Happy Reading!
Setelah kejadian di taman, Dira merasa lelah secara emosional. Hubungan antara adik-adiknya, terutama antara Gracia dan Yessa, semakin memburuk setiap harinya. Kegelisahan ini terus mengusik pikirannya saat ia berjalan kembali menuju rumah, membawa beban berat yang tidak pernah ia tunjukkan di hadapan orang lain.
Di dalam rumah, suasana terasa semakin tegang. Dira bisa merasakan ada jarak yang kian lebar antara adik-adiknya. Sementara Yessa terus berada dalam pusaran masalahnya sendiri, Dira tahu benar bahwa sikap memberontak Yessa mungkin berakar dari kurangnya perhatian papah dan bunda mereka. Yessa selalu merasa terabaikan, dan dalam diam, Dira mengakui bahwa Ia mungkin turut berperan dalam rasa kesepian adiknya itu.
"dek, bisa kita bicara sebentar?" tanya Dira dengan nada pelan namun tegas yang berhasil menyusul Gracia.
Gracia yang baru saja masuk ke kamarnya, tampak tak ingin menanggapi. Namun setelah sejenak menghela napas, ia setuju. Mereka duduk di tepi ranjang.
"ci, kalo cici mau bahas Yessa lagi, aku cape, serius."
Dira mengangguk, mencoba memahami perasaan adiknya yang tampak jelas lelah dengan masalah ini. Namun ia tetap merasa perlu bicara.
"dek, cici nggak minta kamu setuju sama Yessa. Tapi kita ini keluarga. Nggak bisa terus-terusan kayak gini."
Gracia tampak tidak sabar.
"keluarga? Serius, Ci? Cici tahu kan kalau Yessa selalu nyusahin? Nggak pernah nurut, bikin masalah terus. Aku cape, Ci, harus selalu hadapin ini setiap hari."
Dira menatap Gracia dengan mata penuh harapan, lalu berkata dengan lembut,
"cici tahu, dek. Cici ngerti kamu capek. Tapi cici yakin, Yessa nggak begini tanpa alasan. Kamu masih inget dulu gimana kita waktu kecil? Kamu yang paling senang waktu Yessa lahir. Kamu yang kasih ide nama dia. Kamu yang selalu ada buat dia."
Mendengar itu, Gracia sedikit terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia mengingat betapa dulu ia dan Yesa begitu dekat, tak terpisahkan. Namun kini, jarak itu terasa begitu jauh, seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.
"aku nggak tahu, ci. Aku benci ngeliat dia sekarang. Kayak... kayak dia udah bukan adik yang aku kenal dulu," suara Gracia bergetar, akhirnya mengakui perasaannya yang selama ini ia pendam.
Dira menghela napas dalam-dalam.
"dek, Yessa masih adik kamu. Dia butuh kita, walaupun mungkin cara dia minta perhatian nggak benar. Yessa nggak dapet perhatian dari papah, dari bunda, dan mungkin dia nggak tahu harus gimana selain memberontak."
"kenapa selalu aku yang harus ngertiin, Ci?" Gracia mulai menangis, air matanya jatuh tanpa henti. "Kenapa aku harus selalu jadi yang dewasa? Padahal aku juga butuh diperhatiin!"
Dira tertegun. Baru kali ini Gracia menunjukkan sisi rentannya di hadapannya. Dira merasa bersalah, menyadari bahwa ia juga mungkin terlalu fokus pada Yessa dan tidak pernah memperhatikan Gracia sebaik mungkin.
"maaf, dek," ucap Dira akhirnya, suaranya parau menahan emosinya sendiri.
"cici juga nggak sempurna. Cici nggak tahu gimana caranya jadi kakak yang baik buat kalian. Tapi cici janji, cici bakal lebih adil ke kalian semua."
Gracia terdiam, lalu dengan suara kecil berkata,
"Aku cuman pengen cici nggak selalu mikirin Yessa aja. Cici juga harus perhatiin Zeey dan Christy."
Dira mengangguk, memahami lebih dalam perasaan Gracia. Mereka berdua terdiam, hanya suara tangisan Gracia yang perlahan mulai mereda.
~~~
![](https://img.wattpad.com/cover/377399887-288-k685450.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah?
FanfictionRumah itu apasih? Rumah bukan sekadar bangunan fisik, rumah adalah representasi dari semua yang kita cintai dan hargai dalam hidup. Ini adalah tempat di mana kenangan dibangun, di mana rasa aman ditemukan, dan di mana setiap orang dapat merasa diter...