"Kapan sih Ayah dan Bunda pulang?" tanya Ni-ki dengan wajah manyun, bibirnya dimajukan seperti bebek. Jay yang duduk di sampingnya tidak tahan melihat ekspresi itu. Tanpa berpikir panjang, tangannya langsung mencubit pipi Ni-ki dengan lumayan kuat. "Aduh, Hyung!" seru Ni-ki sambil merengut, tangan kecilnya langsung memegang pipinya yang kini memerah.
Jay tertawa kecil melihat reaksi adiknya. "Gemes banget sih kamu, Ki! Kayak bebek," godanya sambil menyengir. Namun, Ni-ki tidak terhibur. Ia memalingkan wajahnya dengan cemberut, "Kalau gemes, nggak usah nyakitin juga, dong!" Jay hanya menggelengkan kepala, masih tertawa melihat betapa menggemaskannya adiknya ketika marah.
Ni-ki terus memegangi pipinya, merengut semakin dalam. "Hyung jahat!" gerutunya, matanya menatap Jay dengan tatapan kesal. Jay mencoba menahan tawa yang hampir pecah, tapi gagal. Ia malah tertawa lebih keras, membuat Ni-ki semakin cemberut.
"Ya ampun, jangan marah dong," ujar Jay akhirnya, meraih bahu Ni-ki dan mengacak rambutnya. "Nanti kalau Ayah sama Bunda pulang, mereka bakal bawa oleh-oleh buat kita. Pasti Ni-ki langsung senang lagi," tambahnya, mencoba membujuk. Ni-ki mendengus, tapi matanya sedikit berbinar mendengar kata "oleh-oleh". Meski masih kesal, hatinya sedikit luluh. "Iya, tapi jangan cubit lagi!" balasnya tegas, membuat Jay tertawa lagi.
Setelah menunggu cukup lama, suara mobil masuk ke halaman rumah membuat keduanya tersadar. "Itu pasti Ayah dan Bunda!" seru Ni-ki dengan wajah ceria. Jay mengangguk, bersemangat mengikuti Ni-ki yang berlari menuju pintu.
Begitu pintu terbuka, Ayah dan Bunda muncul dengan senyuman lebar di wajah mereka, membawa tas belanja yang penuh oleh-oleh. "Halo, nak! Kami pulang!" sapa Bunda dengan hangat, sementara Ayah mengangkat satu tas, menunjukkan kepada Ni-ki. "Lihat ini! Kami bawa mainan baru untuk adek!" Ni-ki melompat kegirangan, melupakan sejenak semua keluhannya. "Yeay! Terima kasih, Ayah! Terima kasih, Bunda!" serunya dengan semangat. Jay tersenyum melihat adiknya yang kini ceria kembali.
Ni-ki segera meraih tas dari tangan Ayah dan membukanya dengan penuh antusias. Dari dalamnya, ia mengeluarkan boneka lucu berukuran besar dengan baju warna-warni. "Wah, boneka ini imut banget!" teriak Ni-ki, matanya berbinar penuh kegembiraan. Jay, yang ikut melihat, tidak dapat menahan tawa melihat reaksi adiknya. "Sekarang kamu bisa tidur dengan boneka itu setiap malam, Ki," ujarnya sambil mencubit pipi Ni-ki sekali lagi, membuatnya kembali cemberut.
Bunda lalu mengambil kotak kecil dari tas lainnya dan berkata, "Tunggu, ada satu lagi kejutan!" Ia membuka kotak tersebut dan mengeluarkan dua piring berisi kue favorit Ni-ki. "Kue cokelat! Ini untuk kita nikmati bersama setelah makan malam." Ni-ki melompat kegirangan lagi, melupakan semua kemarahan yang sempat ada. "Terima kasih, Bunda! Ini hari terbaik!" serunya.
Suara kegembiraan Ni-ki menarik perhatian Heeseung, Jake, Sunghoon, Sunoo, dan Jungwon yang baru turun dari lantai atas. Mereka saling memandang dengan rasa ingin tahu sebelum mendekati ruang tamu. "Ada apa ini? Kenapa suara Ni-ki bisa segitu kencangnya?" tanya Heeseung, mengernyitkan dahi sambil tersenyum.
Saat mereka memasuki ruang tamu, pemandangan menyenangkan menyambut mereka: Ni-ki yang ceria berlari-lari sambil memegang boneka barunya, dan Ayah serta Bunda yang tersenyum melihat kebahagiaan anak bungsu mereka. "Kami baru saja pulang dan bawa oleh-oleh!" kata Bunda dengan bangga, memperlihatkan kue-kue yang sudah siap disajikan. Sunghoon langsung menatap kue-kue tersebut dengan mata berbinar, sementara Jake, yang lebih sering bertindak sebagai penengah, mengangguk setuju. "Ayo kita semua makan bersama!" ajaknya, dan semua anggota keluarga berkumpul, siap untuk merayakan kebersamaan mereka dengan penuh tawa dan kebahagiaan.
Makan malam berlangsung meriah dengan suara tawa dan obrolan ringan. Namun, suasana hangat itu tiba-tiba terhenti saat Ayah, sang kepala keluarga, mengangkat bicara. "Heeseung, gimana pekerjaan di kantor? Lancar kan?" tanyanya dengan nada penuh perhatian. Heeseung hanya mengangguk, tanda bahwa semuanya berjalan baik. Keluarga mereka tahu betapa kerasnya Heeseung bekerja, dan mereka merasa bangga dengan dedikasinya.
Kemudian, perhatian Ayah beralih ke Ni-ki. "Ni-ki, gimana? Adek nggak mogok dari pemeriksaan tiap bulan kan?" Ni-ki merasakan perutnya bergetar saat semua mata tertuju padanya. Ia mengangguk ragu, khawatir jika satu dari Hyung-nya akan mengangkat bicara tentang insiden kemarin yang membuatnya merasa tertekan. Namun, sepertinya keberuntungan tidak berpihak pada Ni-ki malam itu, karena Jungwon dengan santai membocorkan semuanya. "Ni-ki sempat nggak mau, Bun, biasalah. Dia mengurung diri di kamar. Untung saja ada Heeseung Hyung yang berhasil membujuknya," ungkapnya dengan nada ringan.
Mendengar penjelasan Jungwon, Ni-ki merasa hatinya terbakar. Bukan hanya merasa tidak nyaman dengan situasi itu, tetapi juga karena orang tua mereka kini menatapnya dengan ekspresi tidak suka. Rasanya seperti dikhianati oleh Hyung-nya sendiri. “Ni-ki capek, mau tidur!” teriaknya, marah sambil menghentakkan kakinya menuju kamar, bahkan meninggalkan bonekanya di meja makan.
Suasana di meja makan tiba-tiba menjadi tegang setelah kepergian Ni-ki. Ayah dan Bunda saling berpandangan, khawatir dengan kondisi Ni-ki. "Jungwon, kenapa kamu harus bilang seperti itu? Kamu bisa berbicara dengan kami saat Ni-ki sudah tidur nanti," kata Bunda dengan nada lembut, berusaha meredakan ketegangan. Heeseung menatap Jungwon dengan serius, "Kita harus lebih sensitif dengan perasaannya. Dia masih butuh dukungan kita, terutama dalam masa-masa sulit. Jangan membuatnya merasa terpojok" Semua anggota keluarga mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan Heeseung.
“Jadi maksud kalian, Jungwon salah?” tanya Jungwon dengan nada tinggi, berusaha mempertahankan diri. Semua orang hanya diam, terlihat tidak menanggapi pertanyaannya. Keheningan itu terasa semakin berat, dan ia merasa semakin frustrasi. "Kalian semua terlalu memanjakan Ni-ki dan mengabaikan kesalahannya!" serunya sebelum bergegas menuju kamar, meninggalkan suasana yang sudah tegang menjadi lebih membingungkan.
to be continue
24 Oktober 2024Thank you for your vote 🫶
maaf, chapter ini sedikit banget. anggap aja pembukaan konflik 😆
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG | ON GOING
FanfictionTujuh bersaudara tinggal dalam satu rumah, tetapi masing-masing menyimpan luka batin yang tidak terlihat. Mereka tumbuh dengan cara yang berbeda dalam menghadapi tuntutan dan harapan dari keluarga. Kakak tertua merasa harus selalu sempurna, yang lai...