6

682 81 3
                                    

Athlas mengamati apartemen mewah yang dimasukinya. Terkesan sederhana dengan warna putih dan coklat yang mendominasi. Memberikan kesan hangat.

Lantas kembali memalingkan wajah setelah dipersilahkan duduk di sofa. Merasa tak sopan karena telah melihat sekeliling ruang pribadi orang lain.

Everett meskipun agak tertatih mengambilkan secangkir air hangat. Sebab si tamu menolak dibuatkan teh ataupun kopi.

Keduanya duduk dalam diam untuk sementara waktu, mendengarkan detak dari jarum jam.

“Para paman dan bibi saya menginginkan nyawa saya.” Satu kalimat itu menghentikan gerakan Athlas yang tengah meneguk air.

Diletakkan gelas yang telah berkurang separuh isinya untuk mendengarkan pria yang lebih muda dengan khidmat.

“Semenjak perusahaan mereka di akuisisi oleh D’Realty Trust. Mereka merasa memiliki kuasa dalam perusahan saya.”

“Selama beberapa tahun terakhir. Segala cara mereka lakukan untuk menyingkirkan saya dan ayah saya. Tidak lain untuk merebut D’Realty Trust. Mereka serakah untuk memegang kuasa.”

“Sayangnya ayah saya menjumpai juga hari sialnya. Bertahun berhasil menghindari namun hari itu. Seperti anda yang tahu. Mereka meninggal, menyisakan saya seorang diri.”

Athlas diam mendengarkan, namun tetap tak bisa menahan diri untuk berkomentar “Kenapa ayahmu tak membalas? Dia tahu rencana mereka kan?” Tanyanya tak paham.

Sekelas Jeffreyy Dominic tak mungkin tak memiliki koneksi ataupun cara untuk menyingkirkan saudaranya. D’Realty Trust tak mungkin sebesar ini tanpa ada pemikiran cerdas dan kejam di belakangnya.

Everett terkekeh “Itu yang anda tidak tahu Tuan Abraham. Manusia itu terkadang terlalu sentiment. Hanya karena label saudara, ayah membiarkan mereka. Masih berpikir bahwa mereka tak akan bersikap kejam padanya.”

“Buktinya disini saya. Anda bisa melihat sendiri kan salah satu kejadiannya tadi.”

Si yang lebih tua terhenyak. Salah satu? Artinya sudah banyak sekali bukan yang pria di depannya ini alami hingga saat ini.

“Jadi rencanamu?”

“Saya membutuhkan pewaris untuk kejadian terburuk yang mungkin menimpa saya. Jika saya mati setidaknya masih ada seseorang yang bisa mewarisi perusahaan yang ayah saya bangun dengan susah payah.”

“Tak mungkin saya merelakan D’Realty Trust jatuh pada tangan busuk mereka. Meskipun nanti bisa saja saya memberi asset bagi panti asuhan atau badan aman. Mereka lebih dari mampu untuk merebutnya.”

“Anda tak berniat melawan mereka?”

“Mungkin hal ini mudah bagi anda Tuan Abraham. Sedangkan bagi saya? Mereka itu sudah mengakar sejak lama. Sementara saya hanya sebuah tunas baru yang tidak sempurna.”

“Karena itu saya pikir ini merupakan rencana paling tepat. Jikapun nanti saya mati. Asalkan saya memiliki pewaris dengan naungan yang kuat. Mereka hanya bisa terus bermimpi untuk mendapatkan D’Realty Trust.”

Benar ternyata dugaan Athlas tapi yang tidak diketahui masalah ini tak sesederhana yang Everett jelaskan. Banyak sekali benang kusut di dalamnya yang membuat Everett tak boleh salah melangkah.

Keduanya kembali diam untuk waktu yang lama. Everett sudah menyebutkan alasan yang sejujurnya. Hanya tinggal menunggu keputusan pria di depannya ini.

Untuk pertama kali selama 28 tahun hidup. Athlas merasakan apa itu empati, Hatinya tergugah, terlebih melihat pandangan sendu si yang lebih muda.

“Saya akan menerima tawaran anda Tuan Dominic. Tetapi saya memiliki syarat tambahan.”

Everett terkejut mendengarnya. Kali ini pandangannya menatap intens pada wajah menawan Athlas yang duduk di seberangnya.

AmbivalenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang