Hari-hari berlalu setelah Argafian dan Fabrizio resmi berpacaran. Meski mereka merasa bahagia, ketegangan di antara mereka masih ada, terutama ketika menyangkut Dinda. Dinda masih menjadi bagian dari kelompok teman mereka, dan kehadirannya kadang-kadang membuat Argafian merasa canggung. Fabrizio, di sisi lain, tidak bisa sepenuhnya melepaskan rasa cemburunya.
Suatu hari, saat mereka semua berkumpul di kantin, Argafian merasakan ada yang berbeda. Dinda duduk di meja sebelah, dan dia tampak sangat akrab dengan teman-temannya. Argafian bisa merasakan tatapan Fabrizio yang penuh curiga setiap kali Dinda tertawa atau berbicara.
“Eh, Argafian! Lo mau ikut bergabung?” Dinda memanggil, senyumnya lebar dan penuh semangat. “Kita mau mendiskusikan acara untuk OSIS.”
“Gue… gue gak tahu, Dinda,” Argafian menjawab, sedikit ragu. Dia menatap Fabrizio yang sudah menekuk bibirnya, jelas tidak senang.
“Yuk, Haidar! Kita butuh ide-ide lo,” Dinda memaksa, dan Argafian merasa terjebak di antara dua dunia. Dia tidak ingin menyakiti hati Dinda, tetapi di saat yang sama, dia tidak ingin Fabrizio merasa tidak nyaman.
“Gue ikut, tapi Fab juga harus datang!” Argafian akhirnya memutuskan, berharap bisa menjaga keharmonisan di antara mereka bertiga.
Fabrizio terlihat sedikit lebih tenang, tetapi ekspresinya masih penuh keraguan. “Oke, tapi jangan terlalu dekat sama dia, ya?” Fabrizio menjawab, mengingatkan Argafian dengan nada serius.
Selama diskusi berlangsung, Argafian berusaha untuk tetap fokus dan menyenangkan, tetapi dia merasa sulit. Dinda selalu berusaha menarik perhatian Argafian, dan meskipun dia tidak menyukai Dinda, Argafian merasa kasihan pada gadis itu. Sementara itu, Fabrizio duduk di sisi yang lebih jauh, matanya menatap Argafian dengan tatapan cemburu.
“Argafian, lo ada ide buat acara ini?” Dinda bertanya, mengalihkan perhatian semua orang ke arah Argafian.
“Hmm, bagaimana kalau kita bikin konser mini? Banyak yang suka musik di sini,” Argafian menjawab, berusaha untuk mengalihkan perhatian dari ketegangan yang ada.
“Konser mini? Ide bagus!” Dinda berkata, terkesan dengan jawaban Argafian. “Kita bisa undang band-band lokal.”
Argafian hanya mengangguk, tetapi hatinya terus bergetar. Fabrizio yang duduk di sisi jauh merasa semakin tidak nyaman melihat Dinda tersenyum lebar setiap kali Argafian berbicara.
Setelah diskusi selesai, Argafian dan Fabrizio keluar dari kantin. “Lo kenapa sih, Fab? Tadi lo kelihatan kayak orang mau meledak!” Argafian bertanya, mencoba mengubah suasana.
“Gue cuma tidak suka lo terlalu dekat sama Dinda,” Fabrizio menjawab, nada suaranya tetap tegas.
“Fab, kita cuma teman. Lo harus percaya sama gue,” Argafian menjelaskan, merasa frustasi. “Gue milih lo. Ini bukan tentang Dinda.”
“Gue tahu, tapi susah untuk tidak merasa cemburu ketika lo terlihat bahagia di samping dia. Kayak lo lebih nyaman sama dia,” Fabrizio mengaku, meskipun dia berusaha menyembunyikan rasa sakit di hatinya.
Argafian merasa terharu. “Gue janji, tidak ada yang bisa menggantikan posisi lo di hati gue. Lo adalah orang yang penting buat gue. Kita harus saling percaya,” Argafian berkata, berharap bisa meyakinkan Fabrizio.
Namun, beberapa hari kemudian, perasaan cemburu Fabrizio semakin meluap ketika Dinda tiba-tiba mendekati Argafian di lapangan. Dia sedang bersiap untuk acara OSIS, dan Dinda datang dengan ide-ide baru yang menggodanya.
“Argafian, ayo kita kerja sama untuk acara ini. Kita bisa bikin sesuatu yang keren!” Dinda berkata, sambil melirik Fabrizio yang berdiri di sisi, terlihat sangat tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑴𝒚 𝑩𝒆𝒍𝒐𝒗𝒆𝒅 𝑩𝒐𝒚𝒇𝒓𝒊𝒆𝒏𝒅
RomanceArgafian Haidar, pelajar sma di Kencana Jaya. Ketemu sama KETOS yang dibilang galak tapi kegalakkan ketos itu menarik perhatiannya Fabrizio Raymond, KETOS yang amat galak bahkan gak suka orang berisik dan ribet. Dia mempunyai personaliti tenang hing...