R'7

912 154 13
                                    

Happy Reading!

Aya tiba di rumah ketika matahari baru saja mulai merangkak ke langit, memberikan sinar hangat yang perlahan mengusir kegelapan malam. Namun, di dalam dirinya, Aya merasakan kelelahan yang begitu dalam. Hari-hari di rumah sakit sebagai seorang dokter selalu menyita energinya, tetapi kekhawatirannya tentang keluarga yang terus tumbuh membuat beban itu semakin berat. Rasa lelah fisik tampak lebih mudah diatasi dibandingkan dengan perasaan emosional yang menghantui pikirannya.

Aya menutup pintu dengan lembut dan melangkah masuk ke dalam rumah yang masih tenang. Kehangatan rumah biasanya menjadi pelipur lara bagi setiap keletihannya, tetapi belakangan ini, suasana di dalam rumah seolah terus bergelora dengan ketegangan yang tak kunjung usai. Saat ia memasuki dapur, pandangannya menyapu ruang yang sepi. Meskipun belum ada yang bangun, Aya memutuskan untuk memulai harinya dengan menyiapkan sarapan untuk keluarga.

Aya tahu bahwa malam ini ada acara penting yang akan diadakan oleh Tio. Itu adalah acara yang sudah lama direncanakan, dan sebagai istri, dia tahu bahwa banyak hal yang perlu dipersiapkan. Meskipun tubuhnya meminta untuk beristirahat, pikirannya tak bisa berhenti merencanakan apa yang perlu dilakukan. Dia harus memastikan bahwa rumah terlihat rapi dan dekorasi siap, terutama karena tamu-tamu penting akan datang.

Setelah selesai menyiapkan sarapan ia menuju ke kamarnya. Aya bisa melihat Tio yang sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja.

"maafin aku mas" ucap Aya pada Tio

"maafin aku juga, seharusnya aku ga bicara seperti itu sama kamu"

Aya menatap Tio dengan penuh kelegaan mendengar permintaan maaf suaminya. Dia tahu bahwa di balik ketegasan dan sikap kaku Tio, suaminya masih memiliki perasaan hangat yang tersimpan di dalam hati. Mereka sudah melewati banyak hal bersama sebagai pasangan, namun akhir-akhir ini jarak emosional antara mereka terasa semakin lebar. Tio seringkali terbawa suasana tegang ketika berurusan dengan anak-anak, terutama Yessa. Aya sadar bahwa Tio berusaha keras untuk menjadi ayah yang baik, tetapi caranya seringkali membuat ketegangan semakin memburuk.

Aya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih terasa berat.

"mungkin setelah acara nanti malam kita bisa bicara lagi sama Yessa" saran Aya

"kamu aja ya, aku takut emosi lagi kalo berurusan sama Yessa" tolak Tio

"mas...?" tanya Aya lagi

"hari ini, aku harus fokus ke acara dulu. Ada banyak orang penting yang akan datang, dan aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar"

"yaudah, bekel kamu ambil ya di meja makan, udah aku siapin"

"iya, makasih sayang"

Setelah mengantarkan Tio ke halaman rumah dan memastikannya berangkat, dia memutuskan untuk mengunjungi kamar putri sulungnya sebelum memulai persiapan acara.

Aya mengetuk pintu kamar Dira dengan lembut, tetapi tidak ada jawaban. Ia membuka pintu perlahan dan melihat Dira masih terbaring di tempat tidur, wajahnya tenggelam dalam bantal. Sekilas, Dira tampak tenang, tapi Aya tahu dari napas berat dan ketegangan di bahu putrinya bahwa ada banyak hal yang sedang dipikirkan.

Dira mengangkat wajahnya sedikit, sekadar menatap bundanya dengan tatapan mata yang sayu.

"apa Bunda nggak capek? Kok nggak istirahat dulu?" tanya Dira

"nggak kok, cici ada acara hari ini?"

"nggak Bun, Cici sengaja kosongin jadwal hari ini biar bisa bantu bunda siap-siap"

"loh emang gapapa? Nanti Papa marah sama kamu?" tanya Aya khawatir

"Dira juga udah izin kok Bun sama Papa"

Rumah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang