2

466 70 5
                                    

“Menarik.” Gumamnya

Sosok itu pria berusia akhir dua puluhan. Tampan tentu saja, hanya kurang senyum untuk melengkapi penampilan karismatiknya.

Suara ketukan pintu mengalihkan dari berita bisnis yang tengah pria itu baca. Tanpa ragu menyuruh si pengetuk untuk masuk.

“Tuan Athlas.”

Sapaan si pengetuk yang merupakan tangan kanan seorang Atlhas Benjamin Abraham. Satu-satunya pewaris dari Victor Abraham. Pemilik AGH atau Abraham Groub Holdings. Pusat nomer 1 perusahaan real estate. Menjadi kiblat dari semua perusahaan real estate terbesar.

Athlas menatap si tangan kanan, menantikan laporan yang akan pria itu katakan.

“Maaf tuan. Lelang kemarin kami belum bisa mendapat sebidang tanah itu. Tuan Dominic memiliki koneksi pribadi.”

Tak menjawab Athlas hanya menganggukan kepalanya “Aku tahu.” Ucapnya, pria yang jarang berekspresi itu kini menatap sang tangan dengan seulas senyum tipis penuh makna.

“Brian cari tahu tentang Tuan Dominic ini. Everett Dominic cukup mampu.”

Brian mengangguk patuh, tak ayal agak merasa ngeri melihat senyum tipis sang tuan yang penuh rencana. Kemudian pamit undur diri, siap kembali melakukan tugasnya.

****

Lonceng khas toko roti terkenal itu berbunyi menandakan ada pelanggan. Suara sapaan selamat datang menyambut begitu Everett memasukinya.

Tatapannya langsung tertuju pada jajaran kudapan yang tersaji dari berbagai bentuk dan rasa.

“Tuan Everett? Pesanan seperti biasa?” Salah satu pelayan yang akrab bertanya ramah disertai senyum.

Everett balas tersenyum “Kali ini satu slice saja ya.” Balasasnya.

Si pelayan tertegun, menatapnya iba sebelum melakukan tugasnya. Everett hanya diam, tahu betul makna tatapan si pelayan yang sudah hafal diluar kepala tujuannya kesini setiap bulan.

Tak lama pelayan itu membawa pesanan Everett yang sudah terbungkus rapi.

“Selamat menikmati.”

“Terima kasih.”

Pria 26 tahun itu segera pergi setelah menyelesaikan pembayarannya.

****

Mobil BMW yang kali ini dikemudikan sendiri oleh Everett melaju dengan kecepatan sedang di salah satu area yang terlihat asri.

Dereta pepohonan rindang dan bukit-bukit buatan kecil melingkupi. Segar namun sepi. Segera saja mobil BMW itu terparkir rapi di tempat khusus.

Everett berjalan dengan 10 tangkai bunga lily putih di tangan dan bungkusan kue di tangan lainnya. Langkah membawa melewati gundukan-gundukan tanah peristirahatan terakhir. Menuju tempat yang meskipun baru sudah dirinya ingat di luar kepala.

Tepat di depannya 2 gundukan tanah bertuliskan nama kedua orang tuanya berada. Lokasinya berada di tempat terbaik, dinaungi oleh pepohonan rindang. Tak terkena panas sekalipun.

Tak peduli dengan tanah yang mengotori setelan mahalnya, Everett duduk bersimpuh. Menikmati semilir angin yang menyapu rambutnya.

“Halo, ayah.. ibu.. Maaf Eve baru kembali berkunjung sejak terakhir kalinya.”

“Bagaimana lokasi pilihan Eve? Sesuai permintaan ibu, Eve memilihnya di lokasi yang tidak terkena panas. Takut make up mahal ibu luntur.” Pria itu terkekeh di akhir kalimatnya.

AmbivalenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang