11. Familiar

33 7 3
                                    

Hera memang bukan ahli dalam bidang kejiwaan. Ia bukanlah lulusan kedokteran jiwa ataupun psikologi. Namun tanpa gelar itu sekalipun Hera dapat mengerti, kenapa Gesang selalu terlihat takut dan panik tiap kali mereka bersentuhan secara intim dengan tiba tiba. Dari cerita yang Gesang ungkapkan, Hera bisa tahu apa yang membuat pria itu kini tidak bisa menerima sentuhan secara mendadak.

"Aku sudah sembuh. Dokter itu bilang aku sudah sembuh, tapi aku tidak tahu kenapa mereka bisa kembali lagi." Gesang melirih. Merasa rendah diri setelah menyadari trauma pasca masa kelam itu kembali hadir setelah lama bisa Gesang kendalikan.

Hanya dengan mendengar ucapan Gesang Hera mengerti apa yang sedang pria itu rasakan. Rasa tidak berharga dan takut. Masa lalu itu datang menghantui Gesang dalam bentuk kilas balik didalam bunga tidur. Terkadang juga Gesang melihat Hera layaknya wanita wanita yang dulu menggunakannya sebagai boneka seks.

"Aku pergi untuk menemui dokter lagi setiap hari Rabu dan Jumat."

Sekarang Hera mengerti kenapa Gesang selalu meninggalkannya disetiap hari Rabu dan Jumat. Pria itu kembali melakukan perawatan.

"Dokterku bilang... aku harus melakukan terapi lebih intens lagi sekarang," lanjutnya pelan.

Gesang menengok pada Hera yang duduk disebelah kanannya diatas sofa ruang tamu. Tatapanya begitu sayu seperti putus asa akan hidupnya yang tidak berharga.

"Kau tidak apa kalau aku tinggal lebih lama setiap hari rabu dan jumat?" Gesang bertanya dengan suara yang super lembut dan pelan. Pria itu seakan mengungkapkan rasa bersalahnya.

Hera menggeleng kuat. Matanya sudah berkaca kaca setelah mendengar semuanya dari Gesang tanpa terkecuali. Jika beberapa waktu lalu Gesang yang menitikkan air mata, kini Hera yang menampung air mata di kelopak matanya.

"Asal kau kembali pulang—aku tidak, masalah." Suaranya sudah tersendat, karena menahan isakan.

Herapun tidak paham mengapa ia bisa percaya begitu saja dan membawa cerita Gesang dalam emosinya. Namun melihat Gesang yang duduk dihadapannya kini memiliki banyak bekas luka akibat kelakuan jahanam para manusia penghuni neraka itu, membuat Hera membayangkan bagaimana pria ini bisa bertahan melewati itu semua. Saat itu Gesang bahkan masih anak dibawah umur.

Dilecehkan saat usianya dua belas tahun. Tubuhnya diperlakukan tidak layak, disentuh tanpa izin dan diperjual belikan harga dirinya. Anak yang harusnya sedang menikmati masa remajanya harus berhadapan dengan manusia manusia hina itu. Melayani mereka sebagaimana yang diinginkan jika tidak mau mendapat pukulan dan hukuman.

Tanpa Hera sadari, kelopak matanya sudaah tidak bisa menampung genangan air kesedihan yang sudah meluber saking banyaknya.

"Kenapa kau menangis?" Gesang berujar pelan. Hera bisa melihat senyum tulus di bibir yang tadi gemetar itu.

Tangan hangat Gesang mengusap pipinya yang basah. Kedua pipi Hera diusap agar airmatanya hilang. Sambil berkekeh manis pria itu mengusap pipi Hera yang semakin dibanjiri air mata. Bersama dengan usapan itu, air mata Hera justru semakin deras membanjiri. Isakannya semakin tidak bisa ditahan dan berakhir menangis sejadi jadinya. Sesedih itu gadis cantiknya Gesang. Menangis ditempat seperti anak kecil. Gesang malah berkekeh merdu mendengar tangisan Hera.

"Kenappa jadi kau yang menangis?" Gesang ingin tertawa. Wajah menangis Hera sangat menyentuh hatinya sampai sampai dadanya tergelitik geli melihatnya.

Raungan tangisan semakin menjadi dan Gesang tak bisa melakukan apapun selain membawa Hera kedalam pelukannya. Sama seperti yang gadis itu lakukan padanya tadi. Wajah Hera menempel didadanya, punggung mungil itu didekat penuh hangat. Diusap berirama sambil menyandarikan dagunya pada puncak kepala Hera.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

93 Days With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang