Chapter 5 : Pertarungan Emosi

89 3 4
                                    

Setelah perdebatan panas yang menegangkan di taman, Argafian dan Fabrizio berusaha untuk kembali ke rutinitas mereka. Namun, di dalam hati mereka berdua, ketidakpastian masih mengendap. Mereka sepakat untuk tetap menjadi sahabat untuk saat ini, tetapi rasa bingung tentang hubungan mereka terus membayangi.

Di sekolah, setiap kali Rian mendekati Fabrizio, Argafian merasa hatinya tertekan. Dia berusaha duduk di tengah-tengah, ingin menjaga jarak antara mereka. “Eh, Fab! Kita kan harus latihan untuk acara OSIS besok,” kata Argafian, mencoba menciptakan momen berharga antara mereka tanpa melibatkan Rian terlalu banyak.

“Yah, emang sih. Tapi Rian udah janji mau bantu,” jawab Fabrizio, tatapannya penuh semangat saat melihat Rian yang datang dengan senyum lebar. “Lo nggak mau gabung, Haidar?”

Argafian mengerutkan dahi, “Gue… gue ada urusan lain. Jangan khawatir.” Suaranya terdengar tegang, tetapi dia berusaha untuk tidak menunjukkan betapa cemburunya dia.

Ketika Rian mulai berbicara dengan Fabrizio, Argafian merasa terasing. Dia duduk di antara mereka, berusaha untuk menciptakan batasan, tetapi setiap tawa dan canda dari Fabrizio dan Rian semakin menambah beban di hatinya. Rasa cemburu yang sudah menggerogoti perasaannya semakin kuat, dan dia merasa seolah-olah semua usaha yang dia lakukan sia-sia.

“Lo tahu, Fab? Gue bisa bantu nulis naskah buat acara itu!” seru Rian dengan antusias. “Kita bisa buat ini jadi luar biasa!”

“Iya, Rian. Itu ide bagus!” Fabrizio menjawab, senyumnya tak pernah pudar saat berbicara dengan Rian. Argafian merasa hatinya serasa dihimpit.

“Lo pasti mau bantu juga, kan, Argafian?” tanya Rian, menatap Argafian dengan semangat.

“Gue… ya, gue akan coba,” jawab Argafian, berusaha untuk tidak terdengar skeptis.

Tapi di dalam hatinya, Argafian berpikir, Apa sih yang Rian punya yang tidak ada pada gue? Kenapa Fab lebih memilih dia?

Hari-hari berlalu dengan perasaan yang semakin menumpuk. Argafian berusaha untuk tersenyum dan terlihat bahagia saat bersama mereka, tetapi sebenarnya hatinya penuh dengan rasa sakit. Setiap kali melihat Fabrizio dan Rian berbagi momen, dia merasa seperti satu-satunya orang yang tidak pantas berada di sana.

Suatu malam, saat mereka semua berkumpul di rumah Rian untuk mempersiapkan acara, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Rian dan Fabrizio duduk berdekatan, berdiskusi tentang naskah, sementara Argafian duduk jauh di sudut, merasa seolah terasing dari dunia mereka.

“Argafian, lo kenapa? Kok diem aja? Ayo ikut diskusi!” seru Rian, mencoba menarik perhatian Argafian.

Argafian hanya mengangkat bahu. “Gue baik-baik aja. Lo lanjut aja,” jawabnya dengan nada dingin.

Fabrizio menatap Argafian dengan cemas. “Haidar, lo beneran nggak mau ikut? Kita butuh ide-ide lo,” pintanya, nada suaranya lembut.

“Gue udah bilang, gue baik-baik aja!” Argafian menjawab, nada suaranya meningkat. “Jangan terus-terusan tanya sama gue!”

Kedua temannya terdiam, terkejut dengan kemarahan Argafian. Rian terlihat bingung, sementara Fabrizio menatap Argafian dengan serius. “Lo lagi marah, ya? Kenapa sih lo selalu menjauh? Kita semua di sini buat ngerjain ini bareng!”

“Karena lo berdua terlihat lebih dekat, dan gue merasa nggak perlu ada di sini!” Argafian merasa emosinya meluap. “Gue cuma jadi penghalang di antara kalian!”

Fabrizio merasa marah. “Argafian, lo ini kenapa sih? Lo selalu bikin segalanya rumit! Gue nggak tahu lagi apa yang lo mau!”

“Yang gue mau? Yang gue mau itu supaya lo bisa lihat bahwa lo juga punya sahabat yang peduli sama lo! Bukan cuma Rian!” Argafian merasa frustasi, air matanya mulai mengalir. “Tapi lo malah lebih memilih dia!”

𝑴𝒚 𝑩𝒆𝒍𝒐𝒗𝒆𝒅 𝑩𝒐𝒚𝒇𝒓𝒊𝒆𝒏𝒅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang