3

268 41 7
                                    

Ni-ki masuk ke rumah dengan wajah cemberut, langsung melemparkan tubuhnya ke sofa tanpa sepatah kata pun. Sunghoon yang baru saja masuk, menyusul dan duduk di sebelahnya. "Jangan cemberut seperti itu, Ki. Kasihan Heeseung Hyung, dia hanya menjalankan apa yang disuruh sama Bunda," kata Sunghoon lembut, berusaha meredakan ketegangan. Namun, Ni-ki tetap diam, ekspresi merajuknya masih terpampang jelas.



Sunghoon menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan nada sabar, "Misalkan Ni-ki nggak check up bulan ini, Heeseung Hyung yang bakal dimarahi Ayah dan Bunda. Ni-ki nggak mau kan Hyung dimarahi karena hal ini?" Sunghoon tahu, Ni-ki mungkin belum sepenuhnya mengerti. Dia masih terlalu kecil untuk memahami alasan di balik kekhawatiran keluarganya, tapi Sunghoon yakin, suatu hari Ni-ki akan mengerti bahwa semua ini demi kebaikannya.



Ni-ki menundukkan kepala, bibirnya mengerucut lebih dalam, menandakan ia sedang berperang dengan pikirannya. Dia tahu Heeseung sangat peduli padanya, tapi rasanya lelah selalu diatur-atur, apalagi ketika semua orang di rumah seakan terlalu protektif. "Tapi Sunghoon Hyung, Ni-ki capek terus-terusan kayak gini. Ni-ki bisa jaga diri kok, nggak perlu selalu dipantau," gumam Ni-ki akhirnya, suaranya kecil tapi penuh rasa frustasi.



Sunghoon tersenyum tipis, lalu meletakkan tangannya di kepala Ni-ki, mengusap pelan. "Hyung tahu Ni-ki capek, tapi kami semua sayang sama kamu, Ki. Kami cuma mau memastikan Ni-ki baik-baik saja. Kadang kamu harus percaya kalau yang kita lakukan ini bukan buat mengatur hidup Ni-ki, tapi untuk menjaga." Sunghoon menatap adiknya dengan lembut, berharap Ni-ki bisa merasakan ketulusan di balik setiap aturan yang mereka berlakukan. "Lagipula, kalau Heeseung Hyung sampai dimarahi, dia bisa kesal seharian sama kita berdua," tambah Sunghoon dengan nada bercanda, berharap bisa membuat Ni-ki tersenyum kembali.



Ni-ki mendongak perlahan, matanya masih sedikit murung, tapi sudut bibirnya mulai bergerak, nyaris tersenyum. "Heeseung Hyung memang suka lebay kalau sudah dimarahi," balasnya pelan, sedikit geli membayangkan ekspresi kakaknya yang selalu dramatis setiap kena teguran dari orang tua. Meski begitu, rasa kesal dalam dirinya belum sepenuhnya hilang. "Tapi... Ni-ki tetep nggak suka, Hyung. Ni-ki pengen punya ruang buat diri sendiri, nggak harus selalu diawasi setiap saat."



Sunghoon mengangguk, memahami apa yang dirasakan adiknya. "Hyung ngerti, Ki. Semua orang butuh ruang pribadi, bahkan kami pun kadang butuh waktu buat sendiri. Tapi, coba Ni-ki lihat dari sudut pandang Hyung dan lainnya. Kalau sesuatu terjadi sama Ni-ki, kami nggak bakal bisa maafin diri sendiri." Sunghoon merendahkan suaranya, kini serius. "Dan terkadang, rasa sayang itu bikin kita sedikit berlebihan."



Ni-ki terdiam, menatap lurus ke depan tanpa berkata apa-apa. Ucapan Sunghoon meresap perlahan ke dalam hatinya, menyisakan perasaan hangat yang sulit dijelaskan. Ia tahu kakak-kakaknya tidak bermaksud mengontrol setiap geraknya, tapi rasa frustrasinya kadang membuatnya lupa akan hal itu. "Ni-ki ngerti, Hyung," gumamnya pelan, suaranya lebih tenang sekarang.



Sunghoon tersenyum lembut, melihat perubahan kecil di diri adiknya. "Kami percaya kok, Ki. Tapi kepercayaan itu harus dibangun pelan-pelan. Ni-ki juga harus buktikan kalau bisa jaga diri sendiri. Sampai saat itu tiba, izinkan kami tetap menjaga Ni-ki dengan cara kami." Dia menepuk bahu Ni-ki pelan, memberi dukungan. "Satu hari nanti, Ni-ki akan mengerti sepenuhnya kenapa kami semua bertindak seperti ini. Sampai saat itu, terima kasih sudah berusaha memahami." Ni-ki akhirnya tersenyum tipis, meskipun perasaan campur aduk masih tersisa di dadanya.



Ni-ki menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Perasaan kesal yang semula mendominasi mulai mereda, digantikan dengan pemahaman yang tumbuh di antara kata-kata Sunghoon. "Baiklah, Hyung. Ni-ki akan coba buat mengerti," ucapnya, meski ada sedikit nada enggan di suaranya. Tapi kali ini, ia tahu kakaknya tidak bermaksud memaksa, melainkan berusaha melindunginya dengan cara yang mereka anggap benar.



Sunghoon tersenyum lebar, lega melihat Ni-ki mulai melunak. "Itu baru adik Hyung yang hebat," katanya dengan nada bercanda, sambil menepuk kepala Ni-ki sekali lagi. "Bagaimana kalau kita tonton film sekarang? Biar Ni-ki nggak kepikiran soal check up dan Heeseung Hyung yang dramatis." Ni-ki mengangguk kecil, senyum tipisnya perlahan muncul. Walau masih ada perasaan tidak nyaman, setidaknya hari ini, ia bisa menikmati momen bersama Sunghoon tanpa beban pikiran terlalu banyak.



Sementara itu, Heeseung yang berdiri di pintu ruang tamu tak jauh dari mereka, tak bisa menahan tawa. Ia menguping pembicaraan Sunghoon dan Ni-ki, mendengar semua keluh kesah adik bungsunya yang terdengar lucu baginya.

____________________________________________________________

flashback

Masih jelas di ingatan Heeseung saat itu, ketika Ni-ki baru saja lahir, kebahagiaan yang mereka rasakan begitu singkat. Dokter datang membawa kabar mengejutkan bahwa Ni-ki didiagnosis dengan SCID, sebuah infeksi serius yang menyerang daya tahan tubuhnya. Segala macam upaya telah dilakukan oleh keluarga mereka, namun karena Ni-ki masih terlalu dini untuk menerima perawatan yang diperlukan, mereka hanya bisa memantau kondisinya dengan sangat ketat. Rasa khawatir selalu mengiringi setiap detik kebersamaan mereka, tak pernah tahu kapan situasi akan memburuk.



Keadaan semakin memburuk saat Ni-ki memasuki usia satu tahun. Kondisinya menuntut perawatan lebih intensif, hingga kini ia harus menjalani check-up setiap bulan dan mengikuti homeschooling. Mereka harus menjaga Ni-ki dari paparan luar yang bisa memperburuk kesehatannya. Meskipun Heeseung dan keluarga terus berjuang demi kesehatan Ni-ki, rasa takut akan hal-hal tak terduga selalu menghantui, seolah bayang-bayang penyakit itu tak pernah benar-benar pergi.



Heeseung tak pernah lupa malam-malam panjang di mana dia terjaga, mendengar suara monitor kesehatan yang berdetak pelan di sebelah ranjang Ni-ki. Setiap desahan napas adiknya seakan menjadi pengingat bahwa waktu yang mereka miliki sangat berharga, namun juga rapuh. Dokter selalu mengingatkan mereka akan pentingnya menjaga lingkungan Ni-ki tetap steril, membuat keluarga harus lebih hati-hati dalam setiap langkah. Namun, seiring berjalannya waktu, Ni-ki tumbuh dengan semangat yang luar biasa, meski tubuhnya rapuh. Heeseung tak pernah berhenti kagum melihat kekuatan adiknya yang tak pernah menyerah, bahkan ketika penyakit itu terus menggerogoti kesehatannya.




to be continue
23 Oktober 2024




Thank you for your vote 🫶

PULANG | ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang