2 minggu tanpa Athlas yang sesekali menyambangi terasa sangat sepi bagi Everett. Si empunya mengerut perut yang terasa semakin membuncit menghilangkan kota-kota roti sobek yang di upayakan sepenuh hati.
Namun lamunannya menghilang begitu panggilan dari Caspian masuk.
Tidak biasanya sekretarisnya itu akan menghubunginya tanpa pemberitahuan. Mengingat perbedaan waktu. Seharusnya disana juga sudah tengah malam.
Tak butuh waktu lama Everett mengangkat panggilan. Suara resah dari Caspian cukup membuatnya mengeraskan rahang.
“Kau tidak perlu khawatir. Aku usahakan mereka tidak berani bertindak apapun.”
Kalimat itu menjadi akhir panggilan tanpa menunggu balasan dari Caspian.
Dirinya yang semula santai kini segera mencari Benedict. Dia perlu segera menemui dokter Albert untuk memastikan kondisinya cukup mumpuni untuk menaiki pesawat dalam kurun waktu cukup lama.
Memang rencana awalnya Everett akan tinggal di Jerman hingga usia kandungan mencapai trimester kedua. Namun tampaknya rencana itu harus dia telan bulat mengingat kerabat tercintanya itu memang tak bisa membiarkannya hidup tenang.
“Eve hati-hati dengan langkahmu astaga. Ingat bayi mahalmu di perut.”
Ucapan dari Benedict berhasil memperlambat laju langkah Everett yang tergesa. Sementara pengawalnya itu menghela nafas lega. Terlihat ngeri melihat Everett yang seolah akan berlari ke ruangan dokter Albert.
Tidak ingatkah dia di perutnya ada bayi-bayi mahal yang diperoleh dengan susah payah.
****
Darren menatap ngeri melihat wajah penuh amarah dari Athlas. Bossnya itu memang tak mengatakan apapun, tapi tatapannya yang super tajam membuat Darren gemetar tanpa sadar.
“Siapa? Katakan padaku siapa yang membocorkan pembelian tanah itu?”
Darren tergagap sebelum berhasil menjawab “Presdir, yang mengetahui masalah ini selain saya adalah bagian Direktur Keuangan. Tuan Scott.”
Athlas masih terdiam sebelum smirk terbentuk di wajahnya, membuat Darren berdoa untuk ketenangan jiwa Tuan Scott untuk 1 detik.
“Bagus sekali.”
Pujian itu sangat berbanding terbalik dengan tangannya yang terkepal erat.
Matthew Scott berani-beraninya melangkahi dirinya. Merasa sudah bisa menggenggam seorang Athlas Benjamin Abraham, hanya karena dirinya memberi sedikit apresiasi pada kenalan kakeknya itu.
“Sudah saatnya membersihkan beberapa hama.”
Kalimat dengan nada santai itu membuat Darren menelan ludah. Sedikit tak sabar melihat bagaimana metode luar biasa Athlas dalam bersih-bersih area perusahaannya.
****
Geram tentu saja itu yang dirasakan oleh Paman dan Bibi Everett. Meskipun bukan tangan mereka sendiri yang mendapat tanah di wilayah pengembangan yang menjanjikan itu.
Tetap saja mereka merasa amaradengan mudahnya Everett menjualnya lagi pada AGH. Benar-benar bodoh.
“Dia sudah mau mati tapi masih menyebabkan masalah bagi kita.”
Kalimat kejam itu keluar dari Lulane yang bertitle sebagai bibi kandung Everett.
“Ibu benar, paman pertama, paman ketiga. Apa yang harus kita lakukan?” Sebagai putra pertama Lulane, Edward menimpali.
“Tidak ada jalan lain, kita harus merebut kembali tanah itu. Bidang tanah itu benar-benar akan menetukan D’Realty Trust kedepannya.” Jericho menatap sang ayah yang diam-diam menyetujui sarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambivalence
General FictionAm·biv·a·lence /amˈbiv(ə)ləns/ The state of having mixed feelings or contradictory ideas about something or someone. Just story between Athlas and Everett