Benedict menatap lamat pada sosok yang selama hampir 3 minggu terakhir menjadi obek pengamatannya. Sedang dirinya bersembunyi dalam mobil. Berusaha mengingat sebanyak mungkin sosok itu dalam benaknya.
Namun dering panggilan dari sang boss mengalihkan atensi. Dengan sedikit malas Benedict mengangkatnya.
“Iya-iya akan ku belikan.” Sahutnya sedikit tak niat. Memang agak kurang ajar, padahal Everett yang menggajinya.
Netranya kembali fokus kedepan saat memastikan sosok yang diamati sudah tak terlihat pandangan sebelum memutar kemudi, mampir ke beberapa tempat untuk membeli apa yang bosnya minta.
Tak memakan waktu lama saat dia sudah sampai, melihat Everett yang menyandarkan tubuh pada sofa dengan wajah pucat.
“Pesananmu.” Ucap Benedict letakkan beberapa bungkusan tepat di depan Everett.
“Terima kasih. Nanti uangmu ku ganti.”
Everett menjawab, tak merubah posisinya setengah menutup wajah dengan lengannya.
“Sudah ku katakan kan untuk melakukan tes ini dari beberapa hari lalu.” Gerutu Benedict yang di dengar jelas oleh Everett.
“Aku kan belum merasa yakin. Jika hasilnya negative bagaiamana? Bisa jadi memang asam lambungku sedang kumat.”
“Terserahlah.”
Memang sejak beberapa hari lalu Everett mulai mengalami gejala mual dan muntah di pagi hari. Beruntung Benedict terlihat pro dan bisa membantunya menangani.
Si pengawal sudah memberi saran pada si bos untuk melakukan test sederhana melalui test pack memastikan bahwa kondisinya kali ini benar-benar tengah berbadan dua.
Namun ditolak mentah oleh Everett, karena rasa takut hasilnya tak sesuai harapan. Terlebih janji temu kembali dengan dokter Albert masih harus menunggu beberapa hari lagi.
Dan entah mendapat pencerahan darimana. Tiba-tiba tadi Everett memintanya untuk membeli alat tes kehamilan itu. Tak tanggung Benedict membeli dari masing-masing jenis dan merek yang berbeda. Sukses membuat sang penjaga apotik berpikir akan dia jual kembali.
Meskipun masih ada keraguan. Everett akhirnya bangkit mengambil bungkusan di depannya dengan pandangan bertanya.
“Kau mau menjualnya lagi atau bagaimana?” Tanyanya melihat bungkusan penuh berbagai jenis alat tes kehamilan itu.
“Coba saja pakai jenis yang berbeda. Kau kan tinggal mencelupkannya. Lagipula aku kan juga perlu akurasi alat itu. Jadi kubeli saja semuanya jenisnya.”
Everett jadi semakin pusing mendengarnya. Tak lagi menyahuti, membawa beberapa benda berbentuk stick itu menuju kamar mandi.
Butuh waktu beberapa menit tentunya untuk melakukan test ini. Everett sendiri sedikit gugup. Berjalan mondar-mandir di kamar mandi sembari menunggu hasilnya.
Terkejut tentu saja, tangannya sedikit gemetar melihat beberapa test pack yang menunjukan hasil yang sama. 2 garis merah dengan warna yang masih agak samar.
Pandangannya menunduk menatapi perutnya yang masih datar. Tangannya tanpa sadar menyentuh perut yang masih rata itu.
“Selamat datang.” Lirihnya
****
Disinilah Everett sekarang, tanpa mengabari Athlas membuat janji temu segera dengan dokter Albert. Dokter paruh baya itu agak terkejut awalnya sebab janji temu yang telah disepakati sebelumnya masih berkisar 2 hari lagi.
Dokter itu memberi senyum teduh mendengar penjelasan Everett disertai beberapa alat tes kehamilan.
“Untuk memastikan, akan lebih baik kita lakukan Ultrasonografi dan Tes Darah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambivalence
General FictionAm·biv·a·lence /amˈbiv(ə)ləns/ The state of having mixed feelings or contradictory ideas about something or someone. Just story between Athlas and Everett