau aku bakal lindungin kowe," sambung Joss cepat, "tapi kenapa kowe ikut minggat sama Mama? Mama kan memang mau ngebuang kita semua."
Bian terdiam. Debar jantungnya bergemuruh dan pikirannya carut marut, tapi hati polosnya waktu itu memang tak bisa diingkari telah membuat Bian memutuskan hal-hal yang telah memperkeruh hubungannya dengan Joss.
"Mama gak pernah niat buang kita, Mas," jawab Bian lirih, ia tak sanggup membeberkan seluruh pergumulan batinnya selama ini tapi Joss menuntut penjelasan, "waktu itu, sebelum Mama pergi dari rumah. Mama nangis di kamar kita berdua. Kita sebenarnya sudah diungsi ke rumah eyang uti sama Papa, tapi waktu itu habis pulang sekolah gue kabur pulang ke rumah karena kangen sama Mama."
Joss terperangah, kisah ini baru pertama Bian ungkapkan dan mendadak seluruh perspektifnya tentang dunia menjadi kabur. Sementara adiknya sibuk mengusap wajah, mengelap sisa keringat, juga air yang menetes sedikit di sudut mata.
"Mama nangis, minta maaf sama gue. Bilang dia gak sanggup hidup dengan Papa yang tempramen. Lu tahu kan gimana brengseknya Papa dulu, kan lu yang paling sering kena pukul sama Papa. Mama sebenarnya pengen ajak kita pergi dari Papa tapi kita waktu itu sudah keburu dibawa ke rumah eyang."
Bian menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Matanya terpejam, mencoba menghalau bayangan seluruh episode paling pahit di hidupnya kala itu. "Maafin gue, waktu itu gak cerita sama lu. Maafin gue juga karena baru sekarang bisa cerita. Di pikiran polos gue pas masih SD, gue jujur gak bisa ngebiarin Mama sendirian," Bian mengangkat wajahnya, kembali menautkan pandang dengan Joss yang masih tak tahu harus bereaksi seperti apa, "gue tahu lu mau ngelindungin gue, tapi waktu itu, gue juga pengen ngelindungin Mama."
"Rot..."
"Kalau bukan gue, siapa lagi yang bisa?"
Napas Joss tertahan di tenggorokan. Sejenak ia wajah polos Bian saat masih sekolah dasar berbayang dan sekarang adiknya sudah tumbuh bahkan nyaris lebih tinggi darinya. Sontak Joss pun menyadari, mereka bukan lagi dua bocah laki-laki yang bersembunyi di gudang waktu itu. Mereka sekarang sudah cukup dewasa untuk mengerti ada hidup panjang yang menanti mereka di depan dan sudah saatnya berdamai dengan masa lalu.
"Hah..." Joss membuang napas berat, dadanya sesak dan ia tak sanggup menatap Bian lebih lama lagi. "Aku ndak tahu kudu ngomong apa."
"Hahahaha." Bian tertawa sumbang, menatap pagu lapangan basket yang sewarna mendung. "Sesekali telpon Mama lah, Mas," ujar Bian, mencoba menurunkan tensi di antara mereka, "Mama kangen banget sama lu, dia pengen ketemu tapi takut. Soalnya Mama tahu lu masih marah dan belum bisa maafin dia."
"Iya, kapan-kapan," sahut Joss, masih setengah hati untuk menerima semua kenyataan ini. Ia butuh berproses dan rasanya terlalu terburu-buru untuk memperbaiki segalanya dari awal. "Hidupmu di Jakarta baik-baik aja kan?" tanya Joss akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Baik, Om Elia baik sama Mama dan gue," jawab Bian tenang, emosinya kembali stabil setelah menyadari bahwa Joss kini mulai peduli dengan dirinya, "gue gak pernah kekurangan apa pun dan Mama bahagia walau masih sering kepikiran lu."
"Mereka ndak niat punya anak bareng, ya?"
Bian menggeleng. "Om Elia kan udah punya anak cowok dari istri pertamanya yang meninggal pas lahiran."
"Oh iya, si curut itu."
"Namanya Simon ya, Mas, bukan curut. Hahaha. Udah gede dia sekarang, udah SMA."
"Mbuh lah, anaknya ngeselin soalnya."
"Hahaha." Bian kembali tertawa, rasanya ganjil membicarakan hal-hal seperti ini dengan enteng, tapi mungkin ini langkah baik bagi mereka untuk bisa melepaskan semua beban yang ada.
"Terus kamu wes ono cewek di Jakarta?"
"Udah, cewek gue orang Jepang."
"Kok isa? Ketemu di mana?"
"Ketemu di perpustakaan, hahaha. Pas gue lagi nugas terus dia duduk hadap-hadapan sama gue. Jir, susah dulu ngedapetinnya, galak soalnya. Hahaha. Anyway, dia udah lama di Indo, nyokapnya orang Indo sih."
"Sopo jenenge?"
"Rui. Kurosaki Rui. Biasa gue panggil Uyi sih, biar lokal. Entar kapan-kapan gue ajak main ke Jogja."
"Dih, lucuan panggilan cowokku lah. Ndut."
Bian terbahak, tanpa sadar membicarakan tentang Gawin yang kemarin memintanya untuk merahasiakan pertemuan mereka di warung geprek dari Joss lantaran dia sedang diet dan Joss menyahut kalau ia sudah tahu perkara itu. Lantas begitu saja, percakapan pun kembali bergulir di antara mereka karena ada begitu banyak waktu yang hilang untuk dikisahkan kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Joss x Gawin] Happiness
Fanfiction[COMPLETE] "Se-Sek! Sek! Sek! Aku mau maem ayam gepreknya dulu! Aku laper!" "Hah?" "Nanti nasinya keburu dingin, aku ndak suka." Joss bengong. Gawin mendorong tubuhnya hingga tersingkir ke sisi lain kasur, lantas meloncat turun dari kasur. Menyambar...