05. Escape

254 28 2
                                    

Trigger Warning - This story will
contain instances of violence, sex and inappropriate language.

===================================

Aku mendekatkan wajahku pada Julius hingga hidung kami saling bersentuhan, tanpa melepaskan kontak mata, aku berbicara, "Kau butuh terapi kejiwaan."

Julius terkekeh, suaranya dipenuhi rasa geli. Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, napas kami bercampur saat dia berbisik, "Ah, there's that feisty attitude I adore. Tapi, Sayang, bentuk terapiku adalah perasaanmu terhadapku. Rasa bibirmu. Suara eranganmu."

Aku mendorongnya dengan kasar saat tangannya kembali menjelajahiku. "Bajingan sialan!"

"Baby, that's not nice language to use against your future husband, is it?" ejeknya, terkekeh pelan. Dia kemudian memegang daguku, jempolnya perlahan membelai bibir bawahku seraya memaksaku untuk bertemu dengan tatapan tajamnya. "Aku menikmati jiwa pemberontakmu. Tapi sebaiknya kau berhati-hati dengan lidahmu yang berapi-api itu. Kau mungkin akan menemukan dirimu dalam masalah.... atau mungkin dalam kenikmatan, tergantung bagaimana kau menggunakannya."

Aku memegang tangannya dengan kuat, mencoba melepaskan cengkeramannya sambil melihat ke sekeliling. Tapi aku tidak menemukan seseorang yang memerhatikan kami. Mereka seolah tidak peduli dan tidak melihat kami.

"Jangan repot-repot melihat, Sayang," bisiknya, "Seluruh area ini berada di bawah kendaliku. Orang-orang yang kau lihat... mereka tidak akan menyadari kita. Bahkan jika kau berteriak dan menangis, mereka akan tetap tidak tahu apa-apa." Dia menarikku lebih dekat, menutup celah di antara tubuh kami sekali lagi. "Kau lihat, aku punya mata dan telinga di mana-mana. Tidak seorang pun akan membantumu."

Aku menarik napas gemetar, masih berusaha melepaskan cengkeramannya. "Kau mungkin bisa mengendalikan mereka," bisikku, "Tapi tidak denganku."

Genggaman Julius semakin erat dan matanya berkilat. "Apakah itu tantangan, Sayang?" gerutunya, suaranya dipenuhi nada berbahaya. Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, bibirnya melayang tepat di atas telingaku saat aku merasakan napasnya yang hangat. "Kau pemberani, kuakui itu. Tapi aku tahu cara menjinakkan jiwa pemberontak sepertimu."

Aku menggigit bibirku, menahan gemetar yang semakin kuat. "Coba saja," bisikku pelan, "Kau akan kecewa."

Pria gila ini lagi-lagi tersenyum. "Kau gemetar, Sayang..." Tangannya kali ini mengusap pipiku.

Aku merasakan ketakutan yang memuncak, tapi saat Julius sedikit menurunkan kewaspadaannya, aku dengan cepat mendorong tubuhnya hingga dia terhuyung. Aku tidak menunggu reaksi dari pria itu. Kakiku bergerak sendiri, dan aku berlari tanpa rencana, hanya fokus pada satu hal—melarikan diri.

Napasku semakin tak teratur. Aku tahu dia akan segera mengejarku, dan bayangan langkah-langkah Julius di belakangku menghantui pikiranku. Tapi aku terus berlari, berharap menemukan jalan keluar, sesuatu atau seseorang yang bisa menyelamatkanku. Setiap detik yang berlalu terasa seperti tarikan napas terakhir, jantungku berdentum di telinga, seolah-olah ingin melompat keluar dari dadaku.

Kakiku terasa seperti terbakar, tapi aku tidak berhenti. Aku terus berlari, berharap ada jalan keluar dari situasi ini. Namun, langkah  Julius mulai mendekat lagi di belakangku, napasnya terdengar semakin dekat. Aku bisa merasakan kehadirannya menghantuiku, seperti bayangan gelap yang tidak pernah berhenti mengejar.

Saat aku hampir mencapai ujung jalan yang sempit, pandanganku kabur karena keringat dan kelelahan. Jantungku semakin keras berdentum ketika aku melihat beberapa sosok tinggi berpakaian hitam muncul dari balik sudut. Tubuh-tubuh besar itu berdiri seperti tembok hidup di depanku. Mereka berpakaian serba hitam, wajah mereka tidak menunjukkan ekspresi apa pun, dan aku tahu—mereka adalah orang-orang Julius. Mata mereka menatap lurus ke arahku, tanpa rasa belas kasihan.

JuliusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang