Heeseung sudah mengetuk pintu kamar Ni-ki berkali-kali, tapi bocah nakal itu tetap tidak memberi respons. Kesabarannya mulai menipis, dan ia mengetuk lagi dengan lebih keras. "Ni-ki, buka pintunya atau Hyung dobrak?" suaranya terdengar pelan, tapi ketegangan dan kemarahan tersirat jelas di setiap katanya.
Sementara itu, Ni-ki bersembunyi di bawah selimut, hatinya berdegup kencang dengan rasa takut yang perlahan menjalar. Ia tahu Heeseung tidak main-main saat sudah marah seperti itu. Namun, di balik rasa takutnya, ada amarah kecil yang menggelegak. Semua ini karena Sunghoon dan Jake! Jika kedua Hyung-nya itu tidak mengacaukan rencananya, sekarang ia pasti sedang bersenang-senang, menghabiskan uang Heeseung tanpa beban. Ni-ki menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri, tapi rasa kesal masih menguasai pikirannya.
Bukan tanpa alasan Ni-ki melakukan semua ini. Hari ini adalah awal bulan—hari yang paling ia benci, karena itu berarti jadwal rutinnya untuk cek kesehatan di rumah sakit. Dan jika sudah begitu, ia pasti akan disuntik. Membayangkannya saja membuat Ni-ki merinding. Ia benci jarum suntik. Sakit dan menusuk, perasaan yang ingin ia hindari sekuat tenaga. Jadi, melarikan diri dan bersembunyi di balik selimut sepertinya adalah pilihan paling aman, meskipun konsekuensinya adalah menghadapi kemarahan Heeseung.
Ni-ki mendesah pelan, mencoba mencari alasan lain untuk menunda waktu, tapi suara ketukan keras dari luar pintu semakin membuatnya gugup. "Ni-ki, ini terakhir kali Hyung ngomong baik-baik. Buka pintunya," ancam Heeseung, suaranya semakin berat. Ni-ki tahu, jika ia tidak bergerak sekarang, Heeseung benar-benar akan mendobrak pintu dan menyeretnya keluar. Namun, ketakutannya pada jarum suntik jauh lebih besar daripada ancaman Heeseung. "Ini semua salah mereka," gumam Ni-ki lagi, menyalahkan Sunghoon dan Jake yang tidak mendukung rencananya untuk kabur hari ini. Kalau saja mereka tidak mengkhianatinya, ia tidak akan terjebak dalam situasi seperti ini.
Kesabaran Heeseung akhirnya habis, dan dengan satu dorongan penuh tenaga, ia membuka pintu kamar Ni-ki dengan paksa. Pintu itu berdecit nyaring, dan engselnya hampir terlepas dari tempatnya. Ni-ki yang melihat Hyung-nya berdiri tegak di depan, terlihat sangat marah dan geram, merasa gelisah dan terpojok.
“Lihat siapa yang bersembunyi di sini!” serunya, sebelum dia mengangkat tubuh Ni-ki dengan satu tangan seolah-olah sedang mengangkat karung beras. Ni-ki terkejut dan melawan, menggelengkan kepalanya dengan panik. “Hyung! Turunkan aku!” teriaknya, berusaha membebaskan diri dari gendongan Heeseung yang kuat.
Heeseung hanya mencibir, tidak terpengaruh oleh perlawanan Ni-ki. “Tidak ada cara lain. Kita pergi ke rumah sakit sekarang. Semua ini demi kesehatanmu!” katanya tegas, membawa Ni-ki keluar dari kamar dan menuju pintu depan, sementara Ni-ki masih berjuang untuk mendapatkan kebebasannya.
Ni-ki yang sudah putus asa hanya bisa berteriak dan menangis keras, suaranya penuh dengan rasa frustrasi dan ketakutan. “Ni-ki tidak mau! Tolong, Hyung! Jangan ke sana!” teriaknya, suaranya menggema di dalam rumah. Ia tahu ini adalah kegiatan rutinnya tiap bulan—perjalanan ke rumah sakit yang selalu berakhir dengan suntikan yang ia benci. Air mata mengalir di pipinya, menciptakan garis-garis basah di wajahnya.
Melihat Ni-ki yang menangis, Heeseung merasa hatinya tercabik-cabik. Ia tahu niatnya hanya untuk melindungi adik bungsunya, tetapi melihatnya dalam keadaan seperti itu membuatnya ragu. “Ni-ki, dengarkan Hyung,” katanya, berusaha menenangkan. “Ini untuk kebaikanmu. Ni-ki harus sehat.” Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk meredakan rasa takut yang menguasai pikiran Ni-ki.
“Semua orang selalu memaksa! Tidak ada yang mengerti Ni-ki!” ia merenggut kesal, suaranya penuh dengan keputusasaan. Dia merasa sendirian dalam perasaannya, terjebak dalam rutinitas yang tidak diinginkan. Seolah-olah seluruh dunia berputar di sekitarnya, sementara ia hanya ingin menghilang dari semua tekanan yang ada.
Heeseung tak terlalu memperdulikan ocehan Ni-ki. Dengan cepat, ia memasukkan adiknya ke dalam mobil, diikuti oleh Sunghoon dan Jake yang sudah siap di kursi belakang. Suasana di dalam mobil tegang, dengan Ni-ki masih terisak-isak, sementara Heeseung berfokus pada jalan di depan.
Jangan tanya yang lainnya kemana; mereka semua sudah sibuk masing-masing, mencoba menutupi kebodohan mereka sendiri. Sunghoon, yang seharusnya memberi dukungan, malah terdiam, terjebak dalam pikirannya sendiri. Jake berusaha untuk meredakan suasana, tetapi kata-katanya tampak hampa di antara tangisan Ni-ki dan ketegangan Heeseung.
Di luar jendela, pepohonan dan bangunan berlalu cepat, tetapi Ni-ki merasa waktu seolah melambat. Setiap detik menuju rumah sakit terasa seperti bom waktu untuknya. Rasa cemas dan ketakutan menyelimuti, dan meskipun ia tahu semua ini demi kebaikannya, suara hati Ni-ki berteriak minta bebas dari semua tekanan yang telah lama ia rasakan.
Setelah sampai di rumah sakit, mereka langsung menuju ruang pemeriksaan untuk menjalani pemeriksaan rutin kesehatan Ni-ki. Dengan langkah berat, Ni-ki masuk ke ruang dokter, di mana suasana dingin dan steril membuatnya semakin tidak nyaman. Ketika dokter memeriksa berkas medisnya, Ni-ki menunggu dengan cemas, mencuri pandang ke arah jarum suntik yang terlihat mengintimidasi di meja.
Akhirnya, dokter mengangkat wajahnya dan berkata, “Hari ini hanya ada satu suntikan saja. Imun tubuhmu sedikit menurun, jadi kita perlu memperkuatnya.” Setiap kata dokter seolah menambah bara kemarahan di dalam diri Ni-ki. Rasa kesalnya memuncak, dan ia merasa ingin mencabik-cabik wajah dokter di depannya itu. “Satu suntikan? Hah! Seolah itu akan menyelesaikan semuanya!” gerutunya dalam hati, merasa frustrasi dengan situasi yang tidak bisa ia kendalikan.
Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. “Kenapa semua orang harus mengurus hidupku?” pikirnya, sambil menatap tajam ke arah dokter, meskipun di dalam hatinya ia tahu semua ini demi kebaikan dirinya.
Setelah mendapatkan suntikan yang sangat ditakutinya, mereka akhirnya kembali pulang. Di dalam mobil, suasana sunyi menyelimuti, dan Ni-ki hanya duduk diam di samping Heeseung, menatap kosong ke luar jendela. Ia merasa hampa dan ingin mogok bicara, seolah kata-kata tidak lagi memiliki arti.
Heeseung mencuri pandang ke arah Ni-ki, khawatir melihat adiknya begitu terpukul. “Ni-ki baik-baik saja?” tanyanya pelan, namun Ni-ki hanya mengangkat bahu tanpa menjawab. Sunghoon dan Jake di kursi belakang saling melirik, tidak tahu bagaimana cara membujuknya.
Ketegangan di dalam mobil terasa sangat menyesakkan. Ni-ki mengabaikan perhatian yang ditunjukkan oleh kakak-kakaknya, memilih untuk terbenam dalam pikirannya sendiri. Ia merasakan kekecewaan dan kemarahan yang terus membara, semua berkisar pada perasaannya yang tidak dipahami oleh orang-orang di sekelilingnya. "Apa aku satu-satunya yang merasakan semua ini?" pikirnya, membayangkan betapa enaknya hidup tanpa semua tekanan dan rasa takut.
to be continue
22 Oktober 2024Thank you for your vote 🫶
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG | ON GOING
FanfictionTujuh bersaudara tinggal dalam satu rumah, tetapi masing-masing menyimpan luka batin yang tidak terlihat. Mereka tumbuh dengan cara yang berbeda dalam menghadapi tuntutan dan harapan dari keluarga. Kakak tertua merasa harus selalu sempurna, yang lai...