Saat itu mereka sekeluarga sedang berkumpul di ruang tamu. Suasana hangat dan santai, penuh tawa dan canda antar saudara, tiba-tiba terpecah ketika sang ayah menyeletuk, "Jay, kamu kapan bisa seperti Heeseung? Lihat dia, bekerja keras siang malam dan memenangkan banyak tender. Itu baru namanya anak yang bertanggung jawab."
Seisi ruangan mendadak sunyi. Jay, yang tadinya sedang tertawa bersama saudara-saudaranya, langsung terdiam. Rasanya dadanya sesak, tapi ia bingung harus berkata apa. Ia sudah terbiasa dengan perbandingan ini, namun setiap kali, luka itu tetap terasa.
"Ayah, Jay kan sudah bilang dari dulu," ujarnya pelan, menahan nada suaranya agar tetap tenang. "Jay nggak terlalu bisa di bisnis. Jay lebih suka hal-hal yang berhubungan dengan seni." Ia menunduk, menghindari tatapan ayahnya yang tajam. Namun sang ayah hanya menggeleng, seolah tidak puas dengan jawabannya. "Seni? Seni itu tidak menjamin masa depan, Jay. Kamu sudah besar, seharusnya bisa lebih serius memikirkan kehidupanmu. Heeseung juga dulu suka seni, tapi lihat sekarang, dia sudah bisa membuktikan diri."
Jay tidak ingin berdebat. Sebagian hatinya ingin sekali menjelaskan, ingin didengar. Namun, setiap kata yang ia keluarkan selalu terasa tidak cukup di hadapan ayahnya. Tatapan kosongnya beralih ke Heeseung yang tampak menunduk, seolah-olah tak ingin terlibat. Saudara-saudaranya yang lain hanya terdiam, merasakan atmosfer ruangan yang berubah berat. Mungkin mereka memahami Jay, atau mungkin mereka juga hanya takut memberikan tanggapan.
Dengan menarik napas panjang, Jay akhirnya memilih berdiri dari tempat duduknya. "Maaf, Ayah," katanya lirih sebelum beranjak keluar, meninggalkan ruang tamu dengan hati yang susah untuk dijelaskan. Bukan marah, tapi lebih karena kecewa—kecewa karena ia tidak pernah dianggap cukup baik dengan jalan hidupnya sendiri.
Jay keluar dari ruang tamu, berjalan perlahan menuju teras rumah. Malam itu begitu sunyi, hanya suara angin dan gemerisik dedaunan yang menemani. Jay duduk di tangga teras, memandang langit malam, berharap keheningan ini bisa sedikit meredakan gejolak di hatinya. Tak lama kemudian, pintu di belakangnya berderit terbuka, dan Heeseung keluar, menghampirinya. Jay menoleh sekilas, lalu kembali memandangi bintang-bintang.
"Jay, kamu nggak apa-apa?" tanya Heeseung pelan, duduk di sampingnya. Jay menghela napas panjang, lalu tersenyum pahit. "Iya, sudah biasa, kok. Rasanya ini bukan pertama kalinya," jawab Jay, mencoba terdengar tenang. "Kayaknya apa pun yang Jay lakukan nggak pernah cukup, ya? Ayah selalu melihat sebagai anak yang nggak punya tujuan hidup."
Heeseung mengangguk pelan. "Hyung paham, Jay," katanya dengan suara penuh pengertian. "Kadang juga merasa terjebak dalam ekspektasi Ayah. Meski kelihatannya Hyung berhasil memenuhi semua yang Ayah inginkan, sebenarnya ini juga melelahkan." Jay menatap Heeseung, sedikit terkejut. Ia tidak pernah menduga Heeseung, yang selalu terlihat kuat dan sukses, merasakan hal yang sama.
"Hyung cuma mau bilang," lanjut Heeseung sambil menatap Jay. "Hyung bangga sama Jay, punya keberanian untuk tetap mempertahankan apa yang kamu suka, meskipun Ayah sering menekan. Itu nggak mudah, Jay. Hyung bahkan nggak yakin bisa sekuat kamu."
Jay tersenyum tipis, perasaan hangat perlahan menggantikan rasa sakit di hatinya. Mendengar dukungan dari Heeseung, saudara yang selama ini ia anggap sempurna, membuatnya merasa dihargai. "Terima kasih, Hyung," gumam Jay, perlahan merasa bebannya berkurang. "Mungkin Jay memang bukan anak yang Ayah inginkan. Tapi, Jay akan tetap jadi diri sendiri. Karena hanya itu yang Jay tahu, dan mungkin hanya itu yang bisa dilakukan."
Heeseung mengangguk dan merangkul pundak Jay erat. "Dan Heeseung Hyung akan selalu mendukungmu Jay. Biar Ayah mungkin nggak mengerti, tapi kita ini saudara. Jadi, apa pun yang kamu pilih, Hyung ada di sini."
Dalam heningnya malam itu, mereka berdua saling menguatkan tanpa perlu banyak kata. Meskipun jalan yang mereka tempuh berbeda, mereka saling memahami dan menerima. Tanpa disadari, dukungan ini menjadi pelipur lara yang selama ini Jay butuhkan. Dan untuk pertama kalinya, Jay merasa bahwa dirinya diterima apa adanya.
Jay baru saja akan berbaring di ranjang ketika terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya. Ia mengernyit heran, sudah hampir tengah malam, dan biasanya semua orang sudah tidur. Dengan langkah ragu, ia membuka pintu, dan betapa terkejutnya ia saat melihat siapa yang berdiri di sana—sang ayah. "Ada apa, Ayah?" tanya Jay, mencoba menutupi rasa gugupnya. Ayah jarang datang ke kamarnya, apalagi di waktu larut seperti ini.
Tanpa sepatah kata, ayahnya menyerahkan beberapa lembar kertas ke tangannya. Jay melihat berkas-berkas itu dengan bingung; beberapa halaman tampak seperti dokumen bisnis yang penuh dengan angka dan istilah teknis yang asing baginya. "Pelajari ini, Jay," ujar sang ayah dengan nada yang tegas, tapi tidak semarah biasanya. "Ini dasar sekali. Kamu harus tahu setidaknya ini kalau mau lebih dewasa. Kalau bingung, tanya Heeseung."
Jay masih terdiam, memegang berkas-berkas itu sambil menatap ayahnya. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Setelah mengatakan itu, sang ayah langsung berbalik dan pergi tanpa menunggu respons darinya. Jay berdiri kaku di pintu, masih tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Di satu sisi, ia merasa ini adalah beban baru yang dipaksakan lagi oleh ayahnya. Namun di sisi lain, entah kenapa, ia juga merasakan sesuatu yang berbeda dalam kata-kata itu—ada nada harapan, seolah sang ayah memberinya kesempatan.
Kembali ke kamarnya, Jay duduk di tepi ranjang, membuka lembar demi lembar kertas di tangannya. Tulisan-tulisan dan angka-angka itu tidak mudah dimengerti, namun Jay merasakan sebuah dorongan baru di hatinya. Mungkin, ini cara ayahnya menunjukkan kepedulian—meskipun kaku dan jauh dari sempurna, ini mungkin cara sang ayah untuk membuka pintu komunikasi di antara mereka.
Tanpa ia sadari, Jay tersenyum kecil. Mungkin ia tak perlu terburu-buru mengubah dirinya sepenuhnya. Tapi kali ini, ia akan mencoba belajar, bukan untuk memenuhi ekspektasi siapa pun, tapi untuk menemukan keseimbangan antara keinginan dirinya dan harapan ayahnya.
Dengan tekad baru, Jay menghela napas panjang. "Baiklah, Ayah. Jay akan coba."
to be continue
10 NOV 2024Thank you for your vote 🫶🫶
maaf lama update 😭👍 sibuk banget soalnya
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG | ON GOING
FanfictionTujuh bersaudara tinggal dalam satu rumah, tetapi masing-masing menyimpan luka batin yang tidak terlihat. Mereka tumbuh dengan cara yang berbeda dalam menghadapi tuntutan dan harapan dari keluarga. Kakak tertua merasa harus selalu sempurna, yang lai...