9. Iba atau Rasa Nyaman?

43 9 1
                                    

Sudah Hera bilang, ia tidak mabuk. Buktinya saat Gesang pingsan ia langsung panik tak karuan. Pria itu langsung tumbang setelah terlihat sulit mengambil nafasnya sendiri. Hera buru buru mendekat, menopang tubuh Gesang dan membawa kepala pria itu berbaring diatas pangkuan. Air mata pria itu membuat jejak garis di pelipis, begitu Hera ingin menghapusnya, gadis itu dikejutkan dengan suhu tubuh Gesang yang dingin bagai es.

"Gesang!" Hera memanggil dilingkupi rasa panik. Tangannya menepuk pelan pipi Gesang yang sama dinginnya.

Kepanikan itu semakin melanda. Mata Hera bergerak kesana kemari mencari sesuatu yang bisa membantunya membuat Gesang sadar. Tak menemukan apa apa, Hera kembali menjatuhkan pandangannya pada pria itu.

"Gesang, bangun..." Suara Hera bergetar. Ia takut terjadi sesuatu, apalagi bibir pucat Gesang mulai terlihat.

"Bangun, jangan membuatkuu takut," cicitnya dengan air mata yang mulai menggenang.

Mata Hera mengembun melihat Gesang yang tak kunjung membuka mata. "Jangan pura pura..." Hera mulai sesenggukan. Jemarinya ikut mendingin karena takut.

Tepukan dipipi Gesang juga tidak membuahkan hasil. Pria itu tetap memejamkan mata setelah menatapnya dengan ketakutan tadi.

"Apa yang terjadi padamu...kenapa kau begini."

Hera tak mengerti, ia sama sekali tidak mengerti. Ada kalanya Gesang menatapnya dengan tatapan lembut dan penuh perhatian, namun ada kalanya juga Gesang melihatnya bak orang jahat. Hera bingung dan sampai sekarang Gesang belum memberitahu Hera alasan dibalik perubahan tatapan itu.

Tanpa disadari Hera memeluk kepala Gesang sambil menangis. Tidak menangis histeris, hanya tangisan ketakutan akan terjadi sesuatu pada pria itu. Saat matanya terarah pada meja yang berisikan foto ayah dan ibunya Hera bergumam, "ibu, apa yang harus aku lakukan." Hera menurunkan pandangannya pada wajah Gesang yang menempel diperutnya, "aku takut."

Diusapnya wajah Gesang penuh hati hati. "Tolong bangun. Gesang, bangunlah..."

Air matanya jatuh mengenai pipi putih milik Gesang, tangannya beralih meraih tangan Gesang yang tergeletak dilantai. Digenggamnya tangan besar nan kasar yang terasa dingin.

"Kenapa semua tubuhmu dingin sekali," cicit Hera bingung. Hera tak punya ide lain, memapah tubuh Gesang yang dua kali lipat besarnya dari tubuhnya sendiri adalah kemustahilan, maka dari itu Hera memilih untuk membawa selimut dan bantal. Menyelimuti tubuh Gesang yang dingin dengan selimut tebal dan kepala pria itu dialasi dengan bantal.

Dengan senggukan yang menemani, Hera mencari minyak angin didalam kotak p3k yang pernah ia lihat. Membawanya kembali keruang tengah, duduk ujung kaki Gesang. Disibaknya selimut yang menutupi kaki pria itu lalu Hera menuangkan minyak angin keatas telapak tangannya sebelum membalurkan di telapak kaki Gesang yang juga mendiingin.

"Bangun, jika kau tidak bangun aku akan kabur," ancamnya sambil senggukan.

Setelah membaluri kedua kaki Gesang yang minyak angin, Hera kembali menyelimuti kaki pria itu tanpa cela. Berpindah duduk disamping kepala Gesang untuk mengoleskan minyak angin itu pada hidung pria itu.

Dua menit, tiga menit. Lima belas menit sudah, Hera menunggu tapi pria itu tak kunjung membuka mata. Kesabaran yang diselimuti ketakutan berubah menjadi kekesalan. Kesal karena Gesang sudah membuatnya khawatir akibat pingsan tanpa aba aba.

Dipukulnya bahu pria itu agak keras, matanya kembali mengembun karena air mata.

"Kenapa kau tidak bangun bangun! Aku menunggu brengsek!" Dipukul lagi lengan pria itu bersamaan dengan air mata yang turun.

"Sial..an bangun!" Hera Kesal, Hera marah dan Hera khawatir.

Isakannya semakin menjadi, sambil menghapus air mata ia juga memukul lengan Gesang yang dibalut selimut.

93 Days With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang