#12 : Tanda Tanya

15 5 0
                                        

Sekuat apa pun menghindar, ternyata semesta selalu punya cara untuk mempertemukan,

-Rayna-


Matahari sore ini merangkak turun, sinarnya yang lembut menyindari setiap sudut kampus yang mulai sepi dari hiruk-pikuk kesibukan. Di sebuah gazebo yang terletak di tengah taman fakultas seni dan budaya, Bryan duduk termenung di sana. Pandangannya kosong, tetapi pikirannya penuh sesak.

Adelia Rayna Putri, nama itu selalu terngiang di kepalanya sejak beberapa hari terakhir. Meski sekarang komunikasi sedang berjalan tak baik-baik saja, tetapi masih ada sedikit harapan untuknya dan Rayna kembali saling terhubung.

Bryan menunduk, pandangannya lurus ke arah benda pipih yang sejak tadi ada pada genggamannya. Tidak ada tanda-tanda Rayna membalas semua chat dan teleponnya. Rayna seakan hilang tanpa jejak, padahal sebelumnya mereka masih baik-baik saja.

Bryan menghela napas berat, mencoba mencari-cari alasan yang mungkin menjadi penyebab perubahan sikap Rayna. Ia tahu, kesibukan menuju ke semester akhir bisa jadi alasan jarangnya pertemuan itu terjadi. Namun, ini lebih dari itu. Ada sebuah jarak yang tak kasat mata, tetapi jelas terasa bagi Bryan.

Di tengah lamunannya, suara derap langkah kaki membuyarkan semuanya. Seseorang berjalan lurus di jalan setapak yang terhubung ke taman tempat Bryan berada. Ternyata, itu adalah Rayna. Tidak percuma Bryan sejak siang duduk di gazebo menunggu Rayna nampak. Bryan berdiri, lalu menggaet tangan gadis itu hingga menyatu dalam peluknya.

Rayna terkejut, seseorang tiba-tiba menarik dan memeluknya. Ia tak sadar, karena sibuk dengan layar ponsel. Namun, dari aroma parfumnya, Rayna tahu siapa itu.

"Lo kemana aja? chat nggak dibales, telepon nggak diangkat. Gue nyariin lo, Ray," ujar Bryan, cowok itu memeluk Rayna erat seakan tak ingin ditinggalkan.

Respon tubuh Rayna hanya membeku, ia jadi tak bisa berkata-kata apa pun. Meski hatinya ingin sekali mengatakan semuanya. Pelukan Bryan ini, Rayna sangat merindukannya. Terlebih, beberapa hari mereka tiada komunikasi.

Bryan melepas pelukannya, sorot mata elangnya menatap cewek di depannya ini dengan tatapan lembut. Sedang, Rayna hanya bisa diam.

"Gue ada salah, ya, sama lo? Bilang Ray, jangan menghindari gue, jangan silent treatment gini. Gue nggak bisa liat lo gini ke gue. Gue minta maaf, ya?" ucap Bryan dengan suara penuh kecemasan, di sorot matanya itu menyimpan penuh harap pada jawaban Rayna.

"Nggak ada apa-apa," jawab Rayna singkat.

"Kalo nggak ada apa-apa, kenapa chat sama telepon gue lo cuekin? Hmm?" tanya Bryan dengan nada lembut.

"Sepenting itu, ya, bales chat sama telepon lo? Gue sibuk, kali," ucap Rayna dengan nada datar, matanya menghindari tatapan Bryan yang sejak tadi menatapnya intens.

"Oh, ya, kenapa lo marah saat gue nggak bales chat sama telepon dari lo? Memang kita ada hubungan apa, sehingga lo bisa segitunya?" sambungnya, kali ini dengan nada sinis dan mencoba menutupi kegelisahan yang tersembunyi dibalik wajahnya.

Sekakmat!

Bak petir di siang bolong jawaban Rayna sedikit menampar kenyataan yang sesungguhnya bagi Bryan. Meski begitu, Bryan tahu harus bersikap bagaimana.

"Ya, terlepas dari semua itu. Gue ada salah apa sama lo, Ray? Please, jangan hukum gue dengan diamnya lo beberapa hari ini," kata Bryan dengan putus asa, suaranya melembut seiring tatapannya yang penuh dengan harapan.

Can I Be Yours? [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang