6

239 44 3
                                    

Ni-ki meringis, matanya berkaca-kaca saat merasakan nyeri dari tangan yang diinfus. Kulit di sekitarnya tampak sedikit bengkak, dan perih yang menjalar membuatnya tak bisa menahan air mata. Heeseung yang duduk di samping tempat tidur segera menyadari perubahan ekspresi adiknya. Dengan lembut, ia mengusap kepala Ni-ki, memberikan rasa tenang di tengah ketidaknyamanan itu. "Sakitnya sebentar lagi hilang, kok," ucap Heeseung, mencoba mengalihkan perhatian Ni-ki dari rasa nyerinya.



"Mau Bunda, Hyung," suara Ni-ki terdengar lemah, diselingi isakan kecil yang membuat Heeseung terenyuh. Heeseung tersenyum tipis, meski hatinya ikut sedih melihat keadaan Ni-ki yang begitu rapuh. "Bunda sebentar lagi datang, Niki. Sekarang istirahat saja ya, biar cepat sembuh," bisik Heeseung, mencoba menenangkan. Ia tetap menggenggam tangan Ni-ki, memastikan adiknya tidak merasa sendirian. Perlahan, Ni-ki memejamkan mata, masih terisak namun merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran Heeseung di sisinya.


Sesekali Ni-ki menggeliat tak nyaman, merasakan nyeri yang datang silih berganti. Heeseung terus berusaha menenangkan, mengusap lembut rambut adiknya sambil berbisik, "Hyung ada di sini, jangan takut." Namun, sesakit apa pun ia coba tahan, tangis Ni-ki tetap pecah lagi. Tangannya gemetar saat ia berusaha menahan air mata yang terus mengalir, perasaan rindu pada Bunda membuatnya semakin rapuh.


Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, dan sosok Bunda muncul dengan wajah penuh kekhawatiran. Melihatnya, Ni-ki langsung terisak semakin keras, merasa sedikit lega namun tak mampu menahan emosinya. "Bunda..." panggilnya lirih, suaranya parau dan penuh kerinduan. Bunda segera duduk di sisi Ni-ki, merengkuhnya dengan lembut. "Bunda di sini sayang. Jangan takut ya," ucapnya, mengusap lembut punggung Ni-ki. Kehangatan itu perlahan meredakan tangis Ni-ki, memberikan ketenangan yang membuatnya merasa aman.


Setelah memastikan posisi tidur Ni-ki nyaman, Heeseung berdiri pelan agar tidak membangunkannya. Ia menatap Bunda yang masih duduk di samping ranjang, wajahnya terlihat lega namun penuh keletihan. "Bun, dokter bilang barusan Ni-ki bisa pulang besok. Keadaannya tidak terlalu parah seperti sebelumnya," ucap Heeseung pelan, memberikan kabar yang sudah ia tunggu-tunggu.


Bunda menghela napas lega, senyum kecil terlukis di wajahnya. "Syukurlah... Berarti kita bisa lebih menjaganya di rumah," jawabnya dengan suara penuh harapan. Ia mengusap punggung tangan Ni-ki yang masih terinfus, merasa sedikit lebih tenang mendengar kabar baik itu. "Kamu juga sudah berbuat banyak untuk adikmu, Heeseung. Terima kasih sudah selalu menemani Ni-ki," lanjutnya sambil menatap Heeseung dengan penuh kebanggaan. Heeseung hanya tersenyum tipis, merasa semua kelelahan dan kekhawatirannya terbayar dengan kabar baik itu.


Heeseung tersenyum tipis mendengar ucapan Bundanya. "Bunda tidak perlu berterima kasih sama Heeseung, ini sudah kewajiban sebagai kakak tertua," katanya dengan nada tulus. Ia memang selalu berusaha menjadi sosok yang bisa diandalkan oleh adik-adiknya, terutama untuk Ni-ki yang saat ini membutuhkan banyak perhatian.


Bunda menatap Heeseung dengan penuh kasih, senyum lembutnya menghiasi wajah yang tampak lelah namun bahagia. "Bunda bersyukur memiliki Heeseung karena dapat diandalkan," ucapnya pelan sambil meraih tangan putra sulungnya dan menggenggamnya erat.


Tiba-tiba, pintu terbuka perlahan, dan Jay serta Jake masuk dengan ekspresi khawatir namun lega saat melihat Ni-ki yang tertidur dengan tenang. Mereka membawa beberapa kantong plastik berisi makanan dan minuman untuk Heeseung dan Bunda, yang sudah seharian menjaga Ni-ki tanpa henti.


"Kami bawain makanan, takut Bunda sama Hyung belum sempat makan," ujar Jay pelan sambil menyodorkan kantong-kantong itu. Jake mengangguk setuju sambil tersenyum, "Dan buat Heeseung Hyung, biar nggak pingsan juga." Heeseung tertawa kecil mendengar ucapan Jake, sementara Bunda menerima makanan itu dengan ucapan terima kasih yang tulus. Melihat ketiga kakaknya berkumpul di ruangan itu, suasana terasa lebih hangat. Mereka semua tahu, tidak ada yang lebih berarti daripada selalu saling mendukung, terutama di saat-saat sulit seperti ini.


Jay dan Jake duduk di kursi dekat ranjang Ni-ki, bergabung dengan Heeseung dan Bunda yang masih memperhatikan adik kecil mereka dengan penuh kasih. Jay menatap Ni-ki dengan lembut, lalu berbisik, “Syukurlah, dia sudah kelihatan lebih tenang sekarang.” Jake mengangguk, melemparkan pandangan lega ke arah Bunda dan Heeseung. "Dokter bilang Ni-ki bisa pulang besok, kan? Rasanya nggak enak kalau dia jauh dari rumah,” ucap Jake, senyum tipis terlihat di wajahnya.


Heeseung mengangguk, "Iya, dokter bilang kondisinya sudah jauh lebih baik," jawabnya. Bunda menatap ketiga putranya dengan perasaan bangga dan bahagia. Melihat mereka bersama-sama seperti ini membuatnya merasa bahwa keluarga mereka kuat dan penuh kasih.


Setelah beberapa saat, Ni-ki mulai menggeliat, kelopak matanya perlahan terbuka. Ia melihat sekeliling dengan pandangan yang masih lemah, namun begitu ia melihat wajah-wajah familiar di sisinya, senyum kecil muncul di bibirnya. "Hyung, kalian semua di sini?" tanyanya lirih, masih dalam suara yang lemah.


Jay dan Jake segera mendekat, dengan senyum hangat. "Tentu saja. Mana mungkin kami ninggalin kamu sendirian di sini," jawab Jay sambil mengacak rambut Ni-ki dengan lembut. Jake mengeluarkan sebotol air dan menawarkannya pada Ni-ki. "Minum dulu, Niki, biar lebih enak," katanya. Heeseung pun tersenyum, ikut merasakan kebahagiaan melihat Ni-ki mulai kembali ceria. Kehangatan yang mengalir di ruangan itu seolah memperkuat ikatan mereka. Bunda hanya bisa menghela napas lega, menyadari bahwa tak peduli seberapa sulit keadaan, mereka selalu punya satu sama lain untuk saling menguatkan.


Setelah meneguk beberapa teguk air, Ni-ki merasakan sedikit kesegaran. Meskipun lemah, senyumnya tak pudar ketika melihat keluarganya berkumpul di sekelilingnya. Jay dan Jake mulai bercerita tentang hal-hal lucu yang terjadi di luar, berusaha membuat Ni-ki tertawa agar suasana semakin ceria. Sesekali Heeseung menambahkan lelucon kecil, membuat Ni-ki terkikik pelan, meski harus menahan nyeri di tubuhnya.


Bunda duduk tenang, mengamati interaksi anak-anaknya dengan mata berkaca-kaca, merasakan betapa eratnya ikatan mereka. "Bunda bahagia melihat kalian selalu kompak," bisik Bunda, menyampaikan rasa syukur yang mendalam. Semua tertawa kecil, dan Ni-ki merasakan kehangatan yang mengalir di dalam dadanya. Di tengah keterbatasannya, ia tahu, selama keluarganya ada di sisinya, semua kesulitan terasa lebih ringan.


Ni-ki menatap wajah-wajah orang-orang yang paling ia cintai itu, dan ia merasa hatinya dikuatkan. “Ni-ki pasti bakal cepet sembuh kalau kalian terus di sini,” ucapnya lirih, matanya berkaca-kaca menahan haru. Jay, Jake, dan Heeseung saling berpandangan lalu tersenyum. Tanpa berkata-kata, mereka tahu bahwa dukungan mereka berarti segalanya untuk Ni-ki.


Jay meraih tangan Ni-ki dan menggenggamnya erat. “Kami bakal selalu di sini buat Ni-ki, sampai kapan pun,” ujar Jay dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan. Jake mengangguk setuju, menambahkan, “Jadi, jangan khawatir, ya. Fokus saja buat sembuh.” Heeseung mengusap kepala Ni-ki dengan penuh kasih, sementara Bunda memandang mereka semua dengan senyum hangat dan penuh cinta. Di tengah segala rasa sakit, Ni-ki merasa diberkati karena memiliki keluarga yang selalu mendukung dan mencintainya tanpa syarat.




to be continue
27 Oktober 2024




Thank you for your vote  🫶

tanpa syarat? ya? 😌

PULANG | ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang