Heeseung pulang larut malam dengan wajah pucat.
Langkahnya lambat saat memasuki rumah, matanya hampir tidak terbuka karena sibuk di siang hari dengan pekerjaan yang sangat melelahkan. Saat ini, jadwal waktunya selalu padat karena tekanan yang datang dari ayahnya. Sang Ayah tanpa henti menekannya untuk memenangkan tender yang akan sangat menguntungkan perusahaan mereka. Bebannya seakan menumpuk setiap kali dia diingatkan akan pentingnya proyek tersebut.Ia menghela nafas panjang, melirik jam dinding yang menunjukkan waktu sudah lewat tengah malam.
Meski tubuhnya ingin terjatuh di atas tempat tidur untuk menghilangkan kepenatannya, pikiran terus melayang ke dokumen tender yang belum selesai.
Sejenak, Heeseung memejamkan mata, berusaha dengan segenap pikirannya. “Aku harus bisa …” gumamnya lirih, meski rasa lelah di badan dan pikiran terus menghantui.Kepalanya terasa berat, namun gambaran ekspresi puas ayahnya jika berhasil memenangkan tender menjadi penyemangat Heeseung untuk terus bertahan.
Dia tahu betapa besar harapan yang diberikan ayahnya sejak awal, ketika dia ditunjuk sebagai penerus keluarga. Heeseung merasa tanggung jawab yang membebani dirinya setiap hari, ia tidak ingin mengecewakan, tidak hanya keluarganya, juga para karyawan yang bergantung pada perusahaan untuk hidupnya.Dengan pikiran yang masih kacau, ia mengeluarkan laptop dari tasnya, berniat mengecek proposal yang akan diajukan besok. Namun, tidak butuh waktu lama baginya untuk menyerah pada rasa kantuk yang hebat.
Dia tertidur di sofa, laptop terbuka di sebelahnya, wajahnya menunjukkan kelelahan yang tak terbaca.
Di balik beban yang begitu besar terdapat ketakutan akan tidak mampu memenuhi semua harapan. Namun, meski sedang tidur, pikiran Heeseung terus membuat rencana dan strategi. Sekali lagi, Heeseung membuktikan bahwa ia berjuang untuk mempertahankan perusahaan keluarganya, meski itu berarti mengorbankan kesehatan dan kebahagiaannya sendiri.Pagi harinya, Heeseung terbangun dengan rasa kaku di leher dan tubuh yang masih terasa berat. Sinar matahari yang menyusup melalui jendela membangunkannya, membuatnya sadar bahwa ia tertidur tanpa sempat berganti pakaian. Dengan perlahan, ia mengusap wajahnya yang masih kusut dan mengumpulkan kembali kesadarannya. Tapi belum sempat ia benar-benar terjaga, suara ponsel yang berdering keras membuat hatinya mencelos. Tanpa perlu melihat layar, ia tahu itu pasti panggilan dari sang ayah.
"Heeseung, kau sudah siap, kan? Rapat akan dimulai dalam dua jam lagi. Jangan lupa, kali ini kita harus memastikan proposal itu sempurna," suara ayahnya terdengar tegas di seberang telepon. Heeseung menarik napas panjang, mencoba mengenyahkan rasa lelah yang seolah masih melekat di setiap sudut tubuhnya. "Ya, Ayah. Aku siap," jawabnya, berusaha sekuat tenaga untuk terdengar tenang. Meskipun, dalam hatinya ia tahu, beban yang harus ia pikul hari ini akan semakin berat. Ini bukan hanya soal memenangkan tender, tapi juga membuktikan bahwa dirinya layak menjadi penerus yang diharapkan ayahnya.
Setelah memutuskan telepon, Heeseung merapikan dirinya secepat mungkin. Dalam diam, ia menatap cermin, melihat bayangan wajah yang semakin hari tampak semakin lelah dan penuh tekanan. Kali ini, ia benar-benar harus menyiapkan segalanya dengan sempurna—bukan hanya demi ayahnya, tapi juga demi harga dirinya sendiri. Saat menatap matanya yang tampak redup, ia mencoba mengingat masa-masa ketika pekerjaan ini masih terasa menyenangkan, saat setiap pencapaian kecilnya mendapat pujian dari sang ayah. Namun, seiring waktu, pujian itu berubah menjadi ekspektasi yang begitu besar hingga menelan semangatnya perlahan-lahan.
Heeseung tiba di kantor dengan langkah mantap, meski kepalanya masih terasa sedikit pusing. Beberapa kolega menyapanya, namun ia hanya membalas dengan senyum tipis, pikirannya sepenuhnya tertuju pada presentasi nanti. Ia mengatur berkas-berkas dan materi presentasi, memastikan setiap angka, grafik, dan data tertata rapi dan jelas. Saat detik-detik menjelang rapat semakin dekat, Heeseung memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. “Kau bisa melakukannya,” bisiknya pada dirinya sendiri, meski dalam hatinya keraguan tetap membayangi. Namun, ia tahu ini bukan saatnya untuk mundur; ia harus maju, apa pun yang terjadi.
Saat pintu ruang rapat terbuka, Heeseung melangkah masuk dengan tenang. Di dalam ruangan, ayahnya sudah menunggu bersama beberapa eksekutif senior perusahaan serta perwakilan dari pihak yang akan menjadi mitra jika tender ini berhasil dimenangkan. Heeseung merasakan tekanan semakin menguat saat tatapan penuh harap dari ayahnya bertemu dengan matanya. Berusaha menyembunyikan ketegangan yang terasa membebani pundaknya, ia mengangguk pelan kepada semua orang di ruangan dan berdiri di depan layar presentasi yang sudah disiapkan.
Sambil mengatur napas, Heeseung mulai memaparkan setiap detail rencana perusahaan, menjelaskan dengan percaya diri tentang bagaimana mereka bisa membawa keuntungan besar jika proyek ini jatuh ke tangan mereka. Suaranya mantap, namun detak jantungnya berdegup kencang seiring dengan setiap penjelasan yang ia berikan. Sesekali, ia melirik ayahnya, mencari tanda kepuasan di sana. Dan meskipun sulit, Heeseung berhasil melewati presentasi tanpa satu pun kesalahan besar. Ketika ia akhirnya selesai dan duduk kembali, ruangan hening sejenak sebelum tepuk tangan mulai terdengar. Namun, sorot mata ayahnya tetap serius, seakan menandakan bahwa kerja kerasnya hari ini hanyalah permulaan dari apa yang akan datang. Di satu sisi, Heeseung merasa lega, namun di sisi lain, ia sadar beban di pundaknya belum juga berkurang.
Setelah presentasi berakhir, Heeseung menyaksikan perwakilan mitra berdiskusi serius dengan ayah dan eksekutif perusahaan lainnya. Ia duduk sedikit menjauh, memberi ruang bagi ayahnya untuk melakukan negosiasi akhir. Meski ia berusaha tetap tenang, pikirannya penuh dengan kecemasan—apakah apa yang ia lakukan sudah cukup? Apakah usahanya hari ini akan membawa hasil seperti yang diharapkan? Di tengah lamunan, ia merasakan ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ni-ki yang mengingatkannya untuk makan siang, menyadari bahwa Heeseung mungkin sudah lupa waktu. Pesan sederhana itu memberinya sedikit kehangatan di tengah semua tekanan ini.
Beberapa saat kemudian, ayahnya memanggilnya ke samping, wajahnya terlihat lebih tenang. "Kau melakukannya dengan baik, Heeseung," ucap ayahnya, meski nadanya tetap serius. Meski pujian itu tidak diiringi dengan senyum hangat, bagi Heeseung, kata-kata itu cukup untuk membuat hatinya sedikit lega. "Teruslah seperti ini. Jika tender ini berhasil, kita akan menghadapi tantangan lebih besar ke depannya," tambah ayahnya, sebelum meninggalkannya untuk melanjutkan diskusi. Heeseung menghela napas panjang, merasa beban berat sedikit terangkat. Namun, ia juga sadar bahwa perjalanan ini masih panjang, dan ia akan terus hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi ayahnya—selalu berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengecewakan.
Selesai dari ruang rapat, Heeseung melangkah keluar dengan perasaan campur aduk. Kata-kata ayahnya tadi memang terdengar sebagai pujian, tapi sekaligus mengisyaratkan beban yang tak akan pernah berhenti. Saat berjalan di koridor, ia merasakan tubuhnya sedikit limbung, efek dari malam-malam panjang yang dihabiskan tanpa istirahat cukup demi mempersiapkan tender ini. Namun, ia tahu ia tak bisa menunjukkan kelemahan. Bagi ayahnya, kelemahan adalah sesuatu yang tak boleh ada dalam kamus keluarga mereka—terutama dalam urusan bisnis.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba Heeseung merasakan tepukan ringan di bahunya. Saat ia berbalik, ia melihat manajer timnya, seorang pria paruh baya yang sudah bekerja di perusahaan ini sejak Heeseung masih kecil. "Kau baik-baik saja, Heeseung?" tanyanya dengan sorot mata penuh perhatian. Heeseung mengangguk sambil tersenyum kecil, berusaha terlihat setenang mungkin. "Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih," jawabnya singkat. Namun, manajer itu hanya menatapnya dengan senyum paham, seolah tahu beban besar yang kini dipikulnya. "Ingat, kamu tak harus selalu kuat sendirian. Kami ada di sini untuk mendukungmu," ujar sang manajer, meninggalkan Heeseung dalam keheningan. Kata-kata itu menghantamnya lembut, mengingatkan bahwa di balik tuntutan dan ekspektasi, masih ada orang-orang yang peduli padanya, menginginkan ia tidak hanya menjadi pekerja keras, tapi juga seorang manusia yang menemukan keseimbangan hidupnya.
to be continue
31 Oktober 2024Thank you for your vote 🫶
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG | ON GOING
FanfictionTujuh bersaudara tinggal dalam satu rumah, tetapi masing-masing menyimpan luka batin yang tidak terlihat. Mereka tumbuh dengan cara yang berbeda dalam menghadapi tuntutan dan harapan dari keluarga. Kakak tertua merasa harus selalu sempurna, yang lai...