Hampir dua minggu masih belum ada balasan dari Athlas. Everett menghela nafas lelah. Berpikir bahwa sudah pasti tawarannya ditolak. Meskipun penawaran terakhirnya bisa menarik minat pria itu. Tapi perihal memiliki anak itu memang tanggung jawab besar dan berkepanjangan.
Dan sosok seperti Athlas tak mungkin mau mengambil resiko yang pasti akan merugikannya.
Everett kembali menghela nafas sembari menenggak minumanya. Hanya segelas jus tapi dia susah-susah kemari. Sebuah bar yang sering dikunjunginya.Diam-diam tentu saja tanpa sepengetahuan dari Caspian dan Dalton.
Dirinya berada di sebuah private room. Sendirian, sembari mengamati pemandangan malam kota dari jendela besar yang tirainya sengaja dia buka.
Ketukan pintu terdengar, tanpa menoleh Everett menyuruh masuk. Memunculkan sosok cantik dengan baju yang kurang bahan.
Sosok itu kembali menutup pintu, dan duduk di sofa yang berada di sebelah Everett.
“Tuan Eve.” Si gadis cantik memanggil, mengalihkan atensi Everett dari lamunannya.
“Lama tidak berjumpa Agatha.”
Gadis itu tersenyum, menawan, Jika orang lain disini pasti sudah menerkamnya. Wajah cantik, bentuk tubuh bak gitar spanyol dan senyum menawan nan menggoda itu. Namun Everett hanya balas tersenyum.
“Saya sudah menjalankan perintah Tuan muda.” Ucapnya lagi. Kali ini sukses membuat seringaian mampir di wajah menawan Everett.
“Bagus sekali. Aku benar-benar tak salah percaya padamu.”
Agatha mengangguk melaporkan beberapa hal terkait yang memang Everett perintahkan padanya dengan rinci.
“Kerja bagus. Apa yang kau inginkan sebagai balasannya?”
Mendengar itu Agatha menggeleng tegas “Tuan muda Everett sudah banyak menolong saya, bahkan menyelamatkan nyawa saya. Hal kecil ini bukan apa-apa.”
“Kau tidak ingin keluar dari sini? Dari tempat ini?” Everett kembali bertanya. Memang dirinya pernah menyelamatkan si gadis tapi untuk rencana kali ini, Everett tetap tak bisa menerima begitu saja. Terlebih hal ini dapat membahayakan gadis di depannya.
Agatha menggeleng tegas “Tidak tuan muda. Masih ada beberapa urusan yang perlu saya selesaikan disini. Tapi saya pastikan semua perintah anda akan saya lakukan dengan baik.”
Everett tak lagi memaksa, meletakkan gelasnya di meja sebelum beranjak “Baiklah. Aku tak akan ikut campur urusanmu. Katakan saja jika nanti kau perlu bantuan. Aku harus segera pergi.” Ucapnya berlalu meninggalkan gadis itu dalam diam.
Si gadis menatap lamat punggung itu. Menghela nafas pelan menghilangkan debar yang seharusnya tak boleh dia miliki pada dermawan hidupnya itu.
****
Athlas berdiri diam dalam ruang kerjanya. Menatap sibuknya lalu lalang jalan dari jendela perancis di hadapannya. Matanya memicing tajam
Sementara pikirannya penuh akan penawaran dari si Tuan Dominic 2 minggu lalu.Disaat orang lain hanya ingin meraih keuntungan darinya tanpa mengorbankan sepeserpun uang. Pria itu bahkan rela menukar asset besar dan sebuah penawaran menarik padanya.
Begitu percaya diri dengan rencana kerjasama yang konyol. Athlas tak mengerti kenapa pria itu terlihat bertekad sekali memiliki anak di usia yang terbilang masih muda.
Sebenarnya Athlas hanya bisa menebak tapi tak ayal juga penasaran dengan alasan apa yang dimiliki oleh pria itu. Sudut mulutnya terangkat, seumur hidup baru kali seorang Athlas Benjamin Abraham merasa tertarik pada seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambivalence
General FictionAm·biv·a·lence /amˈbiv(ə)ləns/ The state of having mixed feelings or contradictory ideas about something or someone. Just story between Athlas and Everett