16. Vineyard

97 11 0
                                    

Aku menghela napas frustasi. Memandangi jalanan di jendela mobil. Julius sepertinya memang berniat menyiksaku. Setelah menghabiskan waktu seharian kemarin, hari ini tampaknya dia ingin melakukan hal yang sama.

Encoder yang aku dapatkan telah aku simpan rapi di salah satu laci di kamar. Dan besok lusa adalah hari di mana aku harus menyerahkannya kepada Salvatore. Namun jika Julius terus membuntutiku seperti ini, bagaimana caranya aku bertemu Salvatore?

"Tch!" gerutuku putus asa.

Julius melirik ke arahku, ekspresinya netral saat dia terus mengemudi. Dia terdiam sejenak sebelum berbicara, suaranya datar. "Ada apa, Sayang? Kau pemarah sekali pagi ini."

Aku menatapnya kemudian mengangkat tanganku yang terborgol bersama tangannya. "Bagaimana mana aku tidak marah, kau memperlakukanku seperti tahanan!"

Julius mendengus kesal, cengkeramannya pada kemudi semakin erat. "Jaga nada bicaramu, Sayang. Aku hanya mengambil tindakan pencegahan untuk memastikan kau tidak melarikan diri lagi. Kau tahu betul kenapa aku memborgolmu."

Aku mendengus frustrasi, menarik borgol dengan jengkel. "Aku bukan burung dalam sangkar, Julius."

Julius melirikku lagi, matanya menggelap karena jengkel. "Jangan uji aku, sayang. Anggaplah dirimu beruntung karena aku mengajakmu ke kebun anggur sialan itu hari ini."

"Lagipula siapa yang punya ide pergi ke kebun anggur? Kau seharusnya sibuk dengan urusan organisasimu itu!" Balasku dengan sinis.

Julius menatapku dengan tajam. "Aku bilang, jaga nada bicaramu. Aku akan membawamu ke mana pun aku mau. Kau seharusnya sangat berterima kasih untuk itu."

Aku mencibir. "Terima kasih? Tch! Tidak akan pernah," tukasku. Aku menarik tanganku yang terborgol sehingga tangan Julius ikut tertarik.

Julius menggeram pelan, cengkeramannya pada kemudi semakin erat. Dia menatapku tajam, kemarahan terpancar di matanya. "Jangan tarik borgol sialan itu seperti itu, Sayang."

"Lagipula ini tanganku!" Tukasku tidak terima.

"Tanganmu mungkin melekat pada tubuhmu, tetapi saat kau diborgol padaku, tanganmu juga milikku. Jika kau terus menarik borgol seperti itu, aku akan memastikan kau menyesalinya."

Aku mendengus pelan, kekesalanku terhadap kata-katanya semakin menjadi-jadi. Sesaat aku memandangi wajahnya, membayangkan bagaimana wajah tampan sialan itu aku cakar menggunakan kuku-kukuku.

Setelah menghela napas kasar dan mencoba bersikap waras. Aku menyandarkan punggungku ke kursi mobil, tidak mengatakan apapun lagi.

Julius memperhatikan ekspresi wajahku, seringai licik tersungging di sudut mulutnya. Dia terkekeh pelan, tatapannya melirik ke arahku. "Jika kau terus menatapku seperti itu, aku mungkin akan mulai berpikir kau menganggapku tampan."

Aku mengerutkan kening padanya, kekesalanku bertambah karena ucapannya. "Jangan menyanjung dirimu sendiri. Aku hanya memikirkan betapa asiknya mencakar wajah itu."

Julius tertawa kecil, jelas terhibur oleh kata-kataku. "Hati-hati, Sayang. Jika kau terus berbicara seperti itu, aku mungkin harus menyumpalmu agar kau tidak mengungkapkan pikiran-pikiranmu yang kasar itu."

Aku mendengus kesal, rasa frustrasiku memuncak setiap detiknya. "Aku akan berteriak bahkan dengan mulutku yang disumpal."

Julius menatapku dengan tajam, matanya menyipit. "Percayalah, aku punya banyak cara untuk membuatmu diam."

Kekesalanku semakin bergejolak. Namun daripada memilih untuk mendebatnya, aku menarik tanganku sekali lagi dengan kasar.

Ekspresi Julius menjadi gelap, kekesalannya terlihat jelas. "Apa yang kukatakan tentang menarik borgol, Sayang? Kau menguji kesabaranku. Berhenti menarik borgol sialan itu atau aku akan memastikan kau tidak akan bisa menggerakkan tanganmu sepanjang hari."

JuliusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang