02. Punishment

442 35 2
                                    

Keesokan harinya, aku kembali terbangun di ruangan yang sama dan tidak menemukan pria itu. Masih dengan setengah sadar aku terduduk, merenungi nasibku.

Situasi yang tiba-tiba ini membuatku kewalahan dan membuatku bingung, apakah aku harus panik, takut atau tetap tenang dan hanya berharap semuanya hanya mimpi?

Aku berdiri dan mematut di depan cermin, memerhatikan penampilanku yang berantakan sambil mengingat kembali kejadian sebelumnya.

Sore itu, aku berdiri di atas dermaga, menatap langit yang mulai kehilangan jingganya. Menikmati angin laut dan mengambil beberapa foto.

Aku mengabaikan telepon dari Gwen yang menyuruhku segera kembali ke penginapan untuk berkemas dan bersiap untuk kepulangan kami besok pagi. Begitu pun dengan Mike yang terus menanyakan lokasiku, pria yang menjadi alasanku berdiri di sana sendirian.

Itu seharusnya menjadi liburan kelulusan yang menyenangkan, namun aku dihadapkan oleh perasaan dilema dan kebingungan.

"Enjoying the sunset so much?" sapa seseorang, membuatku sedikit terkejut dan berbalik. Pria asing dengan setelan kemeja putih yang sedikit berantakan dengan dua kancing atas terbuka dan lengannya yang dia gulung sampai siku mendekatiku, tersenyum sekilas sebelum akhirnya berdiri di sampingku dan ikut memandangi matahari terbenam. Rambut silvernya tampak bersinar terkena cahaya.

Aku mengabaikannya dan tenggelam dengan pikiranku sendiri seraya menikmati lukisan alam di mana matahari tenggelam.

"Apakah kau biasanya menyaksikan matahari terbenam sendirian seperti ini?"

Aku meliriknya, memastikan dia benar-benar bertanya padaku meski saat itu tidak ada siapapun lagi di sana. Lalu aku menjawabnya dengan menggelengkan kepala.

"Jadi, kenapa kau sendirian seperti ini?"

Aku tidak menjawabnya, tidak mau dan tidak perlu. Namun sudut mataku menangkap dia terus menatapku dengan lekat membuatku merasa tidak nyaman. Akhirnya aku memutuskan untuk melihatnya. "Aku harus pergi," ucapku, lalu beranjak.

"Ada apa? Aku tidak mengganggumu, kan?" tanyanya, membuatku menghentikan langkah.

"Tidak sama sekali."

Dia melangkah maju seraya menyilangkan lengan di dadanya. "Tapi ekspresimu menunjukkan sebaliknya."

Aku mendengkus. "Aku tidak harus menunjukkkan ekspresiku sesuai keinginan orang. Jadi ya, aku merasa terganggu. Jika boleh jujur."

Dia terkekeh pelan, satu tangannya mengusap rambut silvernya, hampir membuatku terpesona. "You're quite interesting..."

"Dan kau cukup aneh," balasku, cukup untuk melihat seringaiannya memudar. Tanpa mau berurusan lebih panjang, aku meninggalkannya dan berjalan dengan cepat.

Aku menghela napas sambil menggosokkan sabun ke tubuhku mengingat kejadian sore itu. Apakah itu alasan dia menculikku?

Itu cukup konyol, tapi aku tidak punya kesimpulan lain. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Hanya orang gila yang menculik seseorang hanya karena merasa diabaikan. Atau memang saat itu aku terlalu kasar?

Setelah memakai handuk, aku keluar kamar mandi dan masuk ke closet untuk mencari pakaian. Namun tidak ada satu pun pakaian wanita. Yang benar saja, aku tidak mungkin memakai pakaian kemarin. Dengan kesal membayangkan wajah pria itu, aku mengobrak-abrik isi lemari.

Aku kemudian terduduk beberapa saat, memerhatikan ruangan kecil itu berantakan layaknya kapal pecah. Aku tahu cukup kekanakan, tapi aku harap dengan itu dia menyesal telah membawaku ke sini.

"Ya, benar, kita akan melihat siapa yang akhirnya akan menyerah."

Aku tersenyum membayangkan reaksinya akan seperti apa. Aku akan membawa bencana di hidupnya sebagaimana dia merenggut hidupku. Aku meraih kemeja putih yang tergeletak di lantai lalu memakainya. Setelah itu aku berjalan keluar kamar dan dari arah berlawanan seorang wanita paruh baya mendekat ke arahku. "Nona, Rheana, anda sudah bangun? Saya sudah menyiapkan sarapan untuk anda."

JuliusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang