Pagi itu, begitu aku membuka mata, sisi kasur di sebelahku terasa hangat.
Julius... apakah dia tidur di sini?
Sekilas, bayangan tentang dirinya yang mungkin menghabiskan malam di sisiku membuatku gelisah, tapi aku menepis perasaan itu. Pagi ini terasa berat, dan sejujurnya aku tak ingin menjalani hari.
Aku menghabiskan waktu hanya dengan duduk di kamar, memandang kosong pada dinding dan merenungi segalanya. Beberapa kali pelayan mengetuk pintu dan memberitahukan bahwa sarapan sudah siap, tapi aku tidak punya tenaga untuk menjawab, apalagi keluar. Pada akhirnya, aku hanya berbaring kembali dan tanpa sadar tertidur lagi.
Saat sore tiba, samar-samar kudengar langkah kaki terburu-buru di koridor, mendekati kamarku. Aku langsung terbangun ketika pintu terbuka, menampilkan sosok Julius di ambang pintu. Ekspresinya semula penuh kemarahan, namun mendadak berubah lembut saat melihatku baru saja terbangun. Dia menghela napas panjang dan menghampiriku, duduk di tepi ranjang sambil menatapku dalam diam.
Tangan Julius terulur, jemarinya menyentuh pipiku dengan sentuhan lembut. Aku segera menepisnya, rasa sakit atas kejadian semalam masih terlalu segar. Bisa-bisanya suasana hatinya gampang berubah-ubah dengan cepat. Namun kali ini ekspresinya tetap hangat, seolah tidak terpengaruh oleh sikapku yang defensif.
"Maggie bilang kau tidak keluar kamar dan belum makan apa pun," ujarnya, nada suaranya tenang, penuh perhatian, tapi ada kekhawatiran samar di balik matanya.
"Manusia bisa hidup tanpa makanan selama 7 hari," ucapku, lalu terduduk. Suaraku terdengar lebih tajam dari yang kuharapkan, sebuah usaha untuk menutupi rasa sakit dan kemarahan yang masih membara.
Julius terdiam sejenak, tatapannya tidak pernah lepas dari wajahku. Dia mengamati tatapan menantang di mataku, tetapi tidak ada kemarahan atau kekesalan di wajahnya. Sebaliknya, dia tampak sedikit geli. "Ya, kau bisa tidak makan selama 7 hari," katanya setelah beberapa saat, suaranya masih pelan. "Tetapi tubuhmu butuh asupan, terutama mengingat banyaknya energi yang telah kau kerahkan beberapa hari terakhir ini."
Dia berhenti, mengamatiku sejenak sebelum melanjutkan. "Aku tahu kau marah, dan kau berhak atas hal itu. Tapi tidak makan tidak akan menyelesaikan apa pun."
Aku terus menatapnya, dengan keras kepala menolak untuk mengalihkan pandangan. Nada bicaranya yang tampak lembut hanya membuatku semakin kesal. "Kenapa kau peduli aku makan atau tidak?" tanyaku, suaraku penuh dengan sarkasme.
Dia mendesah, seolah berusaha mengendalikan kesabarannya. "Kenapa aku peduli kau makan atau tidak? Aku peduli karena percaya atau tidak, aku bukan monster yang tidak berperasaan. Aku mungkin menahanmu, tapi aku tidak ingin membuatmu kelaparan."
"Aku mau pulang."
Ekspresi Julius berubah, dan sedikit kekesalan terlihat di wajahnya. "Pulang, ya?" katanya, suaranya mengeras. "Kita berdua tahu itu bukan pilihan. Ini rumahmu sekarang, Sayang."
"Julius... aku mohon. Kau tidak mengambil kehidupanku begitu saja. Aku berhak atas hidupku sendiri. Atas apa yang aku pilih."
Rahang Julius menegang mendengar kata-kataku, matanya sedikit menyipit. "Kau kehilangan hak itu saat aku menculikmu," katanya tegas. "Kau milikku sekarang, dan hidupmu adalah milikku. Kau tidak punya pilihan selain menerimanya."
Julius tetaplah Julius. Dia adalah seorang monster bertopeng dewa. Dan tidak ada pilihan lain selain menawarkan kesepakatan kepada jenis seperti mereka.
"Kalau begitu, bagaimana jika kita buat kesepakatan?" ucapku dengan suara yang kupaksakan tetap stabil, meskipun napasku mulai terasa berat.
Matanya sedikit menyipit, dan dia memiringkan kepalanya dengan penuh minat. "Kesepakatan?" gumamnya, seolah kata itu merupakan lelucon. "Dan apa yang bisa kau tawarkan padaku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Julius
Romance"And if wanting you makes me insane, then I'll wear that title with pride, baby." ━━━━━━ Tubuhku gemetar kecil saat dia mengangkat dan menekanku ke dinding terdekat. Dan aku tidak punya pilihan lain selain melingkarkan kakiku di pinggangnya, menopan...