R'5

1.2K 190 17
                                    

Happy Reading!

Setelah percakapan singkat itu, Aya melanjutkan aktivitasnya di dapur, dan Dira kembali duduk di ruang keluarga, menatap ponselnya yang masih tak menampilkan kabar dari Yessa. Pikirannya berputar-putar, mencari alasan di mana adiknya itu bisa berada selama ini. Kekhawatirannya makin bertambah setiap kali dia melihat jam dinding yang semakin malam. Dia tahu, jika papanya pulang dan menemukan Yessa belum ada di rumah, situasinya bisa menjadi lebih buruk.

Di lantai atas, Gracia duduk di depan meja belajarnya sambil mencoba fokus pada pekerjaan rumahnya, tetapi pikirannya juga teralih pada Yessa. Ia tahu, meskipun dirinya tampak lebih tenang dan tidak sekhawatir Dira, dalam hatinya ia juga penasaran di mana adiknya itu. Rasa frustrasi dan kelelahan karena situasi di rumah mereka yang sering kali tegang membuatnya lebih memilih menyendiri di kamarnya.

Christy, yang sudah berada di kamarnya bersama Zeey. Mereka tampak berbaring dengan ponsel di tangannya. Sesekali, dia melirik ke arah kakak kembarnya, yang masih diam membisu di atas ranjang.

"Zoy" panggil Christy pelan, berharap mendapatkan respons.

"hm?" jawab Zeey tanpa banyak emosi, masih memandangi langit-langit kamar.

"kamu nggak khawatir sama kak Yessa?"

Zeey mendecak kesal, lalu memiringkan tubuhnya sehingga ia tidak lagi menghadap Christy.

"kak Yessa itu keras kepala, jadi gak ada gunanya khawatirin dia" ucap Zeey pada Christy

Sebenarnya di balik sikap cueknya,  ada perasaan resah juga. Tapi dia menolak menunjukkannya, lebih memilih menyembunyikan semua kecemasannya di balik dinding ketidakpedulian yang dia bangun selama ini. Di satu sisi, Zeey memang menyayangi Yessa, tetapi di sisi lain, ada perasaan kesal yang sudah lama ia pendam. Zeey merasa Yessa selalu menjadi pusat perhatian, baik dari sisi positif maupun negatif, sementara dirinya dan Christy kerap terlupakan dalam bayang-bayang cici-cicinya itu.

~~~

Yang menjadi kekhawatiran Dira akhirnya tiba juga, terdengar mobil sang papah sudah terparkir di garasi rumah mereka. Tio masuk dengan langkah yang tegas dan wajah yang serius, melangkah masuk ke ruang tamu dan melepas dasinya, terlihat lelah setelah seharian bekerja.

"tumben disini ci" ucap papanya menyapa Dira

"eh, em iya pah. Lagi santai aja" jawab Dira berusaha tenang

"Yessa lagi?" tanya sang papah seolah-olah sudah tau apa yang menjadi kekhawatiran anak sulungnya itu

Dira menelan ludah. Meskipun ia tahu ini bukan salahnya, selalu ada rasa takut ketika harus melaporkan berita buruk soal Yessa pada papanya. Tio, dengan karakter yang tegas dan cenderung keras, selalu memiliki ekspektasi tinggi pada anak-anaknya. Ia bukan tipe orang yang suka kompromi, terutama soal disiplin dan tanggung jawab. Yessa, di sisi lain, adalah kebalikan dari semua itu, bebas, penuh tantangan, dan sering kali tak peduli aturan.

"iya pah" jawab Dira akhirnya

Tio menatap jam di dinding. Sudah hampir pukul delapan malam.

"sampai kapan dia mau terus kayak gini?" gumam Tio dengan nada rendah namun penuh penekanan, lebih pada dirinya sendiri daripada kepada Dira.

Ia beranjak menuju kursi di ruang tamu dan duduk dengan tangan terlipat di dada, ekspresinya keras dan matanya menatap lurus ke depan, seolah-olah mencoba menahan ledakan emosi yang sudah di ambang batas. Perasaan Dira semakin cemas ditambah ketika bundanya, Aya, sudah keluar dari dapur dan duduk di samping Tio, tampak ikut resah.

"papah harus gimana, ya? Anak itu selalu bikin masalah" keluh Tio tanpa menoleh pada istrinya.

Aya meletakkan tangannya di bahu suaminya, mencoba menenangkan.

Rumah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang