Everett tidak akan menyangka bahwa hamil akan sesulit ini. Morning sickness di pagi hari. Sakit punggung, pinggang bahkan sesekali kram ringan di malam hari. Terlebih moodnya akan seperti roller coaster. Tak seperti dia yang biasa.
Baru beberapa menit yang lalu dirinya sedang berada dalam mood yang baik bahkan melemparkan beberapa lelucon bersama Benedict, namun kini dia tengah menangis sesenggukan akibat menonton salah satu series yang ditunggunya.
Membuat Benedict kelimpungan bukan main tentu saja.
“Sudahlah Eve itu kan hanya film. Di kehidupan nyata mereka juga tidak begitu.” Ucapnya berusaha menenangkan.
Tetapi bukannya mereda malah tangis Everett semakin mengeras.
Suara bel pintu membuat Benedict yang frustasi merasa seperti penyelamat. Segera kabur dari Everett yang masih sesenggukan.
Sementara itu Athlas dengan pakaian santainya berdiri di depan pintu kediaman Everett.
Hari ini bertepatan dengan weekend dan kebetulan dirinya tak ada agenda lain. Jadi ketika pukul 6 pagi tadi Everett memanggilnya mengatakan tengah ingin makan Bratwurst, Athlas segera menyanggupi.
Memaksa Brian yang selama beberapa minggu bekerja keras tak lagi menikmati akhir pecan yang terasa indah ini. Mengikuti sang atasan berkeliling kota Jerman di pagi buta. Meskipun harus berputar-putar selama 1 jam lebih berujung Athlas menghubungi kenalannya yang seorang koki untuk membuatkan hal itu.
Athlas mengernyit begitu melihat Benedict dengan wajah penuh syukur menatapnya serta suara sesenggukan Everett yang terdengar.
Tak perlu waktu lama hingga dirinya segera menghampiri Everett yang memandangnya dengan wajah sendu.
Selama 27 tahun hidupnya baru kali ini Athlas bingung harus melakukan apa. Dirinya tak pernah berhadapan dengan orang menangis dan tak tahu apa yang perlu dilakukan.
Haruskan Athlas membiarkannya? Memeluknya atau bagaimana?
Dirinya berusaha mencari bantuan namun entah dengan kecepatan apa Benedict dan Brian sudah menghilang tak tahu dimana. Meninggalkan dirinya dan Everett yang masih terisak lirih.
“Kenapa hm? Apa aku terlalu lama? Kau menunggu lama? Maafkan aku?”
Mendengar itu Everett ingin kembali menangis lagi. Kenapa pria ini begitu perhatian padanya melebihi kerabatnya sendiri? Tak terasa air mata kembali mengalir membuat matanya semakin sembab.
Maka dengan kaku Athlas mencoba menarik si yang lebih muda dalam pelukan. Hanya itu yang bisa dia pikirkan saat ini. Menepuk pelan punggung dan kepala si yang lebih muda.
“Sudah oke? Jangan menangis lagi. Lihat aku membawa apa yang kau inginkan.”
Tindakannya berhasil Everett mendongakkan kepala menatap wajah Athlas.
“Terima kasih. Maaf sudah merepotkanmu.” Ucapnya dengan suara sengau
Si yang lebih tua menggeleng. Melepas perlahan dekapannya dan memberikan paper bag yang dibawanya pada si yang lebih muda.
Ajaibnya senyum lebar terpatri di wajah sembab namun rupawan milik Everett. Seolah yang menangis hingga sesenggukan tadi bukanlah dirinya.
Athlas hanya menggelengkan kepala. Benar juga apa yang dikatakan koleganya beberapa hari yang lalu. Mood orang yang tengah mengandung sangat tidak menentu.
Keduanya kemudian larut dalam kegiatan masing-masing. Everett dengan makanannya setelah menawari Athlas yang ditolak oleh si empunya. Sedangkan Athlas hanya mengamati bagaimana Everett yang makan dengan gembira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambivalence
General FictionAm·biv·a·lence /amˈbiv(ə)ləns/ The state of having mixed feelings or contradictory ideas about something or someone. Just story between Athlas and Everett