16. Berkisah

115 17 0
                                    

Gawin tak tahu harus memulai cerita dari mana. Segala hal hilir mudik di kepalanya dan membuat perasaannya semakin runyam. Sekarang ia dan Joss duduk berhadapan di atas kasur, Joss tak sedetik pun melepaskan genggaman tangannya dari Gawin mencoba memberikan ketenangan setelah panik yang mendera pacarnya itu reda.

"Jadi opo? Coba cerita ke aku," tanya Joss akhirnya setelah berdiam cukup lama. Bibir Gawin masih terkatup rapat dan Joss sudah mulai lelah untuk menunggu pacarnya itu membuka suara. "Nek kamu ndak mau cerita sekarang, aku mending pulang."

"Ja-jangan..." Gawin mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Joss dan menggeleng kuat, "nginep aja, Joss," kata Gawin, memelas dengan sangat.

"Hah..." Joss akhirnya beringsut mendekat, lalu tanpa bicara langsung menarik Gawin dalam pelukannya. "Cerita dulu, biar kamu lega dan ndak ada sing disembunyikan dari aku."

Sejenak, Gawin mendengarkan debar jantung Joss dengan takzim seraya mencoba untuk mengatur napasnya sendiri. Sampai akhirnya, setelah sekian detik ia membiarkan hening itu meliputi suasana, Gawin pun berkata, "Orang itu sebenarnya... Cinta pertamaku, Joss."

"Hah! Sejelek itu!?"

Gawin mau tak mau menarik senyum ke atas lalu mengeratkan pelukan mencoba mencari-cari kekuatan untuk melanjutkan kisah. "Dek ne kakak tingkatku pas di SMA. Jujur, dulu dia baik sama aku, terus aku baper. Tapi, waktu itu aku belum bilang siapa pun soal orientasi seksualku."

"Terus, kamu nembak dek ne?"

Terdiam sejenak, Gawin menggeleng pelan. "Ndak, aku ndak berani. Aku juga cuman pengen mendem perasaan aja. Sampai..." Gawin menggigit bibir, lalu membenamkan wajahnya di bahu Joss, mencoba menahan gejolak perasaan serta kenangan memilukan masa SMA-nya itu, "...sampai dek ne ndak sengaja nemuin surat cintaku yang aku tulis buat dia. Waktu itu, dia pinjam buku Ekonomi-ku buat belajar UN dan aku lupa kalau aku nyelipin surat itu di sana."

Joss menahan napas, mengeratkan pelukan pada tubuh Gawin yang mulai gemetaran. Sepertinya, Joss bisa menebak ke mana arah cerita ini akhirnya.

"Pas nemuin surat itu, bukannya ngomong ke aku... dek ne malah.... pajang suratku di mading dan ngasih tahu orang-orang kalau itu... dari aku." Napas Gawin sedikit sesak, ia tak sanggup menceritakan apa yang terjadi setelah seluruh sekolah tahu tentang surat itu. Gawin barang tentu dipanggil ke ruang BK dan kedua orangtuanya pun akhirnya mengetahui orientasi seksual Gawin dengan cara seperti itu. Pihak sekolah meminta orangtua Gawin untuk 'membimbing' Gawin selama dua minggu di rumah lantas...

"Wis, nek kamu ndak kuat cerita, jangan dipaksa. Aku wis ngerti," kata Joss akhirnya, tak kuasa membuat Gawin menderita lebih lama lagi dengan membongkar luka-luka masa lalunya.

Mendengar perkataan Joss, Gawin pun terdiam, lalu memberi jarak pada tubuh mereka agar ia bisa memandang wajah pacarnya itu. "Joss, kamu ndak papa kalau aku kasih tahu semua?"

Joss menarik napas panjang, lalu menyatukan keningnya pada kening Gawin lalu mengusap hidung bangirnya pada cuping hidung laki-laki itu. "Kamu wis terima busuk-busuk ne keluargaku. Mosok aku dengerin ceritamu aja ndak bisa, Ndut," kata Joss, lalu menuai senyum lega di wajah Gawin.

"Aku isin sakjane," kata Gawin tak urung menundukan kepala lebih dalam. "intinya setelah kejadian itu, akeh sing ngomongin aku. Terus, pas aku diskors selama dua minggu, aku sempat kabur dari rumah dan tidur di warnet. Tapi, di hari kedua ditemuin sama pak Polisi."

"Hahaha, mbok nek kabur ki sing adoh sekalian, Ndut. Kalau nek warnet tok yo cedak," balas Joss lalu Gawin pun cemberut.

"Akhirnya, setelah aku kabur dari rumah. Bapak sama ibu ngomong ke aku, mending lanjut sekolah di sana atau pindah, dan akhirnya aku pilih pindah sekolah ke Pati biar ndak ketemu sama siapa pun dari SMA itu di Semarang."

"Ohhh, jadi iki alasan ne kamu ndak mau balik ke Semarang?"

Gawin mengangguk-angguk. "Maaf ya, Joss. Aku ndak pernah cerita ini ke kamu. Aku malu, aku..." Napas Gawin tertahan di tenggorokan dan matanya bergerak-gerak tidak fokus, "...aku dari rada ndak normal sejak kejadian itu."

Joss tak tahu harus berkata apa. Ia tak pandai menghibur siapa pun bahkan pacarnya sendiri. Hingga akhirnya Joss pun memilih kembali menarik Gawin dalam pelukan dan membiarkan Gawin menemukan dirinya kembali. "Aku sayang kamu lho, Win," bisik Joss di belakang kepala Gawin seraya mencium tengkuk pacarnya itu mesra, "aku sayang kamu dengan segala masa lalumu, karena itu yang menjadikan dirimu sekarang."

"Joss..."

"Terima kasih wis gelem cerita." Joss mengeratkan pelukan; merasakan tubuh mereka satu dan jiwa mereka bergelora dalam nuansa paling syahdu. "Terima kasih karena akhirnya wis isa percaya karo aku sing ra peka ini. Maaf ya, kalau selama ini aku banyak salah karena ndak tahu apa-apa. Nek besok-besok kamu ono resah apa cerita aja. Pasti tak dengerin."

"Aku sayang Joss juga," sahut Gawin dengan isak tertahan di ujung lidah.

Senyum Joss mereka lebar, satu tangannya menepuk-nepuk kepala Gawin lembut. "Malam ini tidur sing nyenyak, semua orang sing jahat karo kamu mesti dapat karmanya, Win," kata Joss lagi, seraya melirik langit Yogyakarta melalui jendela.

Semua orang mesti dapat karmanya.

.

.

[Joss x Gawin] HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang