R'6

883 142 24
                                    

Happy Reading!

Yessa duduk di tepi ranjangnya, wajahnya tertunduk menatap lantai kamar. Flashback yang tadi muncul begitu jelas di benaknya seperti luka lama yang kembali terbuka. Dulu, dia hanyalah seorang anak kecil yang ingin diperhatikan, disayang, dan dianggap penting. Tapi seiring berjalannya waktu, ia semakin merasa tak terlihat. Kekecewaan demi kekecewaan yang kecil, seperti tidak dipedulikan ketika membawa pesawat kertas itu, akhirnya menumpuk dan berubah menjadi jurang pemisah antara dirinya dan keluarganya.

Di balik amarah yang membara, Yessa sadar bahwa di dalam dirinya ada luka yang tak pernah sembuh. Luka itu muncul bukan hanya karena satu kejadian, tapi bertahun-tahun merasa kurang dicintai atau dihargai dibandingkan saudara-saudaranya. Ia tumbuh dengan perasaan bahwa apapun yang ia lakukan, baik atau buruk, tidak pernah cukup untuk memenuhi ekspektasi keluarganya, terutama papahnya. Setiap kali ia mencoba untuk menjadi dirinya sendiri, ia merasa seperti dihakimi atau dianggap salah.

Yessa kemudian merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menatap kosong pada langit-langit kamar. Dalam keheningan itu, dia kembali mengingat bagaimana dia dulu selalu berusaha menonjolkan dirinya di depan papah dan bundanya, berharap bisa mendapatkan sedikit perhatian. Namun, setiap kali dia mencoba, hasilnya selalu sama—dia tetap merasa diabaikan, terutama ketika adik kembarnya selalu menjadi pusat perhatian. Dia mencintai mereka, tentu saja, tetapi ada rasa iri yang tak bisa dia bantah.

Terdengar suara ketukan pelan di pintu kamarnya. Yessa tidak langsung merespons, membiarkan ketukan itu berlanjut beberapa saat. Kemudian, suara lembut Bunda Dira terdengar dari luar.

"Yessa, boleh Cici masuk?" tanyanya hati-hati

Tanpa berkata apa-apa, Yessa berbalik menghadap ke dinding, menutupi wajahnya dengan bantal, tidak ingin Cicinya melihat air mata yang masih tersisa di pipinya.

Pintu kamar pelan-pelan terbuka, dan Dira masuk, melangkah hati-hati mendekati ranjang Yessa. Ia duduk di tepi ranjang, menunggu beberapa saat sebelum berbicara. Yessa tahu Dira ada di sana, tetapi ia tidak ingin memulai percakapan.

"maaf, kalau Cici nggak selalu bisa banyak bela kamu di depan Papah" suara Dira terdengar lirih, penuh penyesalan.

"tapi Cici selalu khawatir tentang kamu, dek. Cici mau kamu baik-baik saja"

Yessa mendengar kata-kata itu, tetapi tetap diam. Dira menghela napas sebelum melanjutkan.

"Papah keras kepala, kamu tahu itu" lanjut Dira

"Tapi dia sebenarnya hanya ingin yang terbaik buat kamu, sama seperti Bunda. Mereka berdua mungkin nggak selalu tahu cara menunjukkan itu dengan benar."

Yessa tetap berbaring di tempat tidur, memunggungi Dira. Meski hatinya bergejolak, dia merasa sulit untuk merespons. Kata-kata Dira yang penuh pengertian hanya membuat perasaannya semakin campur aduk. Dia tahu Cici mencoba, tapi bagi Yessa, semua penjelasan itu tidak bisa menghapus rasa sakit yang sudah terpendam begitu lama.

Dira duduk di sana, membiarkan keheningan melingkupi mereka. Ia tahu adiknya butuh waktu. Tidak ingin memaksakan percakapan, Dira hanya mengusap pelan punggung Yessa, sebuah gestur kehangatan dan dukungan, berharap adiknya merasakan kehadirannya.

"yaudah Cici keluar ya, Cici tau kamu lagi pengen sendiri. Kalo ada apa-apa ke kamar Cici ya? Cerita sama Cici ya sayang" ucap Dira sambil mengusap-usap kepala Yessa

Setelah mengucapkan itu, Yessa dapat mendengar suara decitan pintu yang tertutup. Setelahnya ia mengusap air matanya yang tadi mengalir deras. Yessa duduk dalam diam, matanya menatap lantai dengan tatapan kosong. Perasaannya campur aduk, seakan-akan hatinya sedang terbelah antara keraguan, kebingungan, dan kesepian yang tak bisa ia ungkapkan. Ia memeluk lututnya lebih erat, merasakan kehangatan tubuhnya sendiri, namun tetap ada rasa dingin yang menusuk jauh ke dalam hatinya.

Rumah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang