Aku meletakkan mangkuk yang kupegang ke atas meja lalu berdiri perlahan, tubuhku bergetar oleh berbagai emosi yang membanjiri diriku--marah, bingung, dan tidak percaya. Gerakanku membuat Julius dan Hans ikut berdiri, seolah bersiap menghadapi reaksi yang akan kuberikan.
Aku menatap Hans, sosok yang kini tidak bisa lagi kusebut asing. Semua potongan ingatan mulai tersambung, menampilkan perannya yang jelas dalam penculikanku. "Jadi... kau yang melakukannya?" tanyaku lagi, kali ini lebih tegas, meskipun suaraku bergetar. Dia hanya diam, bibirnya kaku tanpa ada tanda-tanda rasa bersalah.
Julius tampak memperhatikanku dengan tajam dengan tangan yang bersilang di dadanya, dan meski aku tahu bahwa dia penggerak utama semua ini, tatapan mataku tetap terfokus pada Hans. Tanpa berpikir lebih jauh, aku berjalan ke arahnya, kemudian tanganku terangkat dan melayang ke wajah Hans, membuat suara tamparan itu menggema di ruangan.
Hans terdiam, dia melirik ke arah Julius sekilas seraya mengangkat alisnya. Dia tidak berkata apa pun, seolah-olah tamparan itu hanya bagian kecil dari harga yang harus dia bayar untuk kesetiaannya pada Julius.
Aku mengalihkan pandangan ke Julius, menantang ekspresi dinginnya. Napasku masih memburu, sementara Julius hanya menatapku dengan tenang, seolah-olah menunggu reaksiku selanjutnya. Dia jelas menikmati semua ini.
"Lihat," Julius berbicara dengan nada dingin, menelusuri wajahku dengan tatapan yang membuatku semakin marah dan takut dalam waktu yang bersamaan. "Kemarahmu mungkin terasa benar bagimu sekarang, tapi itu hanya akan membuatmu lebih terjebak di sini."
Kalimatnya, begitu tajam dan pasti, membuatku merasa semakin terkunci dalam situasi ini. Rasanya seperti tembok yang perlahan menutup, membatasi ruang gerakku dan memaksaku melihat kenyataan dari sudut pandang mereka. Tapi aku tidak akan menyerah pada intimidasi ini, meskipun mereka berdua berdiri di hadapanku, menguasai setiap detik dari dunia yang kini telah mereka ciptakan.
"Mungkin kau benar," kataku sambil menggertakkan gigi, mencoba untuk tetap tenang. "Tapi aku tidak akan menerima situasi ini begitu saja tanpa perlawanan."
Julius terkekeh, suaranya membuatku merinding. Kepercayaan dirinya membuatku kesal, dan aku sangat ingin menghilangkan seringai itu dari wajahnya. "I never expected you to accept this situation quietly, baby," katanya, melangkah lebih dekat. "Faktanya, aku ingin kau berjuang dan melawan, karena itu hanya akan semakin membakar hasratku padamu."
Secara naluriah aku mundur, mencoba menciptakan jarak di antara kami. Namun, kehadiran Julius begitu kuat, dan aku bisa merasakan panas yang memancar dari tubuhnya, matanya dipenuhi rasa lapar yang membuatku merasa seperti mangsa.
Aku tahu itu tidak akan berakhir baik, setelah menghela napas, aku mendorongnya lalu melangkahkan kakiku ke arah kamar.
"Kamarmu di atas sekarang," kata Julius ketika aku berdiri tepat di depan pintu kamar yang sebelumnya aku tempati. Setelah terdiam sejenak, dengan enggan aku menurutinya dan naik ke lantai atas, ke kamar yang beberapa saat yang lalu Julius tunjukkan.
***
Setelah kejadian itu aku memutuskan untuk mengurung diri di kamar lalu tertidur.
Malam tiba, dan begitu aku terbangun dari tidur yang panjang dan melelahkan itu, aku terduduk di tepi kasur, memandangi ruangan yang redup. Suasana mansion terasa hening, hanya terdengar percakapan samar dari lantai bawah. Sepertinya Hans masih ada di sana, meski aku telah menamparnya dengan setengah dari kekuatan yang kupunya.
Aku tahu Julius adalah dalang dari semua ini. Dialah yang seharusnya menerima amarahku, bukan Hans. Julius yang merencanakan semuanya, yang menjadikanku tawanan. Namun... bahkan saat amarahku meluap, nyaliku langsung ciut hanya memikirkan kemungkinan berhadapan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Julius
RomanceTubuhku gemetar kecil saat dia mengangkat dan menekanku ke dinding terdekat. Dan aku tidak punya pilihan lain selain melingkarkan kakiku di pinggangnya, menopang diriku sendiri padanya sehingga dia bisa memegangku hanya dengan satu tangan lalu dia m...