22

228 77 7
                                    

Pagi itu masih sangat gelap, udara menusuk kulit hingga ketiganya meringkuk dalam tenda, berusaha mempertahankan kehangatan dari sisa-sisa api yang padam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi itu masih sangat gelap, udara menusuk kulit hingga ketiganya meringkuk dalam tenda, berusaha mempertahankan kehangatan dari sisa-sisa api yang padam.

Embusan angin dingin dari celah-celah kain tenda membuat mereka enggan bergerak, bahkan sekadar keluar untuk mengecek keadaan.

Jusuf menguap pelan, menggigil, sementara Jamal masih memeluk Wahyu erat, memanfaatkan panas tubuhnya sebagai penghangat alami.

“Bentar lagi juga matahari terbit,” kata Jusuf sambil menarik kantong tidur lebih rapat.

Wahyu mengangguk. “Udara pasti lebih hangat kalau udah matahari sudah terbit.” 

Mereka menunggu dengan sabar.

Ketika matahari mulai muncul di ufuk timur, sinarnya menyelinap di antara pepohonan dan perlahan mengusir hawa dingin.

Masih dingin namun masih bisa ditolerir.

Cahaya emas menyentuh daun-daun basah dan rerumputan penuh embun, memberikan kesan pagi yang segar sekaligus sedikit lembap.

"Udah lumayan nih," ucap Jamal sambil duduk tegap, membuka resleting tenda sedikit untuk memastikan semuanya baik-baik saja di luar. 

Namun, saat mereka keluar, mereka mendapati kenyataan yang sedikit merepotkan: kayu bakar yang semalam dipakai ternyata basah oleh embun.

Jusuf menendang ranting itu kesal. “Ya, udah nggak bisa dipakai.”

“Roti aja ya? Yang penting bisa jalan cepat,” kata Wahyu sambil merogoh roti dari ranselnya dan membagikan kepada mereka.

Jusuf mengangguk setuju, dan tanpa banyak basa-basi mereka sarapan seadanya. 

Selesai makan, mereka mulai beres-beres.

Jusuf melipat tenda dengan gesit, memastikan tali-tali dan pasak tidak tertinggal.

Jamal membantu memasukkan barang-barang ke dalam tas carrier, sedangkan Wahyu mengatur ulang peralatan masak agar muat di ranselnya.

Semua dilakukan cepat dan efektif—mereka ingin segera memulai perjalanan ke pos dua. 

Setelah berkemas, mereka berdiri berjajar. Masing-masing menundukkan kepala dan berdoa dalam diam, meminta perlindungan dari apapun yang mungkin menghalangi mereka. 

“Yuk, kita mulai jalan.” ajak Jamal setelah selesai.

Mereka memutuskan untuk bergerak ke arah barat, berharap menemukan jalur pendakian yang seharusnya.

Medan yang mereka lalui tidak mudah.

Awalnya, mereka masih berjalan di atas tanah datar yang tertutup rerumputan basah, namun semakin jauh, semak belukar dan akar-akar pohon mulai menghalangi langkah.

Jamal dan Jusuf harus bekerja sama, mematahkan ranting-ranting dan menggeser semak yang tumbuh liar.

Jalan ini bukan jalur pendakian resmi, melainkan jalan lama yang jarang dilewati, tertutup kembali oleh alam seiring waktu.

[BL] Tersesat Ke Desa Gaib Gunung Suralaya ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang