16

87 60 43
                                    


Selamat Membaca



Waktu terus berjalan, meskipun di tengah kesedihan. Dzikra tahu bahwa menangis tidak salah, tetapi berlarut-larut dalam kesedihan bukanlah jalan keluar. Hidup harus terus dijalani, ia sudah siap dengan seragam sekolahnya. Padahal dirinya telah dikeluarkan dari sekolah. Hari ini, ia harus berpura-pura berangkat sekolah.

Dengan langkah berat, Dzikra menuruni tangga rumahnya. Dari ruang makan, Mami-nya, Karlista, memperhatikan anaknya yang tampak berbeda pagi ini. Karlista segera menghampirinya saat Dzikra hampir sampai di bawah.

"Kamu mau ke mana, sayang?" tanya Karlista dengan nada lembut.

Dzikra tertegun sejenak. Ia mengatur napasnya sebelum menjawab.

"Sekolah, Mi," jawab Dzikra singkat sambil menundukkan kepalanya, menghindari tatapan ibunya.

Namun, di balik jawabannya, ada kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia takut Mami nya mengetahui kebohongannya.

"Kamu udah nggak perlu bohong lagi sama Mami. Mami tahu kamu dan teman-teman kamu sudah dikeluarkan dari sekolah, kan?" ucap Karlista.

Dzikra membeku. Matanya terbelalak mendengar ucapan Maminya.

Perlahan, Dzikra melangkah mundur, takut akan reaksi Maminya. Ia masih ingat jelas bagaimana omelan dan kekerasan selalu menjadi bagian dari hukuman Maminya. Tubuhnya yang penuh lebam adalah buktinya, dan ia tak mau menambah luka lagi.

Karlista memperhatikan gerakan putrinya yang mundur, dan hatinya terasa perih. Sebegitu menakutkankah aku sampai anakku sendiri takut mendekat? pikir Karlista penuh penyesalan.

"Nggak usah takut, sayang. Mami nggak bakal marah lagi. Mami udah janji sama kamu, kan? Mami juga udah tobat, nggak bakal nyakitin kamu lagi," ujar Karlista pelan, berharap kata-katanya bisa menenangkan anaknya.

Mendengar janji itu, perlahan Dzikra menghentikan langkah mundurnya. Ia ragu, tapi ada sedikit harapan di balik kata-kata Mami. Semoga Mami benar-benar tobat, pikir Dzikra, dengan sedikit keraguan yang tersisa.

"Iya, Mi... Dzikra minta maaf nggak cerita soal ini ke Mami. Dzikra takut Mami marah. Dzikra dan teman-teman dikeluarkan karena masalah sama musuh Dzikra di sekolah, walaupun kami juga ada salah. Tapi tenang aja, Mi, Dzikra dan teman-teman lagi cari sekolah baru kok," jelas Dzikra dengan suara pelan dan terbata-bata, takut Mami tidak memercayainya.

Mami hanya tersenyum, seolah semua sudah dipahaminya jauh sebelum Dzikra berbicara.

"Sebelum kamu ngomong, Mami sudah tahu semuanya, sayang. Musuh kamu itu Anya dan teman-temannya, kan?" tanya Karlista dengan lembut, membuat Dzikra semakin terdiam.

Dzikra terdiam, terkejut. Bagaimana bisa Mami tahu siapa musuhnya? Ia hanya bisa mengangguk, tidak tahu harus berkata apa lagi.

"Kamu tenang aja, mereka juga kena skors 3 bulan, bukan cuma surat peringatan. Soalnya, ayahnya Anya karyawan Papi kamu," ujar Karlista sambil menatap Dzikra yang semakin bingung.

Kali ini, Dzikra benar-benar tak bisa menahan keterkejutannya. Benar-benar kekuasaan bisa mengubah segalanya, batinnya.

"Mami juga udah pilihkan sekolah baru buat kamu dan teman-teman kamu. Kalian akan sekolah di Megantara School. Itu sekolah punya Om Rayyan, teman dekat Papi kamu. Mami udah bicara sama Om Rayyan, dan dia setuju menerima kalian di sana. Jadi mulai senin besok, kalian bisa mulai sekolah lagi," ucap Karlista sambil tersenyum.

Dzikra mendengarkan dengan saksama, hatinya campur aduk antara lega dan terkejut. Namun, perasaan lega lebih mendominasi. Setidaknya, ada harapan baru yang diberikan oleh Mami-nya.

RANDY : Bad Boy is Husband  [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang