Ni-ki melangkah keluar dari kamar, merasakan tenggorokannya yang kering dan haus. Saat ia menuju dapur untuk mengambil air, matanya tertuju pada Jungwon yang sedang naik ke atas. Meski sempat merasa kesal pada Jungwon, amarahnya itu sudah sirna. Ia tidak ingin terjebak dalam perasaan negatif terlalu lama. Dengan semangat yang ceria, Ni-ki bersiap untuk menyapa Hyung-nya, berharap bisa meredakan suasana hati yang tegang di antara mereka.
Saat mereka berpapasan di tangga, Ni-ki tersenyum lebar dan menyapa Jungwon dengan ramah. Namun, senyumnya tak dibalas oleh Jungwon, yang tampak menyimpan kemarahan di wajahnya. Ekspresi Jungwon terlihat muram, seolah menahan emosi yang siap keluar kapan saja.
Setelah selesai minum, Ni-ki melewati kamar Jungwon yang pintunya sedikit terbuka. Rasa penasaran membawanya untuk mengintip ke dalam. Ia melihat Jungwon terbaring di kasur, tatapannya kosong seolah menghilang dalam pikirannya sendiri. Melihat keadaan Jungwon yang tampak jauh dari biasanya membuat hati Ni-ki berdesir. Kecemasan mulai menghampirinya, dan tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk masuk ke dalam.
"Hyung, kenapa? Marah sama Ni-ki? Maaf ya?" suara Ni-ki terdengar pelan, hampir bergetar. Ia mendekat, ingin memastikan bahwa Jungwon baik-baik saja. Dalam hati, Ni-ki berharap Jungwon tidak benar-benar marah padanya. Ni-ki tahu betul betapa pentingnya menjaga hubungan baik di antara mereka, dan melihat Jungwon seperti itu membuatnya merasa semakin tidak nyaman. Ia ingin mendengar penjelasan dari Jungwon, berharap bisa mengangkat beban yang tampaknya membelenggu hyung-nya.
"Hyung tidak marah, Ki. Kembali ke kamar sana, ini sudah malam," kata Jungwon dengan nada cuek, membuat Ni-ki merasa sedih. Kata-kata Jungwon terasa seperti sebuah dinding yang memisahkan mereka, seolah ada jurang yang terbentang di antara keduanya. Meski Jungwon menyatakan tidak marah, sikapnya yang dingin membuat Ni-ki ragu dan khawatir. Dengan hati yang berat, Ni-ki pun berbalik dan melangkah keluar dari kamar Jungwon, merasakan kesedihan yang menyelimuti hatinya.
Ni-ki berusaha tidur, tetapi matanya tak kunjung terpejam. Pikiran tentang Jungwon yang melamun di kamarnya terus mengganggu. Apakah kejadian yang sebelumnya pernah terjadi kini terulang kembali?
Kedua orang tua mereka sangat menjaga Ni-ki dengan baik, bahkan terlalu berlebihan. Keduanya tidak segan-segan memarahi anak-anaknya yang lain jika merasa bahwa tindakan atau perkataan mereka menyakiti Ni-ki. Dalam keluarga, Ni-ki selalu dijaga seperti permata, dan ini membuatnya merasa terjebak di antara perlindungan yang berlebihan dan keinginannya untuk mandiri. Ni-ki tahu betul bahwa perhatian tersebut berasal dari cinta, tetapi terkadang ia merasa rindu akan kebebasan.
Lain halnya dengan Jungwon, yang bukan bermaksud untuk cuek atau kasar kepada Ni-ki. Ia merasa kesal ketika orang-orang di sekitarnya berlebihan dalam memperhatikan Ni-ki, seolah adiknya adalah satu-satunya yang pantas mendapatkan kasih sayang. Mungkin bisa dikatakan bahwa ia merasa iri, dan memang wajar mengingat perhatian yang ia terima berkurang drastis sejak Ni-ki lahir. Jungwon masih ingat dengan jelas saat-saat manis ketika ia dimanja dan diperhatikan dengan penuh kasih sayang, yang terakhir kali ia rasakan saat berusia tujuh tahun. Sejak kehadiran Ni-ki, semua pusat perhatian beralih kepada adik bungsunya yang lucu dan menggemaskan, meninggalkan Jungwon dalam bayang-bayang yang seolah semakin memudar.
Jungwon, yang saat itu masih sangat muda, dipaksa untuk mandiri dan menghadapi kenyataan bahwa dunia di sekelilingnya telah berubah. Perasaan terasing dan dikhianati mulai tumbuh dalam dirinya, terutama ketika ia melihat semua perhatian yang seharusnya bisa ia nikmati kini dialihkan kepada Ni-ki. Dalam lubuk hati Jungwon yang paling dalam, ada kerinduan yang mendalam untuk menukar tempatnya dengan Ni-ki, berharap bisa merasakan cinta dan perhatian yang tulus tanpa rasa bersalah. Namun, ia tahu bahwa ini adalah realitas yang harus ia terima, dan meski sulit, Jungwon berusaha untuk tetap mendukung adiknya meskipun hatinya merasa berat.
____________________________________________________________
Keesokan harinya, suasana di rumah tampak ramai dengan semua orang sibuk menjalani aktivitas masing-masing. Beberapa bersiap untuk berangkat bekerja, sekolah, dan kuliah, sementara Ni-ki terlihat santai, menunggu guru homeschooling yang akan datang ke rumah. Namun, saat mereka sedang sarapan bersama, tiba-tiba Ni-ki merasakan sesak napas dan terbatuk-batuk. Suara batuknya yang tiba-tiba membuat Heeseung, yang duduk di sampingnya, langsung panik. Ia tahu betul bahwa itu bisa menjadi gejala awal penyakit adiknya kambuh, dan rasa cemas mulai menghampiri dirinya.
Melihat kondisi Ni-ki yang semakin memburuk, ayah dan bunda juga tidak tinggal diam. Mereka segera panik dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Heeseung berusaha menenangkan Ni-ki, mencoba mengingatkan dirinya untuk tetap tenang meskipun Heeseung sendiri hatinya berdebar kencang. Dalam keadaan seperti itu, semua perhatian tertuju kepada Ni-ki, mengingat betapa rentannya Ni-ki terhadap kondisi kesehatan yang serius.
Heeseung dengan cepat meraih tangan Ni-ki, mencoba memberi dukungan sambil mengingatkan adiknya untuk bernapas perlahan. "Hyung ada di sini, Ki. Tarik napas dalam-dalam. Kita akan segera ke rumah sakit," kata Heeseung dengan suara lembut namun penuh kepanikan. Ni-ki berusaha mengikuti instruksinya, tetapi rasa sesak di dadanya semakin menyengat, membuatnya semakin sulit bernapas.
Di dalam mobil, suasana terasa tegang. Ni-ki duduk di kursi belakang, berusaha untuk tetap tenang sambil berusaha mengendalikan napasnya. Ayah menyetir dengan cepat namun hati-hati, mencoba menghindari kemacetan. Di tengah perjalanan, Heeseung terus berusaha memberi semangat kepada Ni-ki dengan berbicara lembut dan menyuruhnya untuk tetap fokus pada pernapasannya. "Kita sudah hampir sampai, Ki. Ni-ki pasti bisa melakukannya," katanya dengan suara meyakinkan.
Beberapa saat kemudian, setelah beberapa pemeriksaan awal, dokter memberi tahu bahwa Ni-ki harus dirawat dan diamati untuk memastikan kondisinya stabil. Meskipun ada rasa cemas yang menyelimuti keluarga, mereka merasa sedikit lega karena Ni-ki akan mendapatkan perawatan yang diperlukan. Di saat yang sama, Ni-ki merasa bersyukur atas perhatian dan kasih sayang yang diberikan keluarganya, meskipun ia berharap kejadian ini tidak akan terulang lagi di masa depan.
to be continue
25 Oktober 2024Thank you for your vote 🫶🫶
di book ini entah mengapa author gak bisa bikin panjang2 karena menguras energi & emosi 🥲 karena rasa "iri" dengan saudara kandung itu sangat relate yaa 😌👍
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG | ON GOING
FanfictionTujuh bersaudara tinggal dalam satu rumah, tetapi masing-masing menyimpan luka batin yang tidak terlihat. Mereka tumbuh dengan cara yang berbeda dalam menghadapi tuntutan dan harapan dari keluarga. Kakak tertua merasa harus selalu sempurna, yang lai...