Chapter 5

4 4 0
                                    

Rey memutar-mutar pena di jarinya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Sudah seminggu sejak percakapan terakhirnya dengan Luka, dan meskipun mereka tidak bertemu lagi secara langsung, kehadiran pria itu tetap menghantui setiap detiknya. Setiap kali Rey mencoba fokus pada pekerjaannya, bayangan Luka dan tatapan intensnya terus mengganggu.

Sejujurnya, Rey merasa lega bahwa Luka memberinya waktu. Setidaknya, untuk saat ini, dia bisa mengambil napas sejenak dan memikirkan semuanya. Tapi semakin lama dia berpikir, semakin besar pula kekhawatirannya. Bukan hanya soal perasaannya terhadap Luka, tapi juga soal dampak hubungan mereka jika benar-benar terjadi.

Bukan hanya masalah Alpha dan Beta, tapi juga tekanan dari lingkungan. Bagaimana jika rekan-rekannya di kantor tahu? Bagaimana jika keluarga Luka mengetahuinya? Luka mungkin tak peduli, tapi Rey tak bisa hidup di bawah sorotan seperti itu. Dia ingin menjalani hidup yang tenang dan normal—sesuatu yang tidak mungkin terjadi jika dia bersama Luka.

Sore itu, saat Rey bersiap-siap untuk pulang, ponselnya kembali berbunyi. Sebuah pesan dari Luka.

Aku di parkiran. Temui aku sebentar.

Rey menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa pertemuan ini tidak bisa dihindari selamanya, dan meskipun dia ragu, dia tidak ingin terus menghindari Luka. Dengan berat hati, Rey mengambil tasnya dan berjalan ke arah parkiran.

Begitu sampai di sana, Rey langsung melihat mobil Luka terparkir di sudut yang agak sepi. Luka duduk di dalam, menunggunya dengan sabar. Ketika Rey mendekat, jendela mobil itu terbuka, memperlihatkan wajah Luka yang seperti biasa—dingin namun penuh keyakinan.

"Masuk," kata Luka, tanpa memberi Rey kesempatan untuk menolak.

Rey ragu sejenak, tapi akhirnya membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Aroma khas interior mobil mewah langsung menyambutnya, tapi yang paling terasa adalah kehadiran Luka di sebelahnya, membuat udara di dalam mobil terasa lebih berat.

"Kau ingin bicara?" tanya Rey, mencoba memulai percakapan.

Luka menatap Rey, matanya serius. "Aku sudah menunggu cukup lama, Rey. Sekarang aku ingin tahu apa yang ada di pikiranmu."

Rey terdiam sejenak, mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara. "Aku... aku masih bingung. Ini terlalu cepat, Luka. Kita bahkan hampir tidak mengenal satu sama lain."

"Kau berpikir terlalu banyak," balas Luka, suaranya tenang namun tegas. "Kau bilang butuh waktu, dan aku memberimu waktu. Tapi aku ingin tahu apa yang sebenarnya kau rasakan. Bukan tentang dunia luar, bukan tentang orang lain—hanya tentang kita."

Rey menunduk, merasa tatapan Luka yang begitu intens mulai membuatnya tak nyaman. "Aku... aku tidak tahu. Maksudku, aku merasa tertarik padamu. Tapi di saat yang sama, aku juga takut."

"Takut?" Luka mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Rey. "Takut pada apa? Pada perasaanmu?"

Rey menggeleng pelan. "Bukan hanya itu. Aku takut pada konsekuensi dari semuanya. Luka, kau tahu ini tidak akan mudah. Dunia kita... orang-orang tidak akan menerima ini."

Luka menyandarkan punggungnya ke kursi, wajahnya tetap serius. "Kau terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan, Rey. Kita tidak bisa hidup untuk memuaskan ekspektasi mereka. Hidup ini singkat, dan aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku dengan memikirkan hal-hal yang tidak penting."

Rey menelan ludah. Luka selalu tahu cara berbicara dengan begitu langsung, begitu yakin. Sementara Rey, meskipun dia tahu Luka benar, tetap merasa ketakutan itu menghantui dirinya.

"Aku hanya tidak tahu apakah aku siap menghadapi itu," kata Rey akhirnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Luka menatapnya dalam-dalam, lalu dengan suara rendah dia berkata, "Kau tidak akan pernah siap kalau terus menunggu saat yang sempurna. Rey, aku tidak memaksamu untuk menerima perasaanku sekarang juga. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak akan mundur. Aku ingin bersama denganmu, dan aku siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Pertanyaannya adalah, apakah kau siap menghadapi itu bersamaku?"

Rey terdiam. Kata-kata Luka menghantam hatinya seperti badai. Pria di sebelahnya ini tidak main-main. Luka benar-benar serius dengan semua ini, dan Rey tahu bahwa jika dia menerima Luka, dia harus siap menghadapi apa pun yang datang.

Tapi apakah dia bisa?

Rey menatap Luka, mencoba mencari jawabannya di dalam dirinya sendiri. Luka terus menunggu dengan sabar, meskipun Rey tahu bahwa kesabaran pria ini ada batasnya. Ada ketegangan di antara mereka yang tak bisa disangkal, sesuatu yang lebih besar dari sekadar ketertarikan fisik.

Akhirnya, Rey menghela napas panjang. "Aku butuh waktu lagi, Luka. Aku tidak bisa memberimu jawaban sekarang."

Luka mengangguk, meskipun ada kilatan frustrasi di matanya. "Baiklah. Tapi ingat, Rey. Waktu itu tidak selamanya. Aku bisa menunggu, tapi aku juga ingin kau tahu bahwa perasaan ini tidak akan hilang begitu saja."

Rey mengangguk pelan. Dia tahu Luka tidak mengancam, tapi dia juga tahu bahwa Luka bukan tipe pria yang suka menunggu terlalu lama.

Ketika Rey akhirnya keluar dari mobil dan berjalan pulang, perasaannya tetap tidak menentu. Dia tahu bahwa Luka tidak akan mundur, dan mungkin, jauh di dalam hatinya, Rey juga tidak ingin pria itu mundur. Namun, bayangan tentang apa yang akan datang terus menghantui pikirannya.

Hubungan mereka adalah sesuatu yang rumit. Dan Rey tahu, semakin dia mendekat ke Luka, semakin sulit untuk kembali.



TBC.

Bound by Fate (BL) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang