1

1.6K 93 18
                                    

Di hari Minggu pagi yang cerah, seharusnya menjadi momen yang tepat untuk bersantai dengan keluarga, berbagi cerita sambil menikmati teh hangat, dan biskuit manis sebagai pelengkap. Itulah yang dibayangkan oleh Heeseung—menikmati pagi yang tenang dan penuh kehangatan. Namun, kenyataannya berbeda jauh dari harapan. Pagi ini, adik bungsunya, Ni-ki, sudah merusuh sejak matahari belum sepenuhnya terbit, mengingatkan Heeseung tentang janji yang pernah ia ucapkan minggu lalu. “Minggu depan kita jalan-jalan ke mall, nanti Hyung belikan mainan untuk Ni-ki,” katanya waktu itu. Kini, Ni-ki dengan penuh semangat menuntut janji tersebut ditepati.



Heeseung menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan tenaga yang tersisa setelah seminggu penuh berkutat dengan aktivitas yang melelahkan. Ia menatap Ni-ki yang sudah berpakaian lengkap dan bersiap-siap seakan tak ingin memberi kesempatan bagi Heeseung untuk berdalih. “Hyung, cepat bangun! Kita kan mau ke mall!” seru Ni-ki sambil menarik selimut dari tubuh Heeseung dengan penuh antusias. Heeseung hanya bisa tersenyum kecil, lalu bangkit dengan enggan dari tempat tidur. Tak ada pilihan lain—sepertinya, Minggu pagi yang tenang memang harus ditunda dulu.


Ni-ki duduk di sofa ruang tamu dengan tangan terlipat, kakinya menggoyang-goyang tak sabar. Sesekali ia mendumel, mengeluh tentang betapa lama Heeseung bersiap-siap di kamar. Jay, yang baru saja muncul dengan mata masih setengah terpejam, terkejut melihat adik bungsunya sudah berpakaian rapi. Ia mengusap wajahnya, mencoba memastikan ini bukan mimpi. “Mau ke mana, Dek?” tanyanya sambil menghampiri dan duduk di sebelah Ni-ki. 



“Mau ke mall sama Hyung-nya Jay Hyung,” jawab Ni-ki santai, sama sekali tak peduli dengan struktur kalimatnya yang berantakan. Jay mengernyit, otaknya berusaha keras memproses kalimat itu, tetapi tetap gagal menemukan logikanya. “Hyung-nya... Jay Hyung?” ulang Jay, seolah berharap kalimat itu jadi lebih masuk akal kalau diucapkan ulang. Namun, pikirannya tetap buntu. Sementara itu, Ni-ki hanya memutar matanya malas, tak ingin repot-repot menjelaskan. “Iya, pokoknya gitu,” balas Ni-ki dengan nada acuh, membuat Jay semakin bingung.


Heeseung akhirnya muncul dari kamarnya dengan ekspresi tak berdosa, rambutnya masih sedikit acak-acakan meski sudah berusaha terlihat rapi. Begitu melihat Heeseung, Jay langsung tersadar dari kebingungannya. “Oh, Heeseung Hyung! Jadi itu maksudnya!” seru Jay dengan heboh sambil bertepuk tangan seperti menemukan pencerahan besar. Heeseung menatap adiknya dengan pandangan ngeri, seolah Jay baru saja melakukan sesuatu yang benar-benar absurd.



“Yuk, Dek, kita tinggalkan Jay Hyung. Sepertinya dia kumat lagi,” gumam Heeseung sambil meraih tangan Ni-ki dan membimbingnya menuju pintu. Tanpa menoleh, mereka berdua meninggalkan Jay yang masih asyik dalam euforianya, seakan menyelesaikan teka-teki paling rumit di dunia. Jay hanya bisa tertawa sendiri, merasa puas dengan pemikirannya, sementara Heeseung dan Ni-ki sudah melangkah keluar, siap memulai petualangan pagi mereka di mall.


Tersadar bahwa ia ditinggal, Jay segera menggerutu dengan suara menggelegar. “Heeseung Hyung, ikut!” teriaknya, suaranya menggema di seluruh rumah besar itu. Teriakan Jay langsung mengundang kemarahan dari Jake, yang sedang menikmati sarapan dan tersedak karena kaget. “Jay, sialan!” bentaknya, wajahnya memerah seakan sudah kehilangan kesabaran.



Sementara itu, di sudut lain, Sunghoon hanya bisa menghela napas pelan, bergumam dengan nada lelah, “Ini rumah atau kebun binatang?” Ia menggelengkan kepala, sudah terbiasa dengan keributan yang ditimbulkan oleh kedua saudaranya itu. Semua suara yang berisik itu hanya menambah kebisingan pagi yang seharusnya tenang. Jay tetap bersikeras, mencoba meraih perhatian Heeseung yang sudah melangkah jauh, dan suasana di rumah seakan berubah menjadi arena sirkus yang tak terduga.


Tak sampai di situ, Jay berhasil menyusul Heeseung dan Ni-ki yang baru akan masuk ke mobil. “Hyung, ikut!” teriak Jay dengan semangat, membuat Ni-ki menoleh dengan rasa penasaran. Heeseung menggelengkan kepalanya dengan tegas, wajahnya tampak penuh kekesalan. Melihat penampilan Jay yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek, bahkan belum sempat mencuci muka, membuatnya merasa malu.



“Lihatlah dirimu, Jay! Bisa-bisa Hyung jadi malu gara-gara tingkahmu yang bahkan lebih kekanak-kanakan daripada Ni-ki!” Heeseung mengeluh sambil menatap Jay dengan ekspresi campur aduk antara jengkel dan geli. Namun, melihat ketulusan dan kegembiraan di wajah Jay, Heeseung tahu bahwa ia tak bisa sepenuhnya menolak. Dalam hati, ia merasa lucu sekaligus frustasi; adiknya memang selalu punya cara untuk membuat suasana menjadi lebih hidup, meskipun itu sering kali membuatnya merasa lebih seperti pengasuh daripada kakak.


“Hyung tunggu sepuluh menit! Lewat dari itu, kami tinggal,” tegas Heeseung, mencoba memberi batas waktu yang jelas untuk Jay. Mendengar itu, semangat Jay langsung melonjak. Ia segera berlari masuk ke rumah, berusaha bersiap secepat mungkin. Namun, saking semangatnya, ia sempat tersandung di ambang pintu, membuat Heeseung dan Ni-ki tidak bisa menahan tawa.


Setelah beberapa menit, Jay akhirnya kembali dengan penampilan yang lebih rapi, mengenakan kaos bersih dan celana panjang. Namun, Ni-ki tetap skeptis. Ia merasakan bau parfum Jay yang sangat menyengat hingga menusuk hidungnya, dan berspekulasi bahwa Jay mungkin menggunakan parfum itu untuk menyamarkan bau badannya. Pemikiran konyol ini membuat Ni-ki tertawa terbahak-bahak.



Mendengar tawa Ni-ki, Heeseung dan Jay menoleh, penasaran dengan apa yang membuat Ni-ki tertawa tanpa henti. “Kenapa tertawa, Ki?” tanya Heeseung, sambil menyeringai melihat adiknya yang terpingkal-pingkal. Jay, yang merasa terancam dengan ejekan itu, mengerutkan dahi. “Eh, kenapa? Aku kan sudah rapi!” protesnya, tapi hanya membuat Ni-ki semakin tergelak. Suasana menjadi semakin ceria, dan Heeseung tidak bisa menahan senyumnya melihat kedua adiknya bersenang-senang meski dalam situasi yang konyol.


“Hyung, jangan lupakan kami!” seru Sunoo sambil mendekat, diikuti Jungwon yang berjalan di belakangnya. Senyum Heeseung seketika luntur, tergantikan dengan ekspresi kepasrahan. Matanya melirik ke arah dompetnya yang sudah mulai menipis, dan ia merasakan momen miris di hatinya.



“Baiklah, kalian juga ikut,” jawabnya dengan nada setengah hati, meskipun ia tahu itu berarti pengeluaran yang jauh lebih besar dari yang direncanakannya. Sunoo dan Jungwon saling berpandangan dengan senyum lebar, seolah mereka baru saja memenangkan lotere. Ni-ki, yang masih terpingkal-pingkal, ikut tertawa melihat reaksi Heeseung yang sudah bisa diprediksi. Dengan banyaknya anggota keluarga yang ikut, perjalanan ke mall kali ini sepertinya akan menjadi petualangan yang lebih besar dan lebih riuh daripada yang dia bayangkan sebelumnya.

____________________________________________________________

“Lihatlah mereka semua, sangat kompak,” kata Jake sambil berdiri di samping Sunghoon, yang hanya termenung melihat ke depan, memperhatikan keributan di luar. “Mereka semua bodoh, kecuali Ni-ki,” Sunghoon menimpali dengan nada datar. Tawa Jake akhirnya pecah, sudah lelah ia menahan tawa sedari tadi. “Bahkan Ni-ki lebih pintar daripada Heeseung Hyung!” tambahnya sambil menepuk bahu Sunghoon, yang hanya mengangguk setuju.



Sunghoon melangkah mendekati kerumunan saudaranya, diikuti oleh Jake yang terlihat senyam-senyum sendiri, menikmati suasana riang itu. “Kalian mau ke mana?” tanya Sunghoon dengan nada datar, tanpa ekspresi. Jay menjawab dengan semangat penuh, “Mau jalan ke mall! Kalian mau ikut? Ayo cepat, jangan lama-lama!” seru Jay, namun Sunghoon hanya menghela napas berat.



Tiba-tiba, Ni-ki yang cepat sadar dengan situasi itu berlari masuk ke rumah sambil tertawa heboh menuju kamarnya. Melihat itu, Heeseung semakin bingung. “Kenapa dengan Ni-ki?” pikirnya, merasa ada yang aneh dengan adiknya.


Sunghoon, yang sudah jengah melihat semua keributan ini, melangkah mendekati Heeseung dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Seketika, mata Heeseung terbuka lebar, menyadari suatu hal yang telah diabaikannya. “Ni-ki!” teriaknya dengan suara keras, urat lehernya terlihat jelas, mengindikasikan betapa kesalnya ia saat ini.







to be continue
21 Oktober 2024


selamat datang di area Ni-ki bokem 🫠

chapter ini buat pemanasan dulu 🤣
semoga suka 👍

Thank you for your vote


PULANG | END ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang